Monday, July 18, 2011

Kangen Mba Sita

Mba sita adalah keponakan jauh ibuku yang ikut tinggal dirumahku. Ya, dia ikut keluargaku sebab keluarganya kurang beruntung. Dia ikut keluargaku sejak kelas dia 2 SMP. Kejadian ini terjadi saat mba sita duduk di kelas 3 SMA

Mba sita adalah seorang perempuan yang sangat menarik. Wajahnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya putih dan bodynya… hmmm.. masih tergambar jelas bodynya yang aduhai. Aku masih ingat bagaimana dulu aku sering sekali memelototi dadanya yang ranum. Sebenarnya dadanya tidak terlalu besar, tapi membusung kedepan, benar-benar bulat sempurna. Aku juga senang sekali memperhatikan lekukan pinggangnya yang seperti gitar spanyol itu, pantatnya yang membulat dan pahanya yang putih. Apalagi kalau dia memakai celana pendek favoritnya, terlihat jelas paha mulusnya dan betis bulir padinya yang aduhai. Hmmm…. Pantas saja banyak teman prianya yang mengejar-ngejarnya.

Kejadian ini terjadi waktu aku tinggal berdua denga mba sita dirumah. Bapakku seperti biasa pergi ke kantor dan ibuku pergi kerumah temannya dengan membawa adikku yang masih kecil.

Awalnya aku bermain diluar bersama teman-temanku, tapi karena turun hujan akhirnya aku pulang kerumah dan tinggal berdua dengan mba indah. Dari pada tidak ada kerjaan, aku menonton tv. Selagi asik menonton kartun di tv swasta satu-satunya waktu itu, mba indah keluar dari kamarnya dan memanggilku. Saat itu mba indah memakai kaos putih dan rok SMA nya. Aku menebak pasti dia tidak pakai bra, soalnya puting payudaranya tercetak di kaus putih yang tipis itu.

“Rian ! Ke kamar mba sita yuk sebentar” panggil mba sita. aku yang sebenarnya lagi asik menonton dengan agak malas akhirnya masuk ke kamar mba sita.

“Ada apa mba ?” tanyaku.

“Dari pada nonton tv, mendingan main sama mba sita” katanya

“Main apa ?” tanyaku.

“Kita main dokter-dokteran yuk” ajaknya

Aku tertawa.. “Wah itu kan mainannya anak perempuan, lagian aku kan udah gede” jawabku. Padahal adikku sering mengajakku bermain dokter-dokteran.

“Ini beda, kan mba udah dapet pelajarannya di SMA” katanya merayuku.

“Hmmm… ya udah, jadi gimana mainnya ?” tanyaku.

“Mba yang jadi dokternya, kamu yang jadi pasiennya. Sudah kamu tiduran dulu ditempat tidur, mba siap-siap” suruhnya.

Kemudian aku naik ke tempat tidurnya dan berbaring terlentang.

“Sakit apa de ? saya periksa dulu ya…” kata mba indah berakting. Kemudian dia menaikkan bajuku dan mengetuk-ngetuk dadaku layaknya seorang dokter.

“Wah de ini sakitnya parah” katanya. Aku tertawa kecil karena mba sita pandai sekali meniru seorang dokter. Kemudian tangannya turun mengetuk-ngetuk perutku sambil berkata “Sepertinya penyakitnya ada dibawah sini” kemudian dia berusaha membuka kancing celanaku.

Tanganku memegang tangannya, menahan dia membuka celanaku. “Kok celananya dibuka mba ?” tanyaku. Walaupun aku masih kecil, tapi waktu itu aku sudah mengerti perbedaan antara pria dan wanita.

“Mau disembuhin penyakitnya gak ?” katanya sambil pura-pura melotot. Aku terdiam, kemudian melepaskan tangannya. Dia tersenyum kemudian berkata “Gitu dong, kan mau diobatin”.

Kemudian dia melepas kancing celanaku dan resletingnya. Kemudian dia melorotkan celanaku hingga terpampanglah burung mudaku. Aku hanya diam menahan malu.

“Wah ini dia sumber penyakitnya” katanya riang kemudian memegang burungku. Kemudian dia duduk disebelahku. Mukaku semakin merah, apalagi burungku secara perlahan tapi pasti menegang membesar.Mba sita malah tertawa “Nah aku bilang apa, ini dia masalahnya, tuh dia makin keras, makin besar !” sambil mengelus-ngelus lembut burungku.

Tubuhku tergetar karena nikmat yang menjalari tubuhku. Burungku makin tegang dan makin membesar.

“Mba…” kataku lemah karena keenakan. “Tenang ya rian, mba obatin dulu ya” katanya. Celanaku dibuka secara penuh kemudian dia menaruhnya di kursi dekat meja belajarnya. Selangkanganku dilebarkan, kemudian dia berpindah posisi, dia duduk diantara kedua pahaku.

Kemudian mba sita mulai mengulum penisku. Aku semakin menerawang, inilah kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Saat mba sita mengulum dan menyedot-nyedot penisku, dia mengeluarkan suara-suara erotis diantara keluar masuknya penisku di mulutnya. Ternyata saat aku melihat, tangan kirinya meremas-remas payudaranya. Hmm tak heran badannya ikut bergetar saat mengulum penisku.

Tiba-tiba mba sita berhenti mengulum penisku. “Sebentar ya” kata mba sita yang kemudian berdiri. Aku hanya menatapnya dengan tatapan tidak rela karena tidak ingin kehilangan kenikmatan tadi.

Ternyata mba sita melorotkan celana dalamnya. Karena dia memakai rok, celana dalamnya langsung turun, kemudian dia membuangnya kelantai. Dia kembali duduk diantara selangkanganku, tapi kali ini dia agak melebarkan pahanya.

Mba sita kembali mengulum penisku. Badanku kembali bergetar keenakan. Diantara sadar dan tidak, aku mulai mencium suatu bau khas, yang sekarang aku tau kalau bau itu adalah vagina.

Aku melihat mba sita yang terus mengulum penisku. Tangan kirinya yang tadi meremas-remas payudaranya sekarang berada di selangkangannya, tapi aku tidak bisa melihat apa yang dilakukan tangan itu sebab tertutup kain rok yang masih dipakainya. Tapi aku menduga bau khas tadi pasti berasal dari selangkangannya itu.

Kenikmatan naik sampai ubun-ubunku, badanku bergetar hebat.

“Mba… aku mau pipis…” kataku sambil menahan dorongan hebat dipenisku. Tapi mba sita tidak memperdulikan, bahkan mempercepat kulumannya. Aku merasa gila karena keenakan.. “Crotz… Crotz.. Crot..” akhirnya aku keluar.

THE END

Pemuas Nafsu Adik Tanteku

Arie memang punya prinsip kalau dalam berhubungan badan ia tidak mau enak sediri tapi harus enak kedua-duanya. Itulah pola pikir Arie yang terus ia pertahankan. Seandainya ia mau tentunya dengan gampang ia memperkosa Yuni.

Ketegangan batang kemaluan Arie terus bertambah besar tidak mau mengecil meskipun sudah diguyur oleh air. Untuk menghilangkan kepenatan Arie keluar kamar sambil membakar sebatang rokok. Ternyata Tante Rani masih ada di ruang tengah sambil melihat TV dan meminum susu yang dibuatnya sendiri. Tante Rani yang menggunakan daster warna biru dengan rambut yang dibiarkan terurai tampak sangat cantik malam itu. Lekukan tubuhnya terlihat dengan jelas dan kedua payuadaranya pun terlihat dengan jelas tanpa BH, juga pahanya yang putih dan mulus terpampang indah di hadapannya. Keadaan itu terlihat karena Tante Rani duduk di sofa yang panjang dengan kaki yang putih menjulur ke depan.

Ketenganan Arie semakin memuncak melihat keidahan tubuh Tante Rani yang sangat seksi dan mulus itu.
“Kamu kenapa belum tidur Ari,” kata Tante Rani sambil menuangkan segelas air susu untuk Arie.
“Anu Tante, tidak bisa tidur,” balas Arie dengan gugup.
Memang Tante Rani yang cantik itu tidak merasa canggung dengan keberadaan Arie, ia tidak peduli dengan keberaan Ari malah ia segaja memperlihatkan keindahan tubuhnya di hadapan Arie yang sudah sangat terangsang.

“Maaf ya, Tante tadi siang telah berlaku kurang sopan terhadap Arie.”
“Tidak apa-apa Tante, Arie mengerti tentang hal itu,” jawab Arie sambil terus menahan gejolak nafsunya yang sudah diluar batas normal ditambah lagi dengan perlakuan Yuni yang membuat batang kemaluannya semakin menegang tidak tentu arah.
“Oom ke mana Tante, kok tidak kelihatan,” tanya Arie mengisi perbincangan.
“Kamu tidak tahu, Oom kan sedang ke Bali mengurus proyek yang baru,” jawab Tante Rani.
Memang Om Budiman sangat jarang sekali ada di rumah dan itu membuat Ari semakin tahu akan kebutuhan batin Tante Rani, tapi itu tidak mungkin dilakukannya dengan tantenya.

Arie dan Tante Rani duduk di sofa yang besar sambil sesekali tubuhnya digerak-gerakkan seperti cacing kepanasan. Tak diduga sebelumnya oleh Arie, Tante Rani membuka dasternya yang menutupi paha putihnya yang putih bersih sambil menggaruk-garukkan tangannya di seputar gundukan kemaluannya. Mata Arie melongo tidak percaya. Dua kali dalam satu hari ia melihat paha Tante Rani, tapi yang ini lebih parah dari yang tadi siang di dalam mobil, sekarang Tante Rani tidak menggunakan celana dalam. Kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu yang hitam tersingkap dengan jelas dan tangan Tante Rani terus menggaruk-garuk di seputar kemaluannya itu karena merasa ada yang gatal.

Melihat itu Arie semakin gelisah dan tidak enak badan ditambah lagi dengan ketegangan di batang kemaluannya yang semakin menegang.
“Kamu kenapa Arie,” tanya Tante Rani yang melihat wajah Arie keluar keringat dingin.
“Nggak Tante, Arie cuma mungkin capek,” balas Arie sambil terus sekali-kali melihat ke pangkal paha putih milik Tante Rani.

Setelah merasa agak baikan di sekitar kemaluannya, Tante Rani segaja tidak menutup pahanya, malah ia duduk bersilang sehingga terlihat dengan jelas pangkal pahanya dan kemaluannya yang merekah. Melihat Arie semakin menegang, Tante Rani tersenyum dan mempersilakan Arie untuk meminum susu yang dituangkan di dalam gelas itu.

Ketegangan Arie semakin memuncak dan Arie tidak berani kurang ajar pada tantenya meskipun tahu bahwa tantenya segaja memperlihatkan kemulusan pahanya itu. “Tante, saya mau ke paviliun belakang untuk mencari udara segar.” Melihat Arie yang sangat tegang itu Tante Rani hanya tersenyum, dalam pikirannya sebentar lagi kamu akan tunduk padaku dan akan meminta untuk tidur denganku.

Sebelum sampai ke paviliun belakang Arie jalan-jalan dulu di pinggiran kolam lalu ia duduk sambil melihat kolam di depannya. Sambil terus berusaha menahan gejolaknya antara menyetubuhi tantenya atau tidak. Sambil terus berpikir tentang kejadian itu. Tidak segaja ia mendegar rintihan dari belakang yang kebetulan kamar Pak Dadi. Arie terus mendekati kamar Pak Dadi yang kebetulan dekat dengan Paviliun. Arie mengendus-endus mendekati jendela dan ternyata jendelanya tidak dikunci dan dengan mudah Arie dapat melihat adegan suami istri yang sedang bermesraan.

Di dalam kamar yang berukuran cukup besar itu, Arie melihatnya leluasa karena hanya terhalang oleh tumpukan pakaian yang digantung dekat jendela itu. Di dalamnya ternyata Pak Dadi dengan istrinya sedang bermesraan. Istri Pak Dadi yang bernama Astri sedang asyik mengulum batang kejantanan Pak Dadi dengan lahapnya. Dengan penuh birahi Astri terus melahap dan mengulum batang kemaluan Pak Dadi yang ukurannya lebih kecil dari ukuran yang dimiliki Arie. Astri terus mengulum batang kemaluan Pak Dadi. Posisi Pak Dadi yang masih menggunakan pakaian dan celananya yang telah melorot ada di lantai dengan posisi duduk terus mengerang-erang kenikmatan yang tiada bandingnya sedangkan Astri jongkok di lantai. Terlihat Astri menggunakan CD warna hitam dan BH warna hitam. Erangan-erangan Pak Dadi membuat batang kemaluan Pak Dadi semakin mesra di kulum oleh Astri.

Dengan satu gerakan Astri membuka daster yang dipakainya karena melihat suaminya sudah kewalahan dengan kulumannya. Terlihat dengan jelas buah dada yang besar masih ditutupi BH hitamnya. Pak Dadi membantu membuka BH-nya dan dilanjutkan dengan membuka CD hitam Astri. Astri yang masih melekat di bandan Pak Dadi meminta Pak Dadi supaya duduk di samping ranjang. Lalu Pak Dadi menyuruh Astri telentang di atas ranjang dan pantatnya diganjal oleh bantal sehingga dengan jelas terlihat bibir kemaluan Astri yang merah merekah menantang kejantanan Pak Dadi.

Sebelum memasukkan batang kemaluannya, Pak Dadi mengoleskan air ludahnya di permukaan bukit kemaluan Astri. Dengan kaki yang ada di pinggul Pak Dadi, Astri tersenyum melihat hasil karyanya yaitu batang kemaluan suaminya tercinta telah mampu bangkit dan siap bertempur. Dengan perlahan batang kemaluan Pak Dadi dimasukkan ke dalam liang kemaluan Astri, terlihat Astri merintih saat merasakan kenikmatan yang tiada tara, kepala Astri dibolak-balikkan tanpa arah dan tangannya terus meraba-raba dada Pak Dadi dan sekali-kali meraba buah dadanya. Memang beradunya batang kemaluan Pak Dadi dengan liang senggama Astri terasa cukup lancar karena ukurannya sudah pas dan kegiatan itu sering dilakukannya. Erangan-erangan Astri dan Pak Dadi membuat tubuh Arie semakin Panas dingin, entah sudah berapa menit lamanya Tante Rani memainkan kemaluan Arie yang sudah menegang, ia tersenyum ketika tahu bahwa di belakangnya ada orang yang sedang memegang kemaluannya.

“Tante, kapan Tante datang”, suara Arie perlahan karena takut ketahuan oleh Pak Dadi sambil berusaha menjauh dari tempat tidur Pak Dadi. Tangan Tante Rani terus menggandeng Arie menuju ruang tengah sambil tangannya menyusup pada kemaluan Arie yang sudah menegang sejak tadi. Sesampainya di ruang tengah, Arie duduk di tempat yang tadi diduduki Tante Rani, sementara Tante Rani tiduran telentang sambil kepalanya ada seputar pangkal paha Arie dengan posisi pipi kanannya menyentuh batang kemaluan Arie yang sudah menegang.

“Kamu kok orang yang sedang begituan kamu intip, nanti kamu jadi panas dingin dan kalau sudah panas dingin susah untuk mengobatinya. Untung saja kamu tadi tidak ketahuan oleh Pak Dadi kalau kamu ketahuan kamu kan jadi malu. Apalagi kalau ketahuan sama Oommu bisa-bisa Tante ini, juga kena marah.” Tante Rani memberikan nasehat-nasehat yang bijak sambil kepalanya yang ada diantara kedua selangkangan Arie terus digesek-gesek ke batang kemaluan Arie. “Tante tahu kamu sekarang sudah besar dan kamu juga tahu tentang kehidupan seks. Tapi kamu pura-pura tidak mau,” goda Tante Rani, “Dan kamu sudah tahu keinginan Tantemu ini, kamu malah mengintip kemesraan Pak Dadi,” nasehat-nasehat itu terus terlontar dari bibir yang merah merekah, dilain pihak pipi kirinya digesek-gesekkan pada batang kemaluan Arie.

Arie semakin tidak dapat lagi menahan gejolak yang sangat tinggi dengan tekanan voltage yang berada diluar batas kemanusiaan. “Tante jangan gitu dong, nanti saya jadi malu sama Tante apalagi nanti kalau oom sampai tahu.” Mendengar elakan Arie, Tante Rani malah tersenyum, “Dari mana Oommu tahu kalau kamu tidak memberitahunya.”

Gila, dalam pikiraanku mana mungkin aku memberitahu Oomku. Gerakan kepala Tante Rani semakin menjadi ditambah lagi kaki kirinya diangkat sehingga daster yang menutupi kakinya tersingkap dan gundukan hitam yang terawat dengan bersih terlihat merekah. Bukit kemaluan Tante Rani terlihat dengan jelas dengan ditumbuhi bulu-bulu yang sudah dicukur rapi sehingga terlihat seperti kemaluan gadis seumur Yuni.

Arie sebetulnya sudah tahu akan keinginan Tante Rani. Tapi batinnya mengatakan bahwa dia tidak berhak untuk melakukannya dengan tantenya yang selama ini baik dan selalu memberikan kebutuhan hidupnya. Tanpa disadari tantenya sudah menaikkan celana pendeknya yang longgar sehingga kepala batang kemaluan Arie terangkat dengan bebas dan menyentuh pipi kirinya yang lebut dan putih itu. Melihat Keberhasilanya itu Tante Rani membalikkan badan dan sekarang Tante Rani telungkup di atas sofa dengan kemaluannya yang merekah segaja diganjal oleh bantal sofa.

Tangan Tante Rani terus memainkan batang kemaluan Arie dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. “Aduh punya kamu ternyata besar juga,” bisik Tante Rani mesra sambil terus memainkan batang kejantanan Arie dengan kedua tangannya. “Masa kamu tega sama Tante dengan tidak memberikan reaksi apa pun Riee,” bisik Tante Rani dengan nafas yang berat. Mendengar ejekan itu hati Arie semakin berontak dan rasanya ingin menelan tubuh molek di depannya bulat-bulat dan membuktikan pada tantenya itu bahwa saya sebetulnya bisa lebih mampu dari Pak Dadi.

Mulut Tante Rani yang merekah telah mengulum batang kemaluan Arie dengan liarnya dan terlihat badan Tante Rani seperti orang yang tersengat setrum ribuan volt. “Ayoo doong Riee, masa kamu akan menyiksa Tante dengan begini… ayo dong gerakin tanganmu.” Kata-kata itu terlontar sebanyak tiga kali. Sehingga tangan Arie semakin berani menyentuh pantatnya yang terbuka. Dengan sedikit malu-malu tapi ingin karena sudah sejak tadi batang kemaluan Ari menegang. Arie mulai meraba-saba pantatnya dengan penuh kasih sayang.

Mendapakan perlakuan seperti itu, Tante Rani terus semakin menggila dan terus mengulum kepuyaan Arie dengan penuh nafsu yang sudah lama dipendam. Sedotan bibir Tante Rani yang merekah itu seperti mencari sesuatu di dalam batang kemaluan Arie. Mendapat serangan yang sangat berapi-api itu akhirnya Arie memutar kaki kirinya ke atas sehingga posisi Arie dan tantenya seperti huruf T.

Tangan Arie semakin berani mengusap-usap pinggul tantenya yang tersingkap dengan jelas. Daster tantenya yang sudah berada di atas pinggulnya dan kemaluan tantenya dengan lincah menjepit bantal kecil sofa itu. “Ahkkk, nikmat..” Tantenya mengerang sambil terus merapatkan bibir kemaluannya ke bantal kecil itu sambil menghentikan sementara waktu kulumannya. Ketika ia merasakan akan orgasme. “Arie… Tante sudah tidak tahan lagi nich..” diiringi dengan sedotan yang dilakukan oleh tantenya itu karena tantenya ternyata sangat mahir dalam mengulum batang kemaluannya sementara tangannya dengan aktif mempermainkan sisi-sisi batang kemaluan Arie sehingga Arie dibuatnya tidak berdaya.

“Aduh . aduh.. Tante nikmat sekalii…” erang tantenya semakin menjadi-jadi. Hampir tiga kali Tante Rani merintih sambil mengerang. “Aduuh Rieee.. terus tekan-tekan pantat Tante..” desah Tante Rani sambil terus menggesek-gesekkan bibir kemaluannya ke bantal kecil itu. Arie meraba kemaluan tantenya, ternyata kemaluan Tante Rani sudah basah oleh cairan-cairan yang keluar dari liang kewanitaannya. “Ariee… nah itu terus Riee.. terus..” erang Tante Rani sambil tidak henti-hentinya mengulum batang kemaluan Arie.

“Kamu kok kuat sekali Riee,” bisik tante rRni dengan nafas yang terengah-engah sambil terus mengulum batang kemaluan Arie. Tante Rani setengah tidak percaya dengan kuluman yang dilakukannya karena belum mampu membuat Arie keluar sperma. Arie berguman, “Belum tahu dia, ini belum seberapa. Tante pasti sudah keluar lebih dari empat kali terbukti dengan bantal yang digunakan untuk mengganjal liang kewanitaannya basah dengan cairan yang keluar seperti air hujan yang sangat deras.”

Melihat batang kemaluan Arie yang masih tegak Tante Rani semakin bernafsu, ia langsung bangkit dari posisi telungkup dengan berdiri sambil berusaha membuka baju Arie yang masih melekat di badannya. “Buka yaa Sayang bajunya,” pinta Tante Rani sambil membuka baju Arie perlahan namun pasti. Setelah baju Arie terbuka, Tante Rani membuka juga celana pendek Arie agar posisinya tidak terganggu.

Lalu Tante Rani membuka dasternya dengan kedua tangannya, ia sengaja memperlihatkan keindahan tubuhnya di depan Arie. Melihat dua gunung yang telah merekah oleh gesekan sofa dan liang kewanitaan tantenya yang merah ranum akibat gesekan bantal sofa, Ari menelan ludah. Ia tidak membayangkan ternyata tantenya mempunyai tubuh yang indah. Ditambah lagi ia sangat terampil dalam memainkan batang kemaluan laki-laki.

Masih dengan posisi duduk, tantenya sekarang ada di atas permadani dan ia langsung menghisap kembali batang kemaluan Arie sambil tangannya bergantian meraba-raba sisi batang kemaluan Arie dan terus mengulumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan permen dengan penuh gairah. Dengan bantuan payudaranya yang besar, Tante Rani menggesek-gesek payudaranya di belahan batang kemaluan Arie. Dengan keadaan itu Arie mengerang kuat sambil berkata, “Aduh Tante.. terus Tante..” Mendengar erangan Arie, Tante Rani tersenyum dan langsung mempercepat gesekannya. Melihat Arie yang akan keluar, Tante Rani dengan cepat merubah posisi semula dengan mengulum batang kemaluan dengan sangat liar. Sehingga warna batang kemaluan Arie menjadi kemerah-merahan dan di dalam batang kemaluannya ada denyutan-denyutan yang sangat tidak teratur. Arie menahan nikmat yang tiada tara sambil berkata, “Terus Tante.. terus Tante..”, Dan Arie pun mendekap kepala tantenya agar masuk ke dalam batang kemaluannya dan semprotan yang maha dahsyat keluar di dalam mulut Tante Rani yang merekah. Mendapatkan semburan lahar panas itu, Tante Rani kegirangan dan langsung menelannya dan menjilat semua yang ada di dalam batang kemaluan Arie yang membuat Arie meraung-raung kenikmatan. Terlihat dengan jelas tantenya memang sudah berpengalaman karena bila sperma sudah keluar dan batang kemaluan itu tetap disedotnya maka akan semakin nikmat dan semakin membuat badan menggigil.

Melihat itu Tante Rani semakin menjadi-jadi dengan terus menyedot batang kemaluan Arie sampai keluar bunyi slurp…, slurp…, akibat sedotannya. Setelah puas menjilat sisa-sisa mani yang menempel di batang kemaluan Arie, lalu Tante Rani kembali mengulum batang kejantanan Arie dengan mulutnya yang seksi.

Melihat batang kemaluan Arie yang masih memberikan perlawanan, Tante Rani bangkit sambil berkata, “Gila kamu Rieee.. kamu masih menantang tantemu ini yaah.. Tante sudah keluar hampir empat kali kamu masih menantangnya.” Mendengar tantangan itu, Arie hanya tersenyum saja dan terlihat Tante Rani mendekat ke hadapan Arie sambil mengarahkan liang kewanitaannya untuk melahap batang kemaluan Arie. Sebelum memasukkan batang kemaluan Arie ke liang kewanitaannya, Tante Rani terlebih dahulu memberikan ciuman yang sangat mesra dan Arie pun membalasnya dengan hangat. Saling pagut terjadi untuk yang kedua kalinya, lidah mereka saling bersatu dan saling menyedot. Tante Rani semakin tergila-gila sehingga liang kewanitaannya yang tadinya menempel di atas batang kemaluan Arie sekarang tergeser ke belangkang sehingga batang kemaluan Arie tergesek-gesek oleh liang kewanitaannya yang telah basah itu.

Mendapat perlakuan itu Arie mengerang kenikmatan. “Aduuh Tante…” sambil melepaskan pagutan yang telah berjalan cukup lama. “Clepp…” suara yang keluar dari beradunya dua surga dunia itu, perlahan namun pasti Tante Rani mendorongnya masuk ke lembah surganya. Dorongan itu perlahan-lahan membuat seluruh urat nadi Arie bergetar. Mata Tante Rani dipejamkan sambil terus mendorong pantatnya ke bawah sehingga liang kewanitaan Tante Rani telah berhasil menelan semua batang kemaluan Arie. Tante Rani pun terlihat menahan nikmat yang tiada tara.

“Arieee…” rintihan Tante Rani semakin menjadi ketika liang senggamanya telah melahap semua batang kemaluan Arie. Tante Rani diam untuk beberapa saat sambil menikmati batang kemaluan Arie yang sudah terkubur di dalam liang kewanitaannya.

“Riee, Tante sudah tidak kuat lagi… Sayang..” desah Tante Rani sambil menggerakan-gerakkan pantatnya ke samping kiri dan kanan. Mulut tantenya terus mengaduh, mengomel sambil terus pantatnya digeser ke kiri dan ke kanan. Mendapatkan permainan itu Arie mendesir, “Aduh Tante… terus Tante..” mendengar itu Tante Rani terus menggeser-geserkan pantatnya. Di dalam liang senggama tantenya ada tarik-menarik antara batang kemaluan Arie dan liang kewanitaan tantenya yang sangat kuat, mengikat batang kemaluan Arie dengan liang senggama Tante Rani. Kuatnya tarikan itu dimungkinkan karena ukuran batang kemaluan Arie jauh lebih besar bila dibandingkan dengan milik Om Budiman.

Goyangan pantatnya semakin liar dan Arie mendekap tubuh tantenya dengan mengikuti gerakannya yang sangat liar itu. Kucuran keringat telah berhamburan dan beradunya pantat Tante Rani dengan paha Arie menimbulkan bunyi yang sangat menggairahkan, “Prut.. prat.. pret..” Tangan Arie merangkul tantenya dengan erat. Pergerakan mereka semakin liar dan semakin membuat saling mengerang kenikmatan entah berapa kali Tante Rani mengucurkan cairan di dalam liang kewanitaannya yang terhalang oleh batang kemaluan Arie. Tante Rani mengerang kenikmatan yang tiada taranya dan puncak dari kenikmatan itu kami rasakan ketika Tante Rani berkata di dekat telingan Arie. “Arieee…” suara Tante Rani bergetar, “Kamu kalau mau keluar, kita keluarnya bareng-bareng yaaah”. “Iya Tante…” jawab Arie.
Selang beberapa menit Arie merasakan akan keluar dan tantenya mengetahui, “Kamu mau keluar yaaa.” Arie merangkul Tante Rani dengan kuatnya tetapi kedua pantatnya masih terus menusuk-nusuk liang kewanitaan Tantenya, begitu juga dengan Tante Rani rangkulanya tidak membuat ia melupakan gigitannya terhadap batang kemaluan Arie. Sambil terus merapatkan rangkulan. Suara Arie keluar dengan keras, “Tanteee.. Tanteee..” dan begitu juga Tante Rani mengerang keras, “Rieee…”. Sambil keduanya berusaha mengencangkan rangkulannya dan merapatkan batang kemaluan dan liang kewanitaannya sehingga betul-betul rapat membuat hampir biji batang kemaluan Arie masuk ke dalam liang senggama Tante Rani.

Akhirnya Arie dan Tante Rani diam sesaat menikmati semburan lahar panas yang beradu di dalam liang sorga Tante Rani. Masih dalam posisi Tante Rani duduk di pangkuan Arie. Tante Rani tersenyum, “Kamu hebat Arie seperti kuda binal dan ternyata kepunyaan kamu lebih besar dari suaminya dan sangat menggairahkan.”

“Kamu sebetulnya sudah tahu keinginan Tante dari dulu ya, tapi kamu berusaha mengelaknya yaa..” goda Tante Rani. Arie hanya tersenyum di goda begitu. Tante Rani lalu mencium kening Arie. Kurang lebih Lima menit batang kemaluan Arie yang sudah mengeluarkan lahar panas bersemayam di liang kewanitaan Tante Rani, lalu Tante Rani bangkit sambil melihat batang kemaluan Arie. Melihat batang kemaluan Arie yang mengecil, Tante Rani tersenyum gembira karena dalam pikirannya bila batang kemaluannya masih berdiri maka ia harus terus berusaha membuat batang kemaluan Arie tidak berdiri lagi. Untuk menyakinkannya itu, tangan Tante Rani meraba-raba batang kemaluan Arie dan menijit-mijitnya dan ternyata setelah dipijit-pijit batang kemaluan Arie tidak mau berdiri lagi.

“Aduh untung batang kemaluanmu Rieee… tidak hidup lagi,” bisik Tante Rani mesra sambil berdiri di hadapan Arie, “Soalnya kalau masih berdiri, Tante sudah tidak kuat Rieee” lanjutnya sambil tersenyum dan Duduk di sebelah Arie. Sesudah Tante Rani dan Arie berpanutan mereka pun naik ke atas dan masuk kamar-masing-masing.

Pagi-pagi sekali Arie bangun dari tempat tidur karena mungkin sudah kebiasaannya bangun pagi, meskipun badannya ingin tidur tapi matanya terus saja melek. Akhirnya Arie jalan-jalan di taman untuk mengisi kegiatan agar badannya sedikit segar dan selanjutnya badannya dapat diajak untuk tidur kembali karena pada hari itu Arie tidak ada kuliah. Kebiasaan lari pagi yang sering dilakukan diwaktu pagi pada saat itu tidak dilakukannya karena badannya terasa masih lemas akibat pertarungan tadi malam dengan tantenya.

Lalu Arie pun berjalan menuju kolam, tidak dibanyangkan sebelumnya ternyata Tante Rani ada di kolam sedang berenang. Tante Rani mengenakan celana renang warna merah dan BH warna merah pula. Melihat kedatangan Arie. Tante Rani mengajaknya berenang. Arie hanya tersenyum dan berkata, “Nggak ah Tante, Saya malas ke atasnya.” Mendapat jawaban itu, Tante Rani hanya tersenyum, soalnya Tante Rani mengetahui Arie tidak menggunakan celana renang. “Sudahlah pakai celana dalam aja,” pinta Tante Rani. Tantenya yang terus meminta Arie untuk berenang. Akhirnya iapun membuka baju dan celana pendeknya yang tinggal melekat hanya celana dalamnya yang berwarna biru.

Celana dalam warna biru menempel rapat menutupi batang kemaluan Arie yang kedinginan. Loncatan yang sangat indah diperlihatkan oleh Arie sambil mendekati Tante Rani, yang malah menjauh dan mengguyurkan air ke wajah Arie. Sehingga di dalam kolam renang itu Tante Rani menjadi kejaran Arie yang ingin membalasnya. Mereka saling mengejar dan saling mencipratkan air seperti anak kecil. Karena kecapaian, akhinya Tante Rani dapat juga tertangkap. Arie langsung memeluknya erat-erat, pelukan Arie membuat Tante Rani tidak dapat lagi menghindar.

“Udah akh Arie.. Tante capek,” seru mesra Tante Rani sambil membalikkan badannya. Arie dan Tante Rani masih berada di dalam genangan kolam renang. “Kamu tidak kuliah Rieee,” tanya Tante Rani. “Tidak,” jawab Arie pendek sambil meraba bukit kemaluan Tante Rani. Terkena rabaan itu Tante Rani malah tersenyum sambil memberikan ciuman yang sangat cepat dan nakal lalu dengan cepatnya ia melepaskan ciuman itu dan pergi menjauhi Arie. Mendapatkan perlakuan itu Arie menjadi semakin menjadi bernafsu dan terus memburu tantenya. Dan pada akhirnya tantenya tertangkap juga. “Sudah ah… Tante sekarang mau ke kantor dulu,” kata Tante Rani sambil sedikit menjauh dari Arie.

Ketika jaraknya lebih dari satu meter Tante Rani tertawa geli melihat Arie yang celana dalamnya telah melorot di antara kedua kakinya dengan batang kemaluannya yang sudah bangkit dari tidurnya. “Kamu tidak sadar Arie, celana dalammu sudah ada di bawah lutut..” Mendengar itu Arie langsung mendekati Tante Rani sambil mendekapnya. Tante Rani hanya tersenyum. “Kasihan kamu, adikmu sudah bangun lagi, tapi Tante tidak bisa membantumu karena Tante harus sudah pergi,” kata Tante Rani sambil meraba batang kemaluan Arie yang sudah menegang kembali.

Mendengar itu Arie hanya melongo kaget. “Akhh, Tante masa tidak punya waktu hanya beberapa menit saja,” kata Arie sambil tangannya berusaha membuka celana renang Tante Rani yang berwarna merah. Mendapat perlakuan itu Tante Rani hanya diam dan ia terus mencium Arie sambiil berkata, “Iyaaa deh.. tapi cepat, yaa.. jangan lama-lama, nanti ketahuan orang lain bisa gawat.”

Tante Rani membuka celana renangnya dan memegangnya sambil merangkul Arie. Batang kemaluan Arie langsung masuk ke dalam liang kewanitaan Tante Rani yang sudah dibuka lebar-lebar dengan posisi kedua kakinya menempel di pundak Arie. Beberapa detik kemudian, setelah liang kewanitaan Tante Rani telah melahap semua batang kemaluan Arie dan dirasakannya batang kemaluan Arie sudah menegang. Tante Rani menciumnya dengan cepat dan langsung mendorong Arie sambil pergi dan terseyum manis meninggalkan Arie yang tampak kebingungan dengan batang kemaluannya yang sedang menegang.

Mendapat perlakuan itu Arie menjadi tambah bernafsu kepada Tante Rani, dan ia berjanji kalau ada kesempatan lagi ia akan menghabisinya sampai ia merasa kelelahan. Lalu Arie langsung pergi meninggalkan kolam itu untuk membersihkan badannya.

Setelah di kamar, Arie langsung membuka semua bajunya yang menjadi basah itu, ia langsung masuk kamar mandi dan menggosok badan dengan sabun. Ketika akan membersihkan badannya, air yang ada di kamar mandinya ternyata tidak berjalan seperti biasanya. Dan langsung Arie teringat akan keberadaan kamar Yuni. Arie lalu pergi keluar kamar dengan lilitan handuk yang menempel di tubuhnya. Wajahnya penuh dengan sabun mandi. “Yuni.. Yuni.. Yuni..” teriak Arie sambil mengetuk pintu kamar Yuni. “Masuk Kak Ariee, tidak dikunci.” balas Yuni dari dalam kamar.

Didapatinya ternyata Yuni masih melilitkan badan dengan selimut dengan tangannya yang sedang asyik memainkan kemaluannya. Permainan ini baru didapatkannya ketika ia melihat adegan tadi malam antara kakaknya dengan Arie dan kejadian itu membuat ia merasakan tentang sesuatu yang selama ini diidam-idamkan oleh setiap manusia.

“Ada apa Kak Arie,” kata Yuni sambil terus berpura-pura menutup badannya dengan selimut karena takut ketahuan bahwa dirinya sedang asyik memainkan kemaluannya yang sudah membasah sejak tadi malam karena melihat kejadiaan yang dilakukan kakaknya dengan Arie. “Anu Yuni.. Kakak mau ikut mandi karena kamar mandi Arie airnya tidak keluar.” Memang Yuni melihat dengan jelas bahwa badan Arie dipenuhi oleh sabun tapi yang diperhatikan Yuni bukannya badan tapi Yuni memperhatikan diantara selangkangannya yang kelihatan mencuat.

Iseng-iseng Yuni menanyakan tentang apa yang mengganjalnya dalam lilitan handuk itu. Mendengar pertanyaan itu niat Arie yang akan menerangkan tentang biologi ternyata langsung kesampaian dan Arie pun langsung memperlihatkannya sambil memengang batang kemaluannya, “Ini namanya penis.. Sayang,” kata Arie yang langsung menuju kamar mandi karena melihat Yuni menutup wajahnya dengan selimut.

Melihat batang kemaluan Arie yang sedang menegang itu Yuni membayangkan bila ia mengulumnya seperti yang dilakukan kakaknya. Keringat dingin keluar di sekujur tubuh Yuni yang membayangkan batang kemaluan Arie dan ia ingin sekali seperti yang dilakukan oleh kakaknya juga ia melakukannya. Mata Yuni terus memandang Arie yang sedang mandi sambil tangan terus bergerak mengusap-usap kemaluannya.

Akhirnya karena Yuni sudah dipuncak kenikmatan, ia mengerang akibat dari permainan tangannya itu telah berhasil dirasakannya .Dengan beraninya Yuni pergi memasuki kamar mandi untuk ikut mandi bersama Arie. Melihat kedatangan Yuni ke kamar mandi, Arie hanya tersenyum. “Kamu juga mau mandi Yun,” kata Arie sambil mencubit pinggang Yuni.

Yuni yang sudah dipuncak kenikmatan itu hanya tersenyum sambil melihat batang kemaluan Arie yang masih mengeras. “Kak boleh nggak Yuni mengelus-elus barang itu,” bisik Yuni sambil menunjuknya dengan jari manisnya. Mendengar permintaan itu Arie langsung tersenyum nakal, ternyata selama ini apa yang diidam-idamkannya akan mendapatkan hasilnya. Dalam pikiran Arie, Yuni sekarang mungkin telah mengetahui akan kenikmatan dunia. Tanpa diperintah lagi Arie langsung mendekatkan batang kemaluannya ke tangan Yuni dan menuntun cara mengelus-elusnya. Tangan Yuni yang baru pertama kali meraba kepunyaan laki-laki itu sedikit canggung, tapi ia berusaha meremasnya seperti meremas pisang dengan tenaga yang sangat kuat hingga membuat Arie kesakitan.

“Aduh.. jangan keras-keras dong Yuni, nanti batang kemaluannya patah.” Mendengar itu Yuni menjadi sedikit kaget lalu Ari membatunya untuk memainkan batang kemaluannya dengan lembut. Tangan Yuni dituntunnya untuk meraba batang kemaluan Arie dengan halus lalu batang kemaluan Arie didekatkan ke wajah Yuni agar mengulumnya. Yuni hanya menatapnya tanpa tahu harus berbuat apa. Lalu Arie memerintahkan untuk mengulumnya seperti mengulum ice crem, atau mengulumnya seperti mengulum permen karet. Diperintah tersebut Yuni langsung menurut, mula-mula ia mengulum kepala batang kemaluan Arie lalu Yuni memasukkan semua batang kemaluan Arie ke dalam mulutnya. Tapi belum juga berapa detik Yuni terbatuk-batuk karena kehabisan nafas dan mungkin juga karena nafsunya terlalu besar.

Setelah sedikit tenang, Yuni mengulum lagi batang kemaluan Arie tanpa diperintah sambil pinggul Yuni bergoyang menyentuh kaki Arie. Melihat kejadian itu Arie akhirnya menghentikan kuluman Yuni dan langsung mengangkat Yuni dan membawanya ke ranjang yang ada di samping kamar mandi. Sesampainya di pinggir ranjang, dengan hangat Yuni dipeluk oleh Arie dan Yuni pun membalas pelukan Arie. Bibir Yuni yang polos tanpa liptik dicium Arie dengan penuh kehangatan dan kelembutan. Dicium dengan penuh kehangatan itu Yuni untuk beberapa saat terdiam seperti patung tapi akhirnya naluri seksnya keluar juga, ia mengikuti apa yang dicium oleh Arie. Bila Arie menjulurkan lidahnya maka Yuni pun sama menjulurkan lidahnya ke dalam mulut Arie. Dengan permainan itu Yuni sangat menikmatinya apalagi Arie yang bisa dikatakan telah dilatih oleh kakaknya yang telah berpengalaman.

Kecupan Yuni kadang kala keluar suara yang keras karena kehabisan nafas. “Pek.. pek..” suara bibir Yuni mengeluarkan suara yang membuat Arie semakin terangsang. Mendengar suara itu Arie tersenyum sambil terus memagutnya. Tangan Arie dengan terampil telah membuka daster putih yang dipakai Yuni. Dengan gerakan yang sangat halus, Arie menuntun Yuni agar duduk di pinggir ranjang dan Yuni pun mengetahui keinginan Arie itu. Bibir Yuni yang telah berubah warna menjadi merah terus dipagut Arie dengan posisi Yuni tertindih oleh Arie. Tangan Yuni terus merangkul Arie sambil bukit kemaluannya menggesek-gesekkan sekenanya.

Lalu Arie membalikkan tubuh Yuni sehingga kini Yuni berada di atas tubuh Arie, dengan perlahan tangan Arie membuka BH putih yang masih melekat di tubuh Yuni. Setelah berhasil membuka BH yang dikenakan Yuni, Arie pun membuka CD putih yang membungkus bukit kemaluan Yuni dilanjutkan menggesek-gesekkan sekenanya. Erangan panjang keluar dari mulut Yuni. “Auuu…” sambil mendekap Arie keras-keras. Melihat itu Arie semakin bersemangat. Setelah Arie berhasil membuka semua pakaian yang dikenakan Yuni, terlihat Yuni sedikit tenang iapun kembali membalikkan Yuni sehingga ia sekarang berada di atas tubuh Yuni.

Arie menghentikan pagutan bibirnya ia melanjutkan pagutannya ke bukit kemaluan Yuni yang telah terbuka dengan bebas. Dipandanginya bukit kemaluan Yuni yang kecil tapi penuh tantangan yang baru ditumbuhi oleh bulu-bulu hitam yang kecil-kecil. Kaki Yuni direnggangkan oleh Arie. Pagutan Arie beganti pada bibir kecil kepunyaan Yuni. Pantat Yuni terangkat dengan sendirinya ketika bibir Arie mengulum bukit kemaluan kecilnya yang telah basah oleh cairan. Harum bukit kemaluan perawan membuat batang kemaluan Arie semakin ingin langsung masuk ke sarangnya tapi Arie kasihan melihat Yuni karena kemaluannya belum juga merekah. Jilatan bibir Arie yang mengenai klitoris Yuni membuat Yuni menjepit wajah Arie. Semburan panas keluar dari bibir bukit kemaluan Yuni. Yuni hanya menggeliat dan menahan rasa nikmat yang baru pertama kali didapatkanya.

Lalu Arie merasa yakin bahwa ini sudah waktunya, ditambah lagi batang kemaluannya yang sudah telalu lama menengang. Arie menarik tubuh Yuni agar pantatnya pas tepat di pinggir ranjang. Kaki Yuni menyentuh lantai dan Arie berdiri diantara kedua paha Yuni.

Melihat kondisi tubuh Yuni yang sudah tidak menggunakan apa-apa lagi ditambah dengan pemandangan bukit kemaluan Yuni yang sempit tapi basah oleh cairan yang keluar dari bibir kecilnya membuat Arie menahan nafas. Arie berdiri, dan batang kemaluannya yang besar itu diarahkan ke bukit kemaluan Yuni. Melihat itu Yuni sedikit kaget dan merasa takut Yuni menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Melihat gejala itu Arie hanya tersenyum dan ia sedikit lebih melebarkan paha Yuni sehingga klitorisnya terlihat dengan jelas. Ia menggesek-gesekkan batang kemaluannya di bibir kemaluan Yuni. Sambil menggesek-gesek batang kemaluan, Arie kembali mendekap Yuni sambil membuka tangannya yang menutupi wajahnya. Melihat Arie yang membuka tangannya, Yuni langsung merangkulnya dan mencium bibir Arie. Pagutan pun kembali terjadi, bibir Yuni dengan lahapnya terus memagut bibir Arie. Suara erangan kembali keluar lagi dari mulut Yuni. “Aduhh… Kaak…” erang Yuni sambil merangkul tubuh Arie dengan keras. Arie meraba-raba bukit kemaluan Yuni dengan batang kemaluannya setelah yakin akan lubang kemaluan Yuni, Arie mendorongnya perlahan dan ketika kepala kejantanan Arie masuk ke liang senggama Yuni. Yuni mengerang kesakitan, “Kak.. aduh sakit, Kak…”

Mendengar rintihan itu, Arie membiarkan kepala kemaluannya ada di dalam liang senggama Yuni dan Arie terus memberikan pagutannya. Kuluman bibir Yuni dan Arie pun berjalan lagi. Dada Arie yang besar terus digesek-gesekkan ke payudara Yuni yang sudah mengeras. Yuni yang menahan rasa sakit yang telah bercampur dengan rasa nikmat akhirnya mengangkat kakinya tinggi-tinggi untuk menghilangkan rasa sakit di liang senggamanya dan itu ternyata membantunya dan sekarang menjadi tambah nikmat.

Kepala kemaluan Arie yang besar baru masuk ke liang kewanitaan Yuni, tapi jepitan liang kemaluan Yuni begitu keras dirasakan oleh batang kemaluan Arie. Sambil mencium telinga kiri Yuni, Arie kembali berusaha memasukkan batang kemaluannya ke liang senggama Yuni. “Aduh.. aduh.. aduh.. Kak,” Mendengar rintihan itu Arie berkata kepada Yuni. “Kamu sakit Yuni,” bisik Arie di telinga Yuni. “Nggak tahu Kaak ini bukan seperti sakit biasa, sakit tapi nikmat..”

Mendengar penjelasan itu, Arie terus memasukkan batang kemaluannya sehingga sekarang kepala kemaluannya sudah masuk semua ke dalam liang senggama Yuni. Batang kemaluan Arie sudah masuk ke liang senggama Yuni hampir setengahnya. Batang kemaluannya sudah ditelan oleh liang kemaluan Yuni, kaki Yuni semakin diangkat dan tertumpang di punggung Arie. Tiba-tiba tubuh Yuni bergetar sambil merangkul Arie dengan kuat. “Aduhhh…” dan cairan hangat keluar dari bibir kemaluan Yuni, Arie dapat merasakan hal itu melalui kepala kemaluannya yang tertancap di bukit kemaluan Yuni. Lipatan paha Yuni telah terguyur oleh keringat yang keluar dari tubuh mereka berdua.

Mendapat guyuran air di dalam bukit kemaluan itu, Arie lalu memasukkan semua batang kemaluannya ke dalam lubang senggama Yuni. Dengan satu kali hentakan. “Preeet…” Yuni melotot menahan kesakitan yang bercampur dengan kenikmatan yang tidak mungkin didapatkan selain dengan Arie. “Auh.. auh.. auh..” suara itu keluar dari mulut kecil Yuni setelah seluruh batang kejantanan Arie berada di dalam lembah kenikmatan Yuni. “Kak, Badan Yuni sesak, sulit bernafas,” kata Yuni sambil menahan rasa nikmat yang tiada taranya. Mendengar itu lalu Arie membalikkan tubuh Yuni agar ia berada di atas Ari. Mendapatkan posisi itu Yuni seperti pasrah dan tidak melakukan gerakan apapun selain mendekap tubuh Arie sambil meraung-raung kenikmatan yang tiada taranya yang baru kali ini dirasakannya.

Yuni dan Arie terdiam kurang lebih lima menit. “Yuni, sekarang bagaimana badanmu,” kata Arie yang melihat Yuni sekarang sudah mulai menggoyang-goyangkan pantatnya dengan pelan-pelan. “Udah agak enakan Kak,” balas Yuni sambil terus menggoyang-goyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan. Mendapatkan serangan itu Arie langsung mengikuti gerakan goyangan itu dan goyangan Arie dari atas ke bawah.

Lipantan-lipatan kehangatan tercipta di antara selangkangan Yuni dan Arie. Sambil menggoyangkan pantatnya, mulut Yuni tetap mengaduh, “Aduhhh…” Merasakan nikmat yang telah menyebar ke seluruh badannya. Tanpa disadari sebelumnya oleh Arie. Yuni dengan ganasnya menggoyang-gonyangkan pantatnya ke samping dan ke kiri membuat Arie kewalahan ditambah lagi kuatnya jepitan bukit kemaluan Yuni yang semakin menjepit seperti tang yang sedang mencepit paku agar paku itu putus. Beberapa menit kemudian Arie memeluk badan Yuni dengan eratnya dan batang kemaluannya berusaha ditekan ke atas membuat pantat Yuni terangkat. Semburan panas pun masuk ke bukit kemaluan Yuni yang kecil itu. Mendapat semburan panas yang sangat kencang, Yuni mendesis kenikmatan sambil mengeram, “Aduhh… aduh.. Kak..”

Selang beberapa menit Arie diam sambil memeluk Yuni yang masih dengan aktif menggerak-gerakkan pantatnya ke kiri dan ke kanan dengan tempo yang sangat lambat. Setelah badannya merasa sudah agak baik, Arie membalikkan tubuh Yuni sehingga sekarang tubuh Yuni berada di bawah Arie. Batang kemaluan Arie masih menancap keras di lembah kemaluan Yuni meskipun sudah mengeluarkan sperma yang banyak. Lalu kaki Yuni diangkat oleh Arie dan disilangkan di pinggul. Arie mengeluarkan batang kemaluannya yang ada di dalam liang senggama Yuni. Mendapat hal itu mata Yuni tertutup sambil membolak-balikkan kepala ke kiri dan ke kanan lalu dengan perlahan memasukkan lagi batang kemaluannya ke dalam liang senggama Yuni, turun naik batang kemaluan Arie di dalam liang perawan Yuni membuat Yuni beberapa kali mengerang dan menahan rasa sakit yang bercampur dengan nikmatnya dunia. Tarikan bukit kemaluan Yuni yang tadinya kencang pelan- pelan berkurang seiring dengan berkurangnya tenaga yang terkuras habis dan selanjutnya Arie mengerang-erang sambil memeluk tubuh Yuni dan Yuni pun sama mengeluarkan erangan yang begitu panjang, keduanya sedang mendapatkan kenikmatan yang tiada taranya.

Arie mendekap Yuni sambil menikmati semburan lahar panas dan keluarnya sperma dalam batang kemaluan Arie dan Yuni pun sama menikmati lahar panas yang ada dilembah kenikmatannya. Kurang lebih lima menit, Arie memeluk Yuni tanpa adanya gerakan begitu juga Yuni hanya memeluk Arie. Dirasakan oleh Arie bahwa batang kemaluannya mengecil di dalam liang kemaluan Yuni dan setelah merasa batang kemaluannya betul-betul mengecil Arie menjatuhkan tubuhnya di samping Yuni. Arie mencium kening Yuni. Yuni membalasnya dengan rintihan penyesalan, seharusnya Arie bertanggung jawab atas hilangnya perawan yang dimiliki Yuni.

Mendengar itu Arie hanya tersenyum karena memang selama ini Arie mendambakan istri seperti Yuni ditambah lagi ia mengetahui bila hidup dengan Yuni maka ia akan mendapatkan segalanya. Arie mengucapkan selamat bobo kepada Yuni yang langsung tertidur kecapaian dan Arie langsung keluar dari kamar Yuni setelah Arie menggunakan pakaiannya kembali.

Arie masuk ke dapur, didapatnya tantenya sedang dalam keadaan menungging mengambil sesuatu. Terlihat dengan jelas celana merah muda yang dipakai tantenya. Tante Rani dibuat kaget karena Arie langsung meraba liang kewanitaannya yang terbungkus CD merah muda sambil menegurnya. “Tante sudah pulang,” tanya Arie. Sambil melepaskan rabaan tangannya di liang kewanitaan tantenya. Lalu Arie membuka kulkas untuk mencari air putih. “Iya, Tante hanya sebentar kok. Soalnya Tante kasihan dengan burung kamu yang tadi Tante tinggalkan dalam keadaan menantang,” jawab Tante Rani sambil tersenyum. “Bagaimana sekarang Arie burungnya, sudah mendapatkan sarang yang baru ya..” Mendapat ejekan itu, Arie langsung kaget. “Ah Tante, mau cari sangkar di mana,” jawab Arie mengelak. “Arie kamu jangan mengelak, Tante tau kok.. kamu sudah mendapatkan sarang yang baru jadi kamu harus bertanggung jawab. Kalau tidak kamu akan Tante laporkan sama Oom dan kedua orang tuanmu bahwa kamu telah bermain gila bersama Yuni dan Tante.”

Mendengar itu, Arie langsung diam dan ia akan menikahi Yuni seperti yang dijanjikanya. Mendengar hal itu Tante Rani tersenyum dan memberikan kecupan yang mesra kepada Arie sambil meraba batang kemaluan Arie yang sudah tidak kuat untuk berdiri. Melihat batang kemaluan Arie yang sudah tidak kuat berdiri itu Tante Rani tersenyum. “Pasti adikku dibuatnya KO sama kamu yaa… Buktinya burung kamu tidak mau berdiri,” goda Tante Rani. “Ahh nggak Tante, biasa saja kok.”

Tante Rani meninggalkan Arie, sambil mewanti-wanti agar menikahi adiknya. Akhirnya pernikahan Yuni dengan Arie dilakukan dengan pernikahan dibawah tangan atau pernikahan secara agama tetapi dengan tanpa melalui KUA karena Yuni masih dibawah umur.

Mbak Narsih __Siapin bnyk tisu

Mbak Narsih Yang Galak
Namaku Kuntadi Priyambada. Aku biasa di pangil Kun. Kedua orang tuaku sudah meninggal, Ketika itu aku baru kelas 2 SMP, Aku terpaksa ikut Mas Pras. Dia adalah anak ayah dari isteri pertama. Jadi aku dan Mas Pras lahir dari ibu yang berbeda. Mas Pras ( 30 tahun ) orangnya baik dan sayang kepadaku, tapi istrinya……… wah judes, dan galak. Ketika Ibuku meninggal, yang mengakibatkan aku jadi sebatang kara di dunia, Mas Pras baru seminggu menikah. Kehadiranku di keluarga baru itu, tentu sangat mengganggu privasi mereka. Rumah kontrakan sempit hanya ada tiga kamar. Kamar tidur, kamar tamu dan dapur. Aku merasakan sikap yang kurang enak ini sejak aku hadir di situ.
“Kun, kamu tidur di kursi tamu dulu, ya…? Atau di karpet juga bisa. Kamu tau kan, memang tidak ada tempat?” Mas Pras menyapaku dengan lembut.”Sama Mbak-mu harus nurut. Bantu dia kalu banyak pekerjaan” Aku hanya mengangguk. Aku tidak begitu akrab dengan Mas Pras, karena memang jarang bertemu. Aku di Jogja, Mas Pras kerja di Semarang. Nengok ibu (tiri) paling setengah tahun sekali. Sambil mengirim uang buat biaya sekolah aku.

Kakak lalu berangkat kerja. Dia adalah sopir truk antar-propinsi. Saat itu aku putus sekolah. Di Jogja belum keluar, tapi di Semarang belum masuk ke sekolah baru. Sehari-hari di rumah sempit itu menemani kakak ipar yg baru seminggu ini kukenal. Rasanya aku tidak krasan tinggal di “neraka” ini. Tapi mau ke mana dan mau ikut siapa?
Pagi itu aku sudah selesai menjemur pakaian yang dicuci Mbak Narsih. Kulihat dia lagi sibuk di dapur.
“Mbak, saya disuruh bantu apa?” aku mencoba pedekate dengan Mbak Narsih.
“Cah lanang, bisanya apaaa. Sana ambil air, cuci gelas, piring dan penuhi bak mandi.” Sakit telinga dan hatiku mendengar perintahnya yang kasar. Tanpa ba-bi-bu semua kulaksanakan. Karena tak ada lagi yang mesti dikerjakan lagi, iseng-iseng aku nyetel radio kecil di meja tamu (Kakak gak punya tivi)
“E…malah dengerin radio……….sana belanja ke warung” aku diberi daftar belanjaan. Untungnya aku sudah biasa membantu Ibu ketika beliau masih ada. Aku hidup bersama Ibu sejak kecil, karena ayah sudah lama meninggal. Agak jauh warung itu. Aku tidak malu-malu dan canggung beli sayuran, malah Bu Salamun, yang jual sayur heran, “Mbok, nyuruh pembantunya, to cah bagus. Kok belanja sendiri.” Aku cuma senyum saja. “Ini, Mbak, belanjaannya. Ini susuknya.” Kuserahkan tas kresek dan uang kembalian, tapi Mbak Narsih tetep sibuk marut kelapa. Kutaruh saja tas kresek itu di kursi kayu dekat kompor minyak. Memang kesannya dia baru marah. Padahal aku tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Tanpa disuruh aku ikut mengupas bawang, memetik sayur dan menyiapkan bumbu yang tadi kubeli. “Mau bikin sayur lodeh,to Mbak?”
“Sok tau………..” jawabnya ketus. Dia mulai masak. Aku keluar saja. Ada rasa ngeri deket-deket orang marah. Di luar aku nggak berani dengerin radio lagi. Ingin rasanya aku menangis dan pergi dari rumah ini. Aku duduk di teras rumah melihat orang berlalu lalang di depan rumah. Tiba-tiba aku membaui masakan yang gosong. Tapi aku tidak berani masuk. Takut dibentak istri Mas Pras yang cantik tapi guualakke pol itu.
“Kuuuuuunnn…………..sini” Mbak Narsih berteriak memanggil. Aku bergegas masuk. Kulihat dapur berantakan. Panci sayur di lantai, sayur tumpah. Kursi tempat menaruh bumbu sudah terguling.Bumbu bertebaran di lantai. Dan…. kompor menyala besaar sekali. Untung aku tidak ikut panik dan bisa berpikir cepat.
“Mbaaaakk…kenapa tanganmu?” Kulihat tangannya merah melepuh, Tangan Mbak Narsih sepertinya ketumpahan kuah tapi perhatianku lebih tertuju pada kompor yang menyala besar sekali,. Cepat kuambil keset di ruang tamu, kubasahi dengan air cucian dan kututupkan ke kompor yang menyala itu. Sesaat kemudian kompor itu padam. Cepat kupetik papaya di depan rumah ( padahal itu milik Lik Yanto, tetangga) kubelah pakai pisau. Lalu getahnya kuusapkan ke tangan Mbak Narsih yang melepuh.
“Jangan…nanti sakit….ngawur….aduuuuh,,,” Mbak Narsih menangis dan aku nekad menutup lukanya iu dengan sayatan-sayatan papaya mentah. Luka itu akhirnya tertutup semua dengan sayatan buah papaya. Keliatannya usahaku berpengaruh. Mbak Narsih agak tenang sekarang.
“Sudah dingin, Mbak?” aku menatap dengan iba kakak iparku yang malang ini. Air matanya meleleh. Dia diam membisu sambil menggigit bibirnya menahan sakit. Pasti panas dan perih, aku tahu itu.
“Kun, kita gak bisa makan siang.” Akhirnya keluar suara Mbak Narsih, pelan tidak galak lagi.
“Wis Mbak, istirahat saja, masih sakit kan?” kutegakkan kursi yang terguling dan kutuntun Mbak Narsih duduk. Dapur segera kubersihkan. Kompor bisa menyala lagi. Sisa-sisa bumbu yg ada kupakai untuk masak sayur pepaya. Aku sudah terbiasa membantu Ibu, jadi ini hanya suatu kebiasaan. Mbak Narsih hanya melihat aku sibuk di dapur tanpa komentar. Dia terus-terusan mengaduh kesakitan. Tapi aku mendahulukan selesainya pekerjaan di dapur. Sayur sudah masak. Nasi sudah ada. Semua kuatur di meja tamu yang sekaligus menjadi meja makan.
“Mbak, mau makan? Tak ambilke, ya?” Mbak Narsih hanya memandangku dengan mata basah.
“Kun, kamu baik, ya? Terimasih, ya Dik, tapi kedua tanganku melepuh begini, dan ini perutku perih sekali. Kulihat perut Mbak Narsih, Astaga…. Ternyata daster sebelah kiri sudah terbakar dan perut Mbak Narsih bengkak kemerah-merahan. Aku cari sisa-sisa irisan papaya tadi. Aku parut lembut dan kuparamkan di perutnya. Waktu itu aku tidak berpikir macem-macem, karena perhatianku pada penderitaannya. Dia agak tenang sekarang.
“Ambilkan daster Mbak yang utuh di lemari, Kun. Yang kupakai ini dibuang saja, sudah separo terbakar.”
Aku ambilkan daster pink di lemari lalu….aku berhenti dan termangu di depan Mbak Narsih.
“Ayo, buka daster yang terbakar ini. Tolong diganti dengan yang kamu ambilkan tadi.” Mbak Narsih melihat keraguanku tadi. ‘Pelan, pelan…. Ada yang masih lengket di kulit…ssss… adduuuh”
Akhirnya daster itu bisa kulepas. Baru kali ini aku melihat dengan jelas dan dari dekat, wanita setengah telanjang. Mbak Narsih berkulit putih bersih. Perutnya rata dan…. yang terbungkus di bra hitam itu bulat putih dan besaar. Aku terpesona sesaat.
“Ayoooo….. dingiiin, Kun. Cepat ambil daster pink itu” aku tersadar dari pesona keindahan di depanku segera memakaikan daster itu.
Siang itu aku menyuapi Mbak Narsih. “Enak, Kun, masakanmu. Kamu kok bisa masak, to?”
“Halah, aku Cuma liat Ibu masak dan sering membantu Ibu.” Tapi dalam hati aku bangga memperoleh perhatian seperti itu.
Lik Yanto dan Mbak Saodah, isterinya, datang menengok dan memberi salep dingin. Tiap hari, pagi dan sore aku mengolesi luka-lukanya. Kedua tangan, jari, dan perutnya. Tiga hari aku merawat Mbak Narsih ……. suasana sudah berubah total. Keadaan dia, dua tangannya nyaris nggak bbisa pegang apapun. Telapak tangan melepuh, membuat dia menyadari bahwa saat itu, aku diperlukan, selama Mas Pras belum pulang. Karena tiap pagi dan sore, mengepel tubuhnya, aku bisa melihat dari dekat seperti apa tubuh wanita dewasa itu. Saat aku mengelap tubuhnya, aku jadi tau, bentuk payudaranya yang bulat dan kenceng, putingnya yang coklat dipucuk gunung putihnya, Saat kulepas celdamnya, bisa kulihat bibir bawahnya yang indah berambut tipis. Pangkal pahanya lebih putih daripada sekitarnya. Memang Mbak Narsih wanita cantik sempurna. Kakakku tidak salah memilih pasangan hidupnya. Mas Pras ganteng, Mbak Narsih cantik. Hidungnya mungil tapi tidak pesek. Runcing indah di atas bibirnya yang mungil. Seperti Yuni Shara, tapi tubuh kakakku jauh lebih besar dan lebih tinggi. Tanpa kusadari, aku kok merasa asyik merawat kakakku ini. Pengen nya hari segera sore atau kalau malam ingin segera pagi. Ada kerinduan untuk melihat keindahan itu. Ah, berdosakah aku? Sering aku diam melamun diombang-ambingkan perasaan ingin menikmati tapi juga merasa bersalah kepada Mas Pras.
Setelah tiga hari hanya di lap dan dipel dengan handuk basah., pagi itu dia minta dimandikan dengan air hangat. Kusiapkan air hangat di baskom. Mbak Narsih duduk di kursi kayu, kamar mandi kubiarkan terbuka, agar ruangan lebih luas dan aku bisa ikut masuk mengguyur tibuhnya dan memandikannya. Aku merasakan kehalusan kulitnya saat aku menyabuni tubuhnya. Pahanya yang mulus dan bersih, pundak dan lehernya yang jenjang dan putih. Tadinya aku ragu-ragu untuk menyabuni susunya. Tapi Mbak Narsih dengan “marah” memaksaku menyabuni bukit kembarnya itu.
“Kun, terus saja gosok dan putar-putar di situ, biar bersih.” perasaan sudah bersih banget, kenapa disuruh menyabuni terus. Melihat kemontokannya terasa celanaku jadi sempit.
“Nah. Diputar putar gitu, Kun. Terus dari bawah diangkat sambil digosok.” Mbak Narsih terus member pengarahan. Kusangga payudaranya naik, lalu sedikit kuremas dan kupijit. Mbak Narti tidak protes, Cuma memandang ke payudaranya yang semakin menggembung montok itu. Apalagi kedua tangannya diangkat naik karena takut telapak tangannya yang luka terkena air, sehingga keteknya yang bermbut tipis itu terbuka lebar. Payudaranya terangkat naik.
“Sekarang, ambil air lagi, diguyur pelan-pelan. Sambil dihilangkan sabunnya.” Kuguyur merata, dan sisa-sisa busa larut ke bawah menampakkan kecerahan kulitnya yang semakin terang. Aku yakin tanpa lampu pun kamar mandi itu akan terang benderang karena kecerahan kulitnya.
“Dikosoki, Kun biar dakinya ilang.” Mbak Narsih mengulang lagi. Mulutku terkatub rapat sambil menggigit bibir, menahan perasaan aneh di hati, kugosok-gosok sisa sisa sabun yang terasa licin itu.
Memang enak rasanya menyentuh daging empuk ini. Aku malah setengah meremas pada ujung-ujungnya. Aku heran kenapa pucuknya keras. kenapa setiap aku remas ujung susunya, Mbak Narsih memejamkan matanya. “Masih sakit, Mbak?” Dia Cuma menggeleng tapi tetap mata terpejam.
“Kun, sudah tiga hari ini Mbak nahan untuk tidak ke WC, tapi perutku sudah sakit banget. Aku mau ke WC, Nanti tolong kamu semprot ya anuku, pakai toler air. Tanganku masih melepuh.” Mbak Narsih jongkok di WC, pintu kututup. Wah, baunya sampai juga di luar. Aduuuh, tugas berat nih, keluhku dalam hati membayangkan kotoran yang baunya saja sudah begitu menyengat. Kupijit hidungku.

“Kun, buka pintu WC dan semprot aku ya” kudengar suaranya dari dalam. Sudah kusipkan air yg kuberi sedikit obat pel yang wangi. Kubuka kran dan kutembakkan “water kanon” itu untuk membersihkan kotoran yang menempel di sana. Lalu Mbak Narsih membalikkan badan, membelakangiku. Pantatnya yang besar dan putih itu terpampang di hadapanku,”Semprot, Kun….!” Aku arahkan dari bawah air itu menyemprot lubang anusnya.
“Sudah bersih belum Kun?” Mbak Narsih nungging, terlihat dua lubang dobel. Berwarna pink semuanya. Ooo, seperti ini bentuk tempik perempuan dewasa dari dekat? Celanaku semakin mengggembung.
“Sudah belum? Kok lama sekali lihatnya?” dia protes
“SSssuudah…Mbak, jelas sekali…eeehh bersih sekali” aku jadi salah tingkah dan keseleo lidah.
“Sekarang ambil sabun. Tolong sabunilah biar hilang baunya. Tanganmu gak akan kena kotoranku lagi”
Haaaa…. Menyabuni “ituuu?” Aku kok jadi bersemangat, tapi kusembunyikan kegiranganku itu dengan bersikap senormal dan setenang mungkin. Kugosok anusnya dengan sabun, lalu kemaluannya secukupnya, kemudian kubilas lagi dengan semprotan air wangi tadi..
Pengin-nya aku mau lama-lama, tapi aku malu. Waktu meraba belahan kemaluan Mbak Narsih tadi, punyaku berkedut-kedut hebat seperti mau kencing.
“Kun, kok cepet-cepet, ya nggak bersih dong.” Sergah Mbak Narsih dengan raut marah.”Ayo lagi”
Aku ambil sabun lagi. Lubang duburnya kuusap-usap pelan, dari belakang kulihat bokong putih itu terangkat-angkat saat aku mengusap tadi. Seluruh permukaan bokongnya kusabuni dengan penuh perasaan. O, bersihnyaaaa..ooo putihnya…. Lalu kutelusupkan jariku maju ke “garis” di depan sana. Ternyata jariku “keceplos” ke dalam alur yang basah dan hangat. Di dalam terasa ada keduta-kedut yg menjepit jariku. Seperti aliran listrik, menjalar ke celanaku terasa juga kedutan kedutan liar di yang semakin terasa.
“Terus saja, Kun, teruussss….. nah.. pinter kamu, Kun…” Mbak Narsih menggumam seperti ngomong sendiri. Aku semakin tak bisa menahan kedutan di celanaku. Tak terasa dan tak kusadari, jariku bergerak menusuk semakin dalam ke “sana” seiring rasa yg kurasakan. Ujung jariku terasa menggapai-gapai sesuatu yang menonjol di dalam “sana” dan Mbak Narsih mendesis ; “Aaaaahhhh.. ssssshhh…” mendengar rintihan Mbak Narsih, aku semakin “menderita” karena ada semacam gelombang getaran yang mau menjebol benteng. Jariku bergerak maju-mundur semakin cepat, dan gelombang itu semakin mendekat.”Aaaahhhh…Mbak..”
Bersamaan dengan itu Mbak Narsih juga merintih,”Ahh ssshhh,,,, aku keluaarrrr…oooohhhh”
Aku merasa ada yang keluar di celanaku. Aku ngompol! Padahal aku tidak tidur? Tapi kok enaaak sekali? Tiba-tiba aku merasa malu, takut kalau Mbak Narsih menoleh dan melihat celanaku basah. Mbak Narsih keliatan lemes tapi wajahnya mengekspresikan kepuasan. Setelah kulap dengan handuk seluruh tubuhnya, aku kenakan daster yang bersih. Rambutnya aki sisir rapi. Mbak Narsih diam saja dengan sikap manis. Pagi ini terlihat dia sangat cantik. Sambil menyisir rambutnya, kupandangi sepuasnya makhluk cantik di hdapanku sepuas-puasnya.
Seminggu kemudian Mas Pras pulang. Perban sudah dilepas, tapi tangan jadi belang.
“Kenapa, Sih, tanganmu?” Mas Pras terlihat kuwatir.
“Kompornya meledak. Untung ada pahlawan kecilmu.” Mas Pras mengelus kepalaku. dia tersenyum. Aku jadi bangga campur nalu. Aku khawatir Mbak Narsih cerita kalau aku menyeboki dia. Aku berdebar-debar terus. Untung Mbak Narsih malah cerita kalau aku ternyata pinter masak.
“Dik Narsih, Kuntadi ini juara masak dalam lomba masak di sekolahnya. Dia juga bintang lapangan basket.” Pujian Mas Pras membikin aku semakin malu saja. Meskipun itu memang benar.
Malam itu aku sudah bebas tugas menjaga Mbak Narsih. Kecuali tangannya sudah pulih, Mas Pras sudah datang. Jadi biarlah semuanya dilayani oleh suaminya. Aku menjatuhkan diri di sofa kamar tamu disergap rasa lelah luar biasa dan langsung tertidur lelap. Padahal itu baru jam enam sore. Tengah malam, aku terjaga. Sayup- sayup aku mendengar suara orang menangis, tetapi diberangi suara mendengus-dengus….Aku diam mendengarkan. Itu datangnya dari kamar Mas Pras. Ahhh…rupanya Mas Pras sedang “anu” dengan Mbak Narsih. Aku harus pura-pura tidur lelap. Aku merasa tidak sopan kalau nguping kegiatan mereka. Tetapi mataku tak mau dipejamkan lagi. Aku memang sudah puas tidur sejak petang tadi. sekarang mendengar suara Mbak Narsih nerintih dan menangis…. jadi ingat kejadian di kamar mandi kemarin. Terbayang lagi tubuh Mbak Narsih yang seksi dan putih mulus. wajah cantiknya ketika menangis sambil berkata,” kamu …baiiik… Kun”. Ada perasaan aneh menguasai diriku. Tak ada lagi wanita galak, yang ada wanita cantik yang pernah aku raba seluruh tubuhnya. Beraneka pikiran berkecamuk di kepala mengantarkanku ke alam mimpi indah, bertemu wanita cantik… wanita itu memperliatkan tubuhnya yang telanjang bulat. Kemaluannya didekatkan ke batangku Dia mendekatkan lubang itu ke arahku lalu memasukkannya ke sana. Suatu rasa yang nikmat menjalari sekluruh pori-pori kulitku dan…….ketika terbangun celanaku basah.
Tak terasa sudah dua bulan aku ikut Mas Pras. Beliau masih sering tugas luar kota. Kali ini beliau ada di Lampung dan Palembang selama dua bulan. Gaji hanya dititipkan kantor. Aku sering disuruh Mbak Narsih mengambil gajinya di kantor Mas Pras. Meskipun Mbak Narsih sudah baik, tapi sifat judesnya tak mau hilang. mungkin sudah pembawaan. Wah…. Kalau memerintah… harus dilaksanakan tanpa protes. Aku membuat kelalaian sedikit saja, bisa dia “menyanyi” sepanjang hari. Maka aku harus hati-hati kalau ngomong atau bertanya sesuatu. Aku harus membereskan semua pekerjaan di rumah, baru aku berani keluar untuk maen. Paling suka aku ke lapangan maen sepakbola dengan anak-anak tetangga pada sore hari. Kalo pagi aku suka “menghilang” di rumah Oom Yanto tetangga depan rumah untuk baca Koran atau majalah. Bulik Saodah cukup ramah. Dia mengerti kalo aku sedang “mengungsi” di situ, Aku sering curhat kepada Om Yanto dan isteriya tentang perlakuan Mbak Narsih.
“Kenapa ya, makin hari Mbak Narsih makin sering marah-marah tanpa tahu sebabnya?”
“Sabar dan cuek saja. Mungkin dia jengkel karena Mas Pras nggak pulang-pulang.” Om Yanto mencoba menganalisa. “Maklum kan manten anyar?”
“Dia tidak marah sama kamu Dik Kun,” Bulik Saodah menambahkan, “ tapi sama keadaan rumah yang membosankan. Dia butuh hiburan, penyegaran.” Aku sedikit memahami penjelasan mereka.
“Dik Kun saya nilai anak yang baik, lho. Jaman sekarang, hampir tidak ada anak laki-laki yang bisa trampil ngurus pekerjaan rumah tangga.” Bulik mencoba memberi support dan aku merasa terhibur.
Meskipun aku di rumah Om Yanto, tetapi aku selalu mengawasi keadaan rumah. Supaya kalau sewaktu-waktu dicari, aku sudah siap datang. Terlambat sedikit, bisa pecah kemarahannya.
Jam satu, saatnya makan siang. Aku harus pulang, menyiapkan meja makan. Memang aku merasakan, sepertinya aku ini bukan sebagai adiknya Mas Pras, tetapi lebih sebagai pembantu rumah tangganya Mbak Narsih. Tetapi sampai di rumah, aku melihat piring kotor dan gelas kosong di meja makan. Sayur juga sudah ada di meja makan. Berarti Mbak Narsih sudah makan. Tetapi kok nggak ada. Aku menengok ke kamar tidurnya, tidak ada. O, pasti di kamar mandi. Ya, sudah aku makan sendiri saja. Baru satu sendok aku makan, terdengar suara dari kamar mandi, “Hooeeeek……” Aku berhenti makan dan berdiri bimbang, harus apa aku? “Hoooeeeek….” O, mungkin ini tanda Mbak Narsih hamil. Aku mendekati pintu kamar mandi. “Sakit, Mbak?” “Hoooeeeek…” itu jawabannya. Aku mencoba mengetuk pintu kamar mandi yg terbuat dari seng itu, ternyata tidak dikancing, Kriiiit… terbuka dengan sendirinya. “Kun, aku mual banget.” Aku masuk dan menggandengnya keluar. Kududukkan di kursi ruang makan. Dia lalu merebagkan kepalanya di meja makan. Lemas. Badannya basah kuyup keringat dingin. “Sudah makan, Mbak?” sebetulnya aku nggak perlu Tanya, jelas baru saja dia makan dan habis banyak. Itu bisa dilihat dari sisa nasi di tempat nasi. “Sudah. …..Kun….bawa aku ke tempat tidur.” Lirih suaranya. Kupapah jalannya ke kamar. Satu tangannya di pundakku. Satu tanganku di pinggangnya.
Kurebahkan pelan-pelan tubuhnya dan kuberi bantal yang agak tinggi.
‘Kamu kok lama sekali di rumah Mas Yanto. Enak di sana ya?” pelan suaranya, tapi terasa menusuk perasaanku. Aku merasa bersalah.
”Aku …aku cuma baca-baca koran kok Mbak. Di rumah kan nggak ada bacaan.”
“Aku tau Kun” Mbak Narsih meraih tanganku disuruh duduk di tepi tempat tidur. “Mbak Narsih galak, kan?” Aku benar-benar jadi kikuk. Mau ngomong apa? Mau bilang tidak, nyatanya memang dia galak. Mau bilang nggak, pasti dia tau kalau aku bohong.
“Aku cuma takut saja, Mbak, kalau pas marah.”
“Maafin Mbak, ya Kun. Aku merasa sendirian kalau kamu pergi main atau kamu begitu krasan di rumah Mas Yanto.” Mbak Narsih menarik diriku hingga mukaku jatuh ke wajahnya. Diciumnya bibirku.
Lidahnya memaksa mulutku untuk terbuka. Di kulumnya bibirku. Aku gelagapan, tapi aku tidak berusaha menghindar. Rengkuhan tangannya begitu lembut penuh kehangatan. Kita berdua berciuman beberapa saat. Mula-mula aku pasif tapi lama-lama aku bisa mengikuti caranya. Lidanya pun kadang kusedot. Karena aku tidak bisa benafas aku mencoba melepaskan diri.
“Kun, …… jangan tinggalkan Mbak sendirian” matanya sayu dan mengiba. Sama sekali tidak terlihat galak dan judesnya. Sungguh penampilan yang sangat berbeda.
“Bisa pijit aku ya Kun, biar agak enteng mualku?” pintanya sambil memegang erat kedua telapak tanganku. Tatapan matanya menyihirku untuk mengangguk. “Pintunya ditutup dulu, nanti ada kucing masuk” Aku segera menutup pintu depan. Memang kucing putih punya tetangga sudah dua kali membongkar tudung saji di meja makan. Aku kembali ke kamar sambil membawa obat gosok.
“Gak usah pake minyak itu. Panas. Dipijit saja pelan-pelan. Lututnya dinaikkan dan roknya melorot ke pangkal paha. Kini nampaklah pahanya yang putih itu. Kupijit lututnya pelan-pelan. Aku tidak berani pegang pahanya. Tetapi dia malah menarik roknya lebih ke atas dan menyuruh pijit pahanya. Aku pijit dengan ragu-ragu. Telapak tanganku merasakan kulit Mbak Narsih begitu hangat. Pijatan-pijatan ku menjadi tidak terarah, karena saat kulirik ke atas, di pangkal paha itu….. tak ada secuil kain pun menutupi kemaluan Mbak Narsih. Keringat bermunculan di wajahku, mataku jadi terasa panas. Gigiku gemeletuk seperti kedinginan. Aku heran, kenapa aku ini. Apa aku ketularan sakitnya Mbak Narsih.
“Mijitnya pindah ta, Kun. Kok di situ terus. Paha yang satunya.” Sambil bilang begitu dia mengangkat pantatnya dan melolos roknya lepas. Kini tubuhnya bugil-sebugil-bugilnya. Tanganku dipegang dan dituntun ke garis di tengah tenpiknya. Aku menurut saja. Kuurut-utur bibir bawahnya yang segera basah dan terbuka sendiri. Kulihat cairan bening mengalir. Tubuhku semakin gemetar dan rasanya ingin sekali aku kencing. Kemaluanku mengeras sehingga seperti terjepit rasanya.
“Mbak, aku mau pipis dulu….” Aku memberanikan diri memohon.
“Sini, sini, aku lihat. Apa kamu benar-benar mau pipis.” Diturunkannya celanaku dan dikuakkan CD-ku ku samping, sehingga batangku yang sudah sekeras pentungan satpam itu teracung. Aku malu sekali. Tapi aku juga ingin benda itu dipegangnya. Dibelai-belainya “helm”ku dengan lebut. Segera gelombang kenikmatan mengalir seperti listrik ke pusat syarafku. Tangan kiriku masih di lubang tempiknya dan terus mengorek-ngorek di kedalamannya. Kurasakan dinding-dinding lembut yang hangat dan basah itu berkedut-kedut. “Mbak…Mbak…aduuuuh sudah Mbak…aku mau kencing Mbak…”
Dilepaskannya kemaluanku dan menurun pula irama gelombang itu, Anehnya, aku merasa kecewa, ingin dipegang tangan Mbak Narsih lagii. Aku melihat susu yang begitu montok dan putih menntang dan didorong oleh nafsu yang sudah mendidih, kuremas dan kuelus bukit kembarnya. Aku lupa diri. Malahan tanpa disuruh aku mengulum ujung susunya yang kemerah-merahan itu. Kiri, kanan, kiri lagi. Mbak Narsih menggelinjang dan mendesis. “Enak Kun….yang kanan Kun…”
“Terusss…Kun, kamu pinter yang kiriiii……terussss…. Dipijit-pijit terus…”
Entah kapan aku melepaskan pakaianku, tau-tau aku sudah tak berpakaian lagi. Aku berdiri di samping tempat tidur. Mbak Narsih menyorongkan lubangnya di depanku. Pahanya dinaikkan di pundakku. Terasa berat kakinya bagi tubuhku yang masih kerempeng.
“Kun, masukkan ke situ,,,,,cepat….aku sudah nggak tahan…”
Aku kagum melihat punyaku bisa sebesar dan sepanjang itu. Belum pernah kulihat sebelumnya. Sepertinya hari ini sudah berubah jadi naga raksasa. Kudorong pelan-pelan kerah lubang Mbak Narsih yang putih kemerahan itu. Pertama kali menyentuh bibir bawahnya, aku merasakan kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Geli tetapi enak. Makin ke dalam semakin hangat dan nikmat. Tak kuhiraukan rintihan Mbak Narsih, dia menangis seperti malam-malam dulu ketika bersama Mas Pras.
“Kuuuuunnnnn……. tusuk yang dalam…..dalam….dalam….ahhhhh”
Kini gemeretak gigiku sudah hilang, tetapi keringat membanjir luar biasa. Demikian pula Mbak Narsih, sprei jadi kusut dan basah kuyup. Diputar-putarnya pantatnya, sehingga aku makin kesetanan menusuk. Mbak Narsih terus duduk dan aku diberi dua bola bulat putih untuk kupetik dan kukulum. Tapi aku tidak kuat menahan beban tubuhnya. Kujatuhkanlah dia ke kasaur, lalu aku naik. Setan sudah menguasaiku. Mbak Narsih kini telentang, wanita cantik yang galak dan judes itu, kini menyerah di bawah sana. Kedua pahanya yang mulus dan putih kubentangkan, sehingga kemaluannya semakin terbuka. Sambil berlutut kusodokkan lagi senjataku ke sana. Terasa lebih dalam sekarang, karena ada ruang yang lebih bebas. Terdengar suara crop crop crop, seperti memompa dengan kelep yang basah. Wajahnya yang cantik itu menyeringai jadi jelek karena menahan rasa nikmat yang luarbiasa . Mulutnya menganga, matanya menatap liar. Hossss…..husssss…hhhhh…..napasku dan napas Mbak Narsih seperti seperti nafas orang berlari mendaki bukit. Makin cepat gerakan maju-mundurku semakin memuncak terasa gelombang datang bergulung-gulung berusaha menjebol benteng pertahanan. Mbak Narsih mengangkat pantatnya, tangannya menekan kuat-kuat pantatku sehingga batangku tertancap dalam-dalam di lubang kenikmatan itu saat pertahanku jebol. Mbak Narsih juga sama, cengkeraman tangannya di pantatku begitu kuat seakan kuku-kukunya tertancap di dagingku.
“Kuuuunnnn……………akuuuuuuuuu……keluar…..”
“Mbaaaaaakk……..oooohhhhh……..” berapa kali senjataku memuntahkan peluru aku tak sempat menghitungnya. aku terkulai di perut Mbak Narsih.
Keadaan jadi sunyi sekarang. Kupeluk kakak iparku. Dia pun memelukku bagaikan seorang ibu memeluk bayinya di pangkuannya. Badanku memang terlalu kecil dibandingkan tubuhnya yang bongsor
Mulai saat itu secara teratur aku diberi ( atau memberI ) ” jatah harian” di saat-saat Mas Pras tidak ada di rumah. Kalau sifat galaknya kambuh itu tanda Mbak Narsih “minta”. Benar kata Bulik Saodah, Mbak Narsih kesepian dan haus minum “es lilin”
Sekarang baru aku tau bahwa saat itulah aku kehilangan keperjakaanku. Setaun kemudian aku lulus SMP Saat itu Mbak Narsih melahirkan. Anaknya cewek berkulit hitam seperti kulitku. Padahal Mas Pras dan Mbak Narsih itu putih semua. Nggak taulah. Itu anak siapa? Tapi sampai cerita ini kutulis, Mas Pras tetap mengira kalau Shamira itu anaknya. Anak tunggalnya, Mbak Narsih tak pernah hamil lagi, menurut dokter (Mbak Narsih member tahuku ) Mas Pras punya gangguan kesehatan.

(Kisah Tita) Pengalaman Dengan Adik Laki-Lakiku

Perkenalkan nama lengkapku Tita Indah Sari, namun aku biasa dipanggil Tita oleh teman-temanku. Saat ini aku bekerja di sebuah Bank asing yang cukup ternama di daerah Sudirman. Sejak lahir hingga sekarang aku sudah tinggal bersama keluargaku di daerah Cibubur. Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara. Aku memiliki dua orang adik perempuan, Winnie dan Dewi, serta satu adik laki-laki yang bernama Amar. Ayahku adalah orang Betawi asli, sedangkan Ibuku merupakan keturunan Sunda.

Karena ini adalah kisahku dengan adikku yang laki-laki, tanpa melibatkan adik-adikku yang lain, maka aku hanya akan menceritakan tentang kami berdua saja. Secara fisik aku memiliki tinggi badan 157 cm, kulit yang cukup putih, serta wajah yang menurut kebanyakan teman-temanku manis dan imut. Bahkan sampai sekarang aku masih sering dianggap lebih muda dari umurku saat ini. Sedangkan adikku Amar, berkulit sawo matang, kurus dan tingginya sekitar 175 cm. Walaupun wajahnya terbilang biasa-biasa saja, di usianya yang berjarak 5 tahun denganku, dia sudah cukup sering berganti pacar.

Mungkin karena Amar adalah anak laki-laki satu-satunya dia diperlakukan berbeda oleh kedua orang tua kami. Namun karena sering dimanja seperti itulah, Amar menjadi anak yang suka melawan, sering bolos kuliah dan juga tidak mau mendengarkan nasehat dari orang lain termasuk keluarganya. Hingga pada suatu hari segalanya berubah. Yang pasti hari tersebut tidak akan pernah dapat terlupakan bagi aku dan dirinya.

Kisah ini berawal pada suatu sore saat kedua orang tua dan adik-adikku yang perempuan sedang berkunjung ke rumah nenekku, jadi di rumah hanya tinggal aku beserta adik laki-lakiku yang sedang tidak ada jadwal kuliah. Pada hari itu aku memang tidak bekerja karena libur dan juga sedang tidak ada rencana pergi dengan pacarku. Karena sedang berada di rumah, aku hanya memakai kaos putih tanpa bra dan dipadukan dengan celana pendek di atas lutut warna biru muda yang memperlihatkan sebagian paha mulusku.

Saat itu aku sedang mengobrol dengan pacarku melalui HP. Kami berdua membicarakan berbagai hal, mulai dari masalah serius hingga yang ringan. Tanpa terasa sudah lebih dari 1 jam aku berbicara dengannya. Sampai akhirnya aku tidak dapat tahan lagi untuk buang air kecil. Aku pun meminta ijin kepada pacarku untuk menyudahi pembicaraan kami terlebih dahulu dan berjanji akan menghubunginya kembali. Setelah meletakkan HP, dengan terburu-buru aku berlari menuju ke kamar mandi yang jaraknya paling dekat, ketika kubuka gagang pintunya ternyata sedang dikunci dari dalam.

“Amar bukain pintunya dong…!! Teteh udah nggak tahan mau pipis nih…!!” aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu.

“Tunggu ya Teh! Amar sebentar lagi selesai kok…!” terdengar suara adikku dari dalam kamar mandi.

“Aduh Mar!! Teteh udah kebelet nih…!! Cepetan dong keluar…!!” kataku memaksa sambil terus menggedor-gedor pintu karena aku sudah benar-benar tidak kuat lagi menahan air seniku.

‘Kreekk…’ terbuka sedikit pintu kamar mandi kemudian kepala Amar mengintip dari celahnya.

“Teteh nggak sabaran banget sih!?” kata Amar dengan nada kesal karena mandinya jadi terganggu.

Tanpa memperdulikan adikku yang sedang marah-marah, aku langsung memaksa masuk ke dalam kamar mandi karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil. Dengan cepat aku menurunkan celana pendek beserta celana dalamku kemudian jongkok di atas kloset.

“Aaaaahhh…” aku sungguh merasa lega karena akhirnya keluar juga air seni yang sudah kutahan-tahan dari tadi.

Sambil tetap meneruskan buang air kecil, aku sempat memperhatikan adikku yang masih berdiri dengan kondisi telanjang bulat. Wajahnya terlihat sangat kesal karena mandinya terganggu oleh aku yang sudah terlanjur masuk ke dalam kamar mandi.

“Teteh ganggu orang lagi mandi aja nih…!!” teriak adikku sambil melotot.

“Maaf ya Mar, Teteh udah nggak kuat nahan pipis. Bentar lagi juga selesai kok…” kataku sambil meminta maaf.

Sebenarnya aku tidak mau memandang tubuh bagian bawah adikku. Tetapi karena ingin membandingkan penis Amar dengan milik pacarku, akhirnya aku menurunkan juga pandanganku.

“Hihihi… Masih kalah dengan penis pacarku…” aku tertawa dalam hati.

Karena takut tertangkap basah melihat penisnya, cepat-cepat kunaikkan lagi pandanganku ke arah wajahnya. Ternyata mata adikku sudah tidak melihat ke arah wajahku lagi, melainkan sedang memandangi vaginaku.

“Kurang ajar nih si Amar malah ngeliatin vaginaku!! Mana pipisku belum selesai lagi…” aku bersungut dalam hati.

Lalu aku menekan sekuat tenaga otot di vaginaku agar cepat selesai buang air kecilnya. Tanpa sengaja, terlihat lagi penis adikku yang tidak tertutup itu. Perlahan-lahan penisnya semakin naik sedikit demi sedikit, namun masih tetap kelihatan kecil.

“Ternyata memek Teteh bentuknya kayak gitu yah?” kata adikku tiba-tiba sambil melihat ke arah vaginaku.

“Amaaaar…!! Jangan kurang ajar kamu yah…!!” aku yang dalam keadaan marah langsung berdiri mengambil gayung kemudian kulemparkan ke arah adikku.

‘Duuuk…!!’ lemparanku memang mengenai tubuh adikku, tetapi hasilnya air seniku mengenai celana pendek serta celana dalamku.

“Aduuuh… Gara-gara Amar sih! Jadi basah deh celana Teteh…” aku marah-marah sambil melihat ke celana pendek dan celana dalamku.

“Syukurin! Makanya Teteh jangan maen masuk seenaknya aja…!” kata Amar sambil menjulurkan lidahnya ke arahku.

“Amar mandi lagi aah…” lanjutnya sambil mengambil gayung yang tadi aku lempar ke arahnya, kemudian melanjutkan menyiram air ke badannya lalu mulai mengusap sabun ke seluruh tubuhnya.

“Huuuh!! Ini anak cuek banget sih…!!” kataku dalam hati.

Waktu itu aku bingung harus bagaimana. Ingin keluar dari kamar mandi, namun tentu saja aku tidak mau memakai celana pendek dan celana dalamku yang sudah basah terkena air seniku. Akhirnya terlintas di pikiranku untuk meminjam handuk milik adikku terlebih dahulu, nanti setelah mengganti pakaian baru aku kembalikan handuknya.

“Teteh pinjem handuk Amar aja dulu…” kata adikku seolah-olah dapat membaca isi pikiranku.

“Iya deh…” jawabku singkat.

Tanpa ragu lagi, aku menurunkan celana pendek dan celana dalamku yang berwarna merah muda. Karena teringat setelah buang air kecil tadi aku belum sempat membersihkan vaginaku, maka aku mengambil gayung dari tangan adikku lalu membasuh vaginaku dengan air. Karena tidak ingin kalau Amar melihatku lebih lama dalam keadaan seperti ini, maka aku membersihkan vaginaku tanpa menggunakan sabun.

Setelah merasa cukup bersih, aku pun berniat untuk meminjam handuk adikku seperti yang tadi dia janjikan. Dan tepat seperti yang aku duga, ternyata dia memang sedang memperhatikan tubuhku yang setengah telanjang.

“Teh… Memek Teteh kok nggak ada bulunya sih? Hehehe…” katanya sambil tertawa meledek vaginaku yang memang baru aku cukur.

“Biarin aja! Daripada kecil kayak punya kamu Mar!” kataku membela diri sambil berusaha menutupi vaginaku dengan tangan.

“Emang Teteh udah pernah liat yang lebih gede dari ini?” tanya Amar yang sengaja memancingku.

“Y-ya nggak pernah lah!” jawabku sedikit gugup sambil berusaha memukul bahu adikku.

Tiba-tiba dia menghindar dari pukulanku “Weiiitts…!” katanya.

Karena aku memukul dengan sekuat tenaga, tanpa sengaja aku terpeleset sehingga punggungku jatuh mengenai tubuhnya, sedangkan pantatku menyentuh penisnya.

“Iiih… Rasanya geli banget…” kataku dalam hati.

Dengan segera aku menarik tubuhku sambil berkata “Uuuh… Gara-gara Amar sih…!!”

“Kata Teteh barusan kontol Amar kecil kan? Kalau kayak gini gimana?” katanya mengacuhkan omonganku sambil menunjuk ke arah penisnya.

Kulihat penisnya mulai membesar seperti tadi, pelan-pelan semakin gemuk dan semakin tegak ke arah depan.

“Yeee…! Kalo gitu doang sih masih kayak anak kecil…!!” kataku berbalik mengejek dia.

Padahal jujur saja aku sempat terkejut juga melihat ukuran penis Amar yang sudah cukup jauh dibandingkan awalnya. Di dalam hati aku ingin mengetahui sampai seberapa panjang penisnya dapat bertambah.

“Tapi ini masih bisa digedein lagi Teh…” kata Amar seperti dapat mengetahui rasa penasaranku.

“Hah? Beneran Mar?” tanyaku sambil menatapnya.

“Iya Teh… Tapi untuk itu Amar butuh bantuan Teteh…” sahut adikku dengan wajah mesum.

“Bantuan apaan sih?” tanyaku yang sebenarnya sudah mengetahui apa yang diinginkan oleh adikku.

Tiba-tiba saja Amar menarik lenganku ke arah penis miliknya “Tangan Teteh taro aja di kontol Amar…”

“Teteh nggak mau ah Mar…!” dengan cepat aku menarik tanganku yang sempat menyentuh penisnya.

“Kenapa sih Teh? Emangnya Teteh nggak penasaran bisa sampe segede apa kontol Amar?” tanya adikku.

Sebenarnya aku sudah mau marah kepada adikku karena dari tadi dia selalu memakai kata ‘memek’ dan ‘kontol’ yang terdengar sangat kasar di telingaku, ditambah lagi sekarang dia menyuruhku untuk memegang penisnya. Namun karena penasaran ingin melihat ukuran maksimal penis milik adikku, maka aku memilih untuk menahan marah dan mengikuti perkataannya tadi.

“Ya udah deh Teteh mau…” kataku setuju.

“Asyiiiiik!!” adikku berteriak kegirangan.

Aku memang merasa seperti dipermainkan oleh adikku. Tapi karena sudah terlanjur menyanggupi permintaannya, maka aku mulai mendekatkan tanganku ke arah penisnya. Namun belum sempat aku menaruh tanganku pada penis Amar, benda tersebut sudah mulai bergerak dan semakin naik sedikit demi sedikit. Diameter penisnya semakin membesar, begitu juga dengan panjangnya yang ikut bertambah.

Aku benar-benar merasa terkejut sekaligus terangsang melihat itu semua. Tidak lama kemudian kepala penisnya mulai berwarna merah.

“Gimana Teh? Kontol Amar udah lebih besar dari yang tadi kan?” tanya adikku sambil melihat ke arah wajahku yang sedang takjub dengan ukuran penisnya.

Ditanya seperti itu aku hanya dapat terdiam sambil terus melihat penis adikku yang sekarang panjangnya kurang lebih mencapai 15 cm! Kini penis adikku terlihat tegang sekali dan ukurannya sudah menyamai milik pacarku. Aku jadi semakin terangsang melihatnya. Tentu saja aku yang tidak ingin Amar sadar kalau aku tergoda melihat penisnya dengan segera mengalihkan pandanganku ke arah wajahnya.

“Sekarang udah nggak kayak kontol anak kecil lagi kan Teh? Hehehe…” kata adikku sambil tertawa.

Belum sempat aku berkata apa-apa, tangan adikku tiba-tiba turun menyentuh bagian selangkanganku. Walaupun aku merasa terangsang diperlakukan seperti itu, tentu saja aku menepis tangannya.

“Amar apa-apaan sih!!” kataku sambil memasang wajah marah.

“Amar cuma mau pegang-pegang aja kok Teh. Janji deh nggak Amar apa-apain. Amar cuma pengen tahu aja rasanya megang memek…” kata adikku dengan memasang wajah memelas.

Kembali tangan adikku mendekati selangkanganku, tapi dia belum berani memegang vaginaku lagi karena belum mendapat ijin dariku. Tadinya aku berpikir untuk menolak permintaan adikku, walaupun pacarku yang sekarang sudah pernah menyentuh vaginaku, namun tetap saja kali ini yang mau memegangnya adalah adik kandungku sendiri. Sekalipun begitu aku juga merasa sedikit lega, karena walaupun cukup sering bergonta-ganti pacar, namun ternyata adikku tidak pernah terlampau jauh dalam hal berpacaran.

“Ya udah Teteh bolehin deh. Tapi inget! Amar cuma boleh pegang bagian luarnya aja yah…” akhirnya aku mengiyakan karena adikku sudah berjanji ‘hanya’ akan memegang vaginaku saja.

Deg-degan sekaligus penasaran juga rasanya. Tangan adikku lalu semakin mendekati kemaluanku yang halus tanpa bulu itu. Di saat bibir vaginaku sudah tersentuh oleh tangannya aku merasa geli sekali. Aku melihat penisnya sudah keras sekali, kini warna kepala penisnya jauh lebih kehitaman dan lebih licin dibandingkan dengan sebelumnya. Hangatnya tangan adikku sudah terasa melingkupi vaginaku. Geli sekali rasanya saat bibir vaginaku tersentuh telapak tangannya. Geli-geli nikmat pada syaraf vaginaku. Aku jadi semakin terangsang sehingga tanpa dapat ditahan, vaginaku mengeluarkan cairan.

“Teteh terangsang ya?” tanya adikku.

“Enak aja…!! Mana bisa Teteh terangsang sama kamu Mar…” jawabku sambil berusaha merapatkan vaginaku agar cairannya tidak semakin keluar.

“Ini memek Teteh kok sampe basah kayak gini?” selidiknya.

“Kamu jangan sok tau deh Mar! Itu kan sisa air pipis Teteh…” kataku berkilah.

“Teteh nggak usah bohongin Amar deh…” jawabnya.

“Iih… Siapa juga yang bohong? Emang beneran bukan kok…!” aku tetap tidak mau mengakui kalau sentuhan tangannya semakin membuat birahiku naik.

“Teh… Memek Teteh tuh rasanya anget, empuk dan basah yah…” Kata adikku sambil terus memegang vaginaku.

“Emang kayak gitu Mar! Udah belum megangnya? Teteh pengen cepet keluar dari kamar mandi nih…!” kataku seperti menginginkan situasi ini berhenti.

Padahal sebenarnya aku sangat ingin tangan adikku tetap berada di vaginaku. Bahkan aku berharap kalau tangannya juga mulai bergerak untuk menggesek-gesek bibir vaginaku.

“Teh, Amar boleh gesek-gesek memek Teteh nggak?” pinta adikku yang sepertinya bisa mengerti keinginanku.

“Tuh kan! Tadi katanya cuma mau pegang-pegang aja…” aku pura-pura tidak mau.

“Gesek dikit aja kok Teh…! Boleh yaaa..!??” rengek adikku seperti anak kecil minta dibelikan mainan.

“Terserah Amar aja deh! Tapi Amar janji yah nggak akan bilang siapa-siapa tentang kejadian ini…” aku pun akhirnya mengiyakan permintaan adikku dengan hati berdebar-debar.

Amar pun mengangguk cepat tanda menyanggupi permintaanku barusan. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi tangan adikku semakin masuk hingga aku merasa bibir vaginaku juga ikut terbawa ke dalam. Hampir saja aku mendesah karena rasanya nikmat sekali. Otot di dalam vaginaku mulai terasa berdenyut-denyut. Lalu adikku menarik tangannya keluar lagi, bibir vaginaku pun jadi ikut tertarik.

“Aaaaaaahhh…” akhirnya keluar juga desahanku karena tidak sanggup lagi menahan rasa nikmat yang timbul pada vaginaku.

Saat ini badanku sungguh terasa lemas sekali hingga mulai mengarah jatuh ke depan. Karena merasa tidak kuat berdiri, maka tanganku bertumpu pada bahu adikku.

“Aaaahhh… Uuummhhh… Maaaaar…!!” tubuhku semakin panas dan tanpa sadar aku melebarkan kedua pahaku supaya tangan Amar dapat lebih leluasa.

“Enak ya Teh memeknya Amar giniin…?” tanya adikku sambil terus menggesek-gesekan tangannya.

“I-Iyaahh… Enaaak bangeeet Maaar!! Aaaahhh…” jawabku jujur sambil memejamkan mata karena saking nikmatnya.

Tangan adikku lalu mulai maju dan mundur, kadang klitorisku tersentuh oleh telapak tangannya. Tiap tersentuh rasanya nikmat luar biasa, badan ini akan tersentak ke depan. Jari-jari adikku juga sekarang sudah mulai masuk ke dalam vaginaku. Rasanya sungguh nikmat!

“Mar… Coba jari kamu masuk lebih dalem lagi ke vagina Teteh… Cari daging yang… Aaaaaaahh…!!” desahku kencang karena saat itu jari Amar tanpa sengaja menyentuh bagian klitorisku yang sangat sensitif.

“Aduh… Sakit ya Teh? Maaf ya… Amar nggak sengaja…” kata adikku dengan nada bersalah sambil menarik jarinya dari dalam vaginaku.

“Siapa yang nyuruh keluarin jari kamu sih Mar!?” bentakku sambil memegangi lengan adikku.

“Loh kok!? Bukannya Teteh kesakitan tadi?” jawab adikku dengan wajah kebingungan.

“Itu tadi yang namanya klitoris, titik paling sensitif pada vagina cewek, coba kamu gosok pelan-pelan. Yaaahh… Aaaahhh… Kayaaaak gituu…” kataku sambil terus menikmati sentuhan jarinya.

“Jadi kalo Amar giniin rasanya enak ya Teh?” tanya adikku yang terus menggosokkan jarinya pada daging kecil itu.

“He-eh… E-eenaaaak ba-bangeeeet…” jawabku pelan.

Tangan adikku terus mengorek-ngorek vaginaku dengan diiringi nafasnya yang semakin memburu. Sekarang pasti jari-jari tangan Amar sudah terkena cairan dari kemaluanku.

“Maaar… Udah dulu pake jarinya yah… Teteeeh nggak tahan lagi… Geli bangeeet…” aku menarik tangan Amar.

Dengan tersenyum nakal adikku memperlihatkan jari tangannya yang basah “Tapi enak kan Teh?”

“I-iya enak kok…! Tapi sekarang Amar jilatin vagina Teteh dong…” pintaku tanpa malu-malu lagi.

Amar menurut saja apa yang disuruh olehku, ia menunduk hingga mulutnya sejajar dengan vaginaku. Aroma kewanitaanku pasti langsung tercium olehnya begitu aku lebih melebarkan lagi pahaku supaya Amar dapat leluasa menjilatinya.

Mata Amar melotot melihat pemandangan yang indah itu dari dekat. Bibir vaginaku masih tertutup benar-benar rapat. Tak usah dikatakan, pasti semua lelaki langsung tahu kalau vaginaku belum pernah dijamah sama sekali bahkan oleh pemiliknya sendiri.

Tanpa buang waktu lagi adikku menunduk dan menempatkan wajahnya di depan selangkanganku yang telah berlendir. Hembusan nafas adikku semakin terasa ketika wajahnya mulai mendekati vaginaku.

“Eeeeemmhhh…” desahku saat Amar mulai menciumi bagian kewanitaanku.

“Memek Teteh wangi banget…” puji Amar sambil menghirup aroma yang di timbulkan oleh vaginaku yang memang sering aku rawat.

“Ayo Mar jangan cuma diciumin aja!! Jilatin vagina Teteh sepuas Amar…” pintaku saat sudah semakin terangsang.

Adikku lalu mulai menjilati bibir vaginaku yang sudah basah karena terangsang berat. Mula-mula dia agak canggung melakukannya, namun lama-lama dia semakin terbiasa dan mulai menikmati tugasnya. Aku merapatkan kedua kakiku ketika Amar mulai menjilati rongga dalam vaginaku. Sementara itu aku menggunakan tangan kiriku untuk meremas-remas kedua buah payudaraku secara bergantian, sedangkan kugunakan tangan kananku untuk mengarahkan kepala adikku agar menjilati daerah yang tepat.

“Iyah… Disitu Maaar… Mmmmhh… I-iyaaah disituuuu… Enaaak banget Maar!!” desahku kencang karena merasa begitu nikmat.

Aku mengigit-gigit bibir menikmati jilatan Amar pada vaginaku, lidahnya bergerak-gerak seperti ular di dalam vaginaku. Daging kecil sensitifku juga tidak luput dari sapuan lidahnya, kadang diselingi dengan hisapan pelan. Hal ini membuat tubuhku menggeliat-geliat, mataku terpejam dan badanku terasa melayang-layang di langit menghayati permainan ini.

“Mmmmmhhh… Ammmaaaaarrr…” aku merasakan sensasi luar biasa yang bersumber dari vaginaku.

Tidak pernah terpikir olehku, rasa nikmat yang sangat hebat bisa ditimbulkan dari alat kelaminku yang sedang diciumi dan dijilati oleh adikku. Tubuhku mengejang setiap kali lidah Amar mengenai klitorisku. Rasanya seperti ada yang mau meledak dari dalam tubuhku dan ingin keluar melalui alat kelaminku, tapi kali ini rasanya lebih mendesak dan dorongannya lebih kuat dari sebelumnya. Sedikit demi sedikit lidah Amar mulai terlatih dalam melakukan oral seks. Lidah adikku menyapu bibir vagina dan menggelitik klitorisku sampai aku menggeliat-geliat dan mendesah nikmat.

“Te-teeruuuuuss… Maaaaar…! Se-sedikiiit lagiiii…!!” kataku terbata-bata karena sudah hampir mencapai orgasme.

Melihat ekspresi dan desahanku, Amar semakin bernafsu menjilati vaginaku.

“Eennnnghhh… Teteeh keluaaaarr!! Aaaaaahh…” aku melenguh nikmat saat aku benar-benar sudah mencapai orgasme.

Kakiku mengejang dan hampir saja terjatuh kalau tidak bertumpu pada bahu adikku. Meskipun masih terbuai di dalam kenikmatan, aku masih bisa berpikir untuk melihat ke arah adikku yang sedang menyeruput cairan dari alat kelaminku. Amar kelihatan sangat menikmati cairan yang terus mengalir dari vaginaku.

“Cairan memeknya Teteh enak banget deh…!!” kata adikku saat berhenti menyeruput dan meringankan beban birahiku untuk sementara waktu.

Amar kemudian melanjutkan menyeruput cairan vaginaku yang masih terus mengalir keluar. Sensasi bahwa yang sedang mengeluarkan cairan vaginaku adalah adik kandungku sendiri membuat vaginaku keluar dalam jumlah banyak seperti bendungan yang sedang bocor.

Setelah yakin, tidak ada lagi cairan vaginaku yang tersisa untuk dihisapnya, Amar bangkit lalu mulai membuka kaos yang menempel di tubuhku. Adikku mengangkat kaosku dengan terburu-buru, mungkin dia sudah tidak sabar untuk melihat tubuh kakaknya dalam keadaan bugil. Aku sendiri mengangkat tanganku membiarkan kaos itu lolos dari tubuhku.

‘Gleeeeekk’ aku dapat mendengar suara adikku menelan ludah dan matanya terlihat seperti mau keluar memandang tubuhku yang sekarang sudah tidak tertutup apa-apa lagi.

Tubuhku begitu mulus dengan payudara berukuran kecil, namun kencang. Ketika adikku sedang terbengong tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, aku meraih tangannya dan meletakkannya pada payudaraku. Kemudian aku bimbing tangan adikku, yang masih terasa lengket oleh cairan vaginaku, untuk mulai membelai dan meremas payudaraku.

“Mmmmhhhh… Iya gitu Mar! Remasss pelan-pelaaan payudara Teteh, rasain putingnya mengeraaaas…” kataku sambil mengarahkan tangannya yang lain ke bagian punggungku.

Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan kedua tanganku, jadi aku menggunakan kedua tanganku untuk mengelus-elus kepala adikku yang sedang menjelajahi setiap bagian dari kedua buah payudaraku. Aku memejamkan mata menikmati belaian tangan adikku, belaian itu kadang terkesan ragu-ragu tapi semakin membuat birahiku naik.

“Aaaaaaaahh… Aaaaaahh… Aaaaaaaaahh…” aku terus mendesah.

Tanpa harus dibimbing lagi, sambil sedikit menunduk adikku mengenyoti payudaraku sampai pipinya yang tirus terlihat semakin kempot. Lidahnya juga menyapu-nyapu putingnya menyebabkan aku semakin terangsang. Aku memegangi kepala adikku dan menekan-nekan wajahnya ke payudaraku seolah memintanya terus melakukannya.

“Mmmmmmmhhh… Maaaar… Isepiiiin yang satu lagiiii… Aaaaaaaaah…” erangku keenakan.

Adikku kini menghisap payudara kananku sedangkan tangannya meremasi payudara yang lain. Disedotnya putingku dengan buas menyebabkan benda itu semakin membengkak. Lidahnya terasa menari-nari dengan liar, membuatku semakin tidak bisa mengontrol diri. Tubuhku serasa lemas tak berdaya, pasrah membiarkan adikku menjilati payudaraku.

“Ooooohhh… Mar!! Jangan keras-keraaas!!” aku meringis dan menjenggut rambut adikku ketika putingku mulai digigit olehnya.

Kenikmatan yang semakin melambungkannya membuat adikku lupa diri hingga tidak terasa putingku yang sedang dihisapnya tergigit pelan.

“Maaf Teh, Amar nggak sengaja… Abis rasanya enak banget sih…” tidak dapat disangkal rasa nyeri itu turut bercampur menjadi bagian dari kenikmatan antara aku dan adikku.

“Rasa toketnya Teteh enak!! Amar suka banget ngisepnya Teh…!” kata adikku lalu kembali mengulum putingku yang semakin mencuat keluar.

“Iyaaahhh Mar…! Teteh juga suka diisep Amaar… Teruuuuus… Kayak gitu enaaaaak… Aaaahhh… Aaaaahhh!!” desahku.

Setelah kedua payudaraku sudah terbaluri air liur adikku, tangannya mulai aktif mengelusi paha mulusku. Tanpa kusadari, jari-jarinya sudah mulai memasuki vaginaku lagi dan menggelitik bagian dalamnya. Aku menutup mataku dan mulai mendesah saat jarinya yang sekarang sudah cukup terlatih, menemukan klitorisku dan menggesek-gesekkan jarinya pada daging kecil itu. Aku merasakan sensasi geli yang luar biasa sehingga tubuhku mengejang dan pahaku merapat mengapit tangannya.

“Aaaaaaaaaaaahh…” desahku saat jari tengah Amar bergerak naik-turun di belahan bibir vagina sambil mengelus-elus pangkal pahaku yang sudah mulai terasa panas lagi.

Sedang enak-enaknya menikmati rangsangan yang diberikan pada payudara dan vaginaku, tiba-tiba adikku berkata “Teh, gantian dong bikin Amar enak…”

“Emangnya Amar mau Teteh apain?” jawabku sambil membuka mata.

“Kocokin kontol Amar dong Teh…” katanya sambil tangannya menuntun tanganku ke arah penisnya.

Kupikir egois juga jika aku tidak mengikuti keinginannya. Kubiarkan tanganku dituntun oleh tangannya. Aku pun menggenggam batang penis yang sudah sangat tegang tersebut dengan jari-jari kecilku, kemudian berlahan mengocoknya dengan lembut. Terasa hangat penisnya di genggaman tangan ini. Kadang terasa kedutan di dalamnya. Karena masih ada sedikit sisa sabun di penisnya, dengan mudah aku bisa memaju-mundurkan tanganku mengocok penisnya. Tanganku mulai mengusap batang itu. Adikku memejamkan mata dan menelan ludah menikmati usapan lembut itu.

“Udah pernah belum penis Amar diginiin?” tanyaku ingin tahu.

“Kalo coli doang sih udah sering Teh. Malah kadang Amar ngelakuinnya sambil ngebayangin Teteh telanjang…” katanya dengan malu-malu.

Mendengar jawaban itu tentu membuat aku kaget sekaligus tersenyum geli, tanpa merasa marah sedikitpun. Aku terus mengocok penis adikku hingga sudah sangat tegang. Kulihat tubuh adikku kadang-kadang tersentak ke depan saat tanganku sampai ke pangkal penisnya. Kami berhadapan dengan satu tangan saling memegang kemaluan dan tangan satunya memegang bahu.

“Oooohh Teteeeh…” Amar melenguh nikmat menerima kocokan tanganku pada penisnya.

“Emmmhhh… Teeeh… Enaaakk bangeeeet rasanyaaa!!” erangnya gemetaran.

Saat aku sedang menikmati mengocok penis adikku, tiba-tiba dia berkata “Teh, sepongin kontol Amar dong! Soalnya kata temen-temen Amar enak banget rasanya…” tanyanya berharap aku mau menurutinya.

“Kamu tuh ya Mar! Udah dikasih hati, sekarang minta jantung…” candaku.

Tanpa ada perasaan ragu, aku menyiram penisnya yang masih ada sisa sabun dengan air dari gayung hingga bersih. Aku mengambil posisi berlutut di depan penis adikku dan mulai menggenggamnya. Adikku mulai mendesah dan tubuhnya berkelejotan ketika aku pertama kali mendaratkan bibirku untuk mengecup kepala penisnya. Lidahku lalu menyusul menjilati bagian tersebut sambil tanganku memijat pelan buah zakarnya.

“Teeteeeeehhh…!!!” teriak adikku saat aku mulai menciumi batang penisnya.

Aku yang sudah cukup sering melakukan oral seks dengan pacarku mulai menjilati ujung kepala penis milik Amar. Dengan perlahan-lahan aku memainkan lidah dan menjilati secara bergantian antara batang penis dengan buah zakar adikku.

“Enak yah Mar?” tanyaku sambil memasang wajah menggoda.

“He-eh… Eenaaaaaak bangeeeet Teeeh…!” jawab Amar yang sekarang pasti sedang birahi berat.

Aku pun melanjutkan layanan dengan memasukkan batang penis tersebut ke dalam mulutku. Batang penis itu pun kini mulai terlihat keluar masuk seiring kulumanku. Sesekali ditengah kulumannya, aku juga mengemut buah zakar Amar sehingga membuatnya semakin mendesah penuh kenikmatan.

Sambil memejamkan mata, aku mulai memasukan penis itu ke dalam mulutku. Adikku mendesis merasakan hangatnya ludahku menyelubungi penisnya disertai hisapan dan jilatan yang baru dirasakan pertama kalinya itu.

“Oooohhh… Eenaaaaak banget Teeeh… Oooohh…” adikku mengerang-erang mengeluh-eluhkan aku yang menjilati penisnya karena belum pernah dia rasakan kenikmatan seperti ini.

Aku sangat menikmati alat kelamin adikku, tidak ada yang luput dari sapuan lidahku. Penis itu habis diemut-emut dan dijilat-jilat olehku, penis Amar pun menjadi bulan-bulananku. Sekitar penisnya pun sudah basah kuyup dengan air liurku. Adikku terus mendesah dan mendongakkan kepalanya.

“Amar pasti sangat menikmati hisapan dan jilatan dariku…” pikirku yang memang sudah terbiasa melakukan hal ini dengan pacarku.

“Enaaaaak Teeeh!! Aaaaaaahhhh…” lirih adikku karena seluruh batangnya telah berada di dalam mulutku.

“Aaahhh… Teruuuus Teh!! Jilatin kepala kontol Amaaaar… Aaahh… Aaahh…” perintah adikku sambil terus mendesah keenakan.

“Teruuus Teh… Terus… Ooooooh…” Amar terus mendesah. Adikku menyeka rambut yang menutupi wajahku, rupanya dia ingin melihat ekspresi wajahku ketika sedang menghisap penisnya.

“Ooohh… Oooohh… Ooooooohh…” desahan Amar terdengar semakin kencang setiap kali batang penisnya memasuki mulutku.

Amar nampak menengadah sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali ia begitu menikmati apa yang dilakukan olehku di bawah sana. Sedangkan aku masih terlihat sibuk untuk mengeluarkan seluruh teknik oralku. Aku menggigit kecil kepala dan leher penis adikku karena nafsu. Tubuh Amar menggelinjang-gelinjang saat aku menggunakan lidahku untuk mengorek-ngorek kepala penisnya.

Adikku kelihatan tak bisa menahan rasa nikmat serangan lidahku pada kepala penisnya. Terkadang aku membuka mata dan menggerakkan mataku ke atas untuk melihat reaksi adikku, tatapan mataku saat itu membuatnya tidak sanggup berlama-lama memandangku. Sungguh sebuah sensasi luar biasa dimana aku sedang menghisap penis adik kandungku sendiri! Gila memang kalau dipikir, namun itulah nafsu, jika kita tidak mampu mengendalikan maka kita yang akan dikendalikan.

“Aaaaaahh… Enak banget Teh… Enaaaaaak!! Teteh jago banget nyepongnya!!” kata Amar sambil terus memuji hisapanku pada penisnya.

“Aaaahh… Amaaar udaaah mauuu keluaaaar…!! Aaaahhh…” teriak adikku yang rupanya sudah tidak mampu menahan nikmatnya permainan mulut dan lidahku.

Tidak lama kemudian saat kepala penis Amar bersentuhan dengan daging lembut di langit-langit tenggorokanku, keluarlah dengan deras spermanya tanpa dapat dibendung lagi. Tubuh adikku menegang sambil menggigiti bibir bawahnya dan menarik erat rambutku, mungkin karena saat ini dia sedang merasakan kenikmatan yang tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata.

“Teleen semuaa pejuuu Amaar Teeh!! Jangaaaan sampeee nyisaaaaaa…!!” perintah adikku.

Aku pun menuruti permintaan Amar, kutelan seluruh sperma yang masuk ke dalam mulutku. Ini adalah pertama kalinya aku menelan sperma. Bahkan pacarku sendiri belum pernah mendapatkan keistimewaan seperti yang sedang dialami oleh Amar. Cairan putih yang menyemprot dari penis adikku memang sangat banyak, namun tidak setetes pun keluar dari mulutku. Pipiku sampai terlihat kempot menghisap dan menelan sperma tersebut dengan nikmat.

“Aaaaaahh… Udahhh Teeehhh…! Amar udah nggak tahan lagi…!! Uuuuuuuhh…” Amar minta ampun karena aku terus mengemut-emut kepala penisnya.

Namun bukannya berhenti, aku malah menghisap penisnya lebih kencang. Adikku hanya bisa mengerang keenakan saat penisnya aku bersihkan dengan mulutku. Setelah yakin sperma Amar sudah benar-benar tidak bersisa, aku pun mengeluarkan penis adikku yang mulai menyusut dalam mulutku.

“Gimana Mar, enak nggak yang Teteh lakuin barusan?” tanyaku begitu melepas penis tersebut dari mulutku, kemudian memanfaatkan sedikit waktu untuk beristirahat sejenak.

“Enak banget Teh!! Baru pernah Amar ngerasain yang seenak tadi…!!” katanya puas.

Belum cukup lama aku beristirahat tiba-tiba Amar bertanya “Teteh udah pernah ngentot belum?”

“Belum…” kataku yang memang belum pernah sekalipun melakukan persetubuhan dengan mantan maupun pacarku saat ini.

“Emangnya Amar udah pernah?” aku bertanya balik karena penasaran.

“Belum juga Teh…” jawabnya singkat.

“Ya udah nanti juga ada saatnya kok…” kataku yang tiba-tiba tersadar arah dari pertanyaan adikku tadi.

“Tapi Teh, Amar pengen banget ngerasain ngentot… Teteh mau kan?” katanya dengan nada memelas.

“Teteh nggak mau Mar!! Inget dong, kita kan kakak adik…!” aku mencoba menolak karena tidak ingin adikku berbuat lebih jauh lagi.

“Tolong dong Teh…” katanya memelas.

“Teteh belum siap kalo harus gituan sama Amar. Lagipula Teteh masih perawan…” kataku lagi.

“Kalo gitu kontol Amar sama memek Teteh digesekin aja deh. Boleh ya?” pinta adikku seperti meminta belas kasihan.

“Tapi janji yah cuma digesekin aja?” aku mengingatkannya karena tidak ingin diperawani apalagi hingga hamil oleh adik kandungku sendiri.

Adikku yang terlihat sudah terangsang berat, langsung mengiyakan karena dia pasti sudah tidak tahan lagi untuk menggesekkan penisnya pada vaginaku. Amar lalu membantuku untuk bangkit dari posisi berlutut, kemudian dia berusaha mencari lubang vaginaku untuk digesekkan dengan kepala penisnya. Tapi dia terlihat sedikit kesulitan karena memang belum berpengalaman.

“Sini Mar…” tanpa sadar aku menjulurkan tangan kananku dan menggengam penisnya lalu menuntun ke mulut vaginaku.

Karena adikku lebih tinggi, maka dia harus sedikit mengangkat badanku agar dapat menggesekkan penisnya di antara selangkanganku. Terasa hangatnya batang penisnya di bibir vaginaku. Lalu dia memaju-mundurkan pinggulnya untuk menggesek-gesekkan penisnya dengan vaginaku.

“Ouuuughhh Amaaaaarrr!!” aku mengerang kencang.

“Mar… Masukin aja penis kamu!! Teteh udah nggak tahan nih…” setelah sekian lama menerima rangsangan aku akhirnya menghendaki penis adikku untuk masuk ke dalam vaginaku.

“Iyaaa Teehhh…” jawabnya sambil terus mendesah.

Sepertinya aku sekarang sudah tidak perduli lagi dengan kenyataan bahwa laki-laki yang akan aku berikan keperawananku adalah adik kandungku sendiri! Namun aku hanya ingin Amar memperawaniku dengan lembut. Maklum saja ini merupakan pengalaman pertamaku yang pasti akan berkesan seumur hidupku. Untunglah, adikku tampaknya mengerti akan perasaanku.

“Teteh udah siap?” tanya adikku.

“I-iya… Tapi pelan-pelan yah Mar. Ja-jangan kasar…” pintaku sedikit gugup.

Ia mengangguk dan sorot matanya seolah menenangkanku. Amar lalu menaikkan satu kakiku dan dilingkarkan ke pinggangnya, sedangkan tangan satunya mengarahkan penisnya agar tepat masuk ke vaginaku. Sesaat penisnya berhasil membelah bibir vaginaku, namun mungkin karena vaginaku licin akibat cairan cintaku, penis Amar malah meleset keluar dari celah vaginaku. Adikku kembali berusaha, namun tampaknya agak susah baginya untuk memasukkan penisnya ke dalam liang vaginaku yang masih sempit.

Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya aku terlonjak ketika sebuah benda hangat masuk ke dalam kemaluanku. Rasanya ingin berteriak sekuatnya untuk melampiaskan nikmat yang kurasa. Akhirnya aku hanya bisa menggigit bibirku untuk menahan rasa nikmat itu.

“Aaaaaaaaaghhh!!!” aku membelalak dan menjerit keras saat merasakan rasa ngilu dan perih yang amat hebat melanda vaginaku.

Akhirnya keperawananku terenggut oleh adikku sendiri. Aku bisa merasakan hangatnya penis Amar yang kini terjepit di dalam vaginaku. Adikku kini memundurkan pinggulnya dengan pelan, mengakibatkan rasa sakit itu semakin mendera vaginaku.

“Mar, Amaaar!! Sakit… Pelan-pelan dong!! Aduuuuh!!” aku meminta dengan panik kepada adikku.

“Sebentar lagi pasti nggak berasa sakit kok Teh…” jawab Amar berusaha menenangkanku sambil kembali mendorong pinggangnya dengan pelan.

Penis adikku kini semakin dalam memasuki vaginaku diiringi dengan jeritan piluku yang tersiksa oleh rasa sakit itu.

“Oooooooohh…” adikku melenguh dan menghentikan dorongannya.

Aku akhirnya sadar kalau sekarang ini seluruh penis adikku sudah terbenam sepenuhnya didalam lubang kewanitaanku. Untuk beberapa saat, kami terdiam dalam posisi itu. Adikku seperti memberiku waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaanku.

“Anget banget rasanya di dalem memek Teteh…” puji adikku seperti ingin mengalihkan rasa sakitku.

Adikku lalu menarik penisnya sedikit dari vaginaku dan dengan pelan dilesakkannya kembali kedalam liang vaginaku. Rasa pedih kembali menyengat vaginaku, namun Amar selalu berusaha menenangkanku.

“Sakit ya Teh?” tanya adikku.

“I-iya Mar… Sakiiiit bangeeet…!!” jawabku supaya adikku dapat lebih berhati-hati.

Aku merasa tampaknya Amar juga sudah mengerti bagaimana sakitnya saat seorang wanita diperawani untuk pertama kalinya karena dia selalu berusaha memompa penisnya selembut mungkin untuk mengurangi rasa sakitku. Lama kelamaan, rasa sakit tersebut digantikan oleh rasa nikmat yang dari vaginaku akibat gerakan penis adikku. Walaupun masih bercampur dengan rasa perih, aku bisa merasakan bahwa sensasi baru ini berbeda dari saat vaginaku dioral dan dipermainkan oleh jari adikku. Rasa perih itu semakin hilang dan digantikan dengan sensasi baru di tubuhku.

“Aaaaaaaaah… Maaar…!! Amaaaar…!!!!” aku mendesah sambil menyebut nama adikku.

Amar yang melihat bahwa aku sudah terbiasa akan pergerakannya mulai leluasa mengatur gerakannya. Sekarang penisnya ditarik keluar hingga hanya tersisa ujung penisnya saja di dalam vaginaku. Tiba-tiba Amar mendorong pantatnya mendadak dengan cepat sehingga penisnya kembali menghujam liang vaginaku dengan keras.

“Aaaaaaaaakkkh…” jeritku kaget.

Namun sekarang rasanya tidak lagi perih seperti tadi. Amar mulai menggerakkan penisnya dengan tempo yang lebih cepat, membuatku akhirnya melenguh-lenguh merasakan nikmat di vaginaku.

“Ooooohh… Aaaaahhh… Aaaaaahh…” aku mendesah-desah keenakan.

Sesekali adikku berhenti menggerakkan pinggangnya saat penisnya tertanam penuh dalam vaginaku dan mulai menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya mengaduk-aduk isi liang vaginaku. Semakin lama, kurasakan tempo goyangan penis Amar semakin cepat keluar masuk vaginaku dan menggesek klitorisku saat memasuki vaginaku. Tubuhku juga berguncang mengikuti irama pompaan penis adikku seiring dengan desahan-desahan erotis dari bibirku. Tidak terasa sudah sekitar 15 menit sejak penis adikku memasuki vaginaku pertama kalinya. Amar masih dengan giat terus menggerakkan penisnya menjelajahi vaginaku. Sementara aku sendiri sudah kewalahan menerima serangan kenikmatan di vaginaku.

Karena sudah dari tadi di rangsang, tidak lama kemudian aku merasa vaginaku berdenyut dan merinding. Vaginaku rasanya seperti tersedot-sedot dan seluruh syaraf di dalam tubuh berkontraksi.

“Ouuuuugggghhh… Ammaaaaaaarrrr!! Enaaaakk bangeeeeet Maaar!! Teteh mauu keluaaaaarrr!!” aku tidak kuat untuk tidak berteriak.

“Aaaaaaaaaaahhhh!!” sambil menjerit aku melepaskan rasa nikmat orgasme yang terasa luar biasa.

“Oooh… Memeknya Teteeeeh basaaah dan Aanget!! Enak banget Teeeeh…!” erang Amar menikmati penisnya di dalam vaginaku yang sudah basah oleh cairan orgasme.

Kulihat adikku masih terus memaju-mundurkan pinggulnya dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba dia mendorong tubuhku sekuat tenaga hingga terdorong sampai ke tembok.

“Ouughhh…! Enak Maaarrr…!! Terus Maaarr…. Oughhh….” kataku yang walaupun sudah mencapai orgasme tapi belum ingin berhenti.

Tanganku memegang pantatnya dan menekannya supaya penisnya bisa lebih masuk, penetrasinya pun lebih dalam. Pantatnya ditekannya lama sekali ke arah vaginaku. Lalu badannya tersentak-sentak melengkung ke depan. Kurasakan cairan hangat di dalam vaginaku. Lama kami terdiam dalam posisi itu, kurasa penisnya masih penuh mengisi vaginaku.

Lalu dia mencium bibirku dan melumatnya. Kami berciuman lama sekali, basah keringat menyiram tubuh ini. Kami saling melumat bibir lama sekali. Tangannya lalu meremas susuku dan memilin putingnya.

“Sekarang Teteh nungging deh, terus pegang pinggir bak mandi…” tiba-tiba adikku berkata.

“Kamu mau ngapain Mar?” aku sedikit bingung dengan permintaannya.

“Udah deh! Teteh ikutin kata Amar aja…” katanya lagi.

Aku pun mengikuti petunjuknya. Aku berpegangan pada pinggir bak mandi dan menurunkan tubuh bagian atasku, sehingga batang kemaluannya sejajar dengan pantatku. Aku tahu adikku bisa melihat dengan jelas vaginaku dari belakang. Lalu dia mendekatiku dan memasukkan penisnya ke dalam vaginaku dari belakang. Terdengar bunyi hentakan dari badan Amar dengan belakang pantatku. Aku juga bisa merasakan buah zakarnya bergelantungan di bongkahan pantatku.

“Aaaahhhhh…!! Enak banget Maaar… Aaaaahh… Amaaaaarrr…!!” aku menjeritkan nama adikku saat penis itu mulai masuk ke dalam rongga vaginaku.

Mulutku terus mengeluarkan desahan-desahan nikmat, kepalaku menengadah dan mataku terpejam. Sungguh luar biasa kenikmatan yang diberikan oleh adikku. Kontraksi otot-otot kemaluanku membuat adikku merasa semakin nikmat karena otot-otot itu menghimpit penisnya. Hal ini menyebabkan goyangan adikku semakin liar saja.

“Eeeeemm… Eenaaakk bangeeeet Teh…!” bisiknya sambil meremasi bongkahan pantatku.

Aku hanya mengangguk karena sedang melayang-layang sekarang. Gesekan penis Amar di kemaluanku benar-benar membuat nikmat. Aku bahkan merasa kalau penis Amar sampai membentur dinding rahimku.

“Teruuus Maaar… Oohhhh… Tekeeen lebiih daleeeem…!!” pintaku walaupun aku sadar kalau penis Amar sudah masuk seluruhnya.

Adikku sangat pintar memainkan tubuhku, dengan sangat lembut jari-jarinya menyelusuri belahan pantatku dari atas hingga ke bawah belahan vaginaku. Gerakan itu di lakukan berkali-kali sehingga pantatku terlihat membusung ke belakang.

Sambil menggenjot, tangan adikku menjelajahi lekuk-lekuk tubuhku, payudaraku diremas-remasnya dengan gemas. Aku turut menggerakan pinggulnya menyambut genjotan adikku. Rasanya lebih nikmat dibanding sebelumnya. Rasa nikmat itu lebih kurasakan karena tangan adikku yang bebas kini meremas-remas payudaraku. Adikku terus memaju-mundurkan pantatnya.

“Ssssshhh… Aaaaahhhh… Pe-peniiis kamuuu keraaaas bangeeeet…!! Eehhh… Eenaaakkk Maaaar!!” desahku menikmati persetubuhan ini.

Namun dengan tiba-tiba adikku menahan gerakan pantatnya lalu menarik sebagian penisnya keluar, sehingga hanya tinggal setengahnya saja yang masih terbenam di dalam vaginaku. Hanya berselang beberapa detik kemudian, Amar kembali mendorong penisnya dengan cepat ke arah kemaluanku.

“Aaaaaaaaahhh…!!! Te-teruuuus Mar…!!! Enaaaaakkk…!!!” aku berteriak-teriak tidak terkendali.

Tidak ingin hanya berdiam diri saja, aku ikut membantu adikku dengan menggerakkan pantatku ke depan dan belakang hingga akhirnya dia berteriak “Aaaaaah… Amaaar udaaaah pengeeeen keluaaaar Teeeh…!!”

“Ja-jangaan keluaaar duluu Maaar…! Aaaaaaah… Tu-tungguuu Teteeeh…!!” aku berusaha meresapi semua kenikmatan tersebut.

Aku sungguh berharap dengan begitu rasa orgasme dapat segera datang. Ternyata tidak lama kemudian, sesuai dengan keinginanku, bersamaan dengan teriakan Amar, dapat kurasakan vaginaku mengejang beberapa kali. Tubuhku menggelinjang diiringi dengan dengan semprotan-semprotan panjang di dalam vaginanya. Aku merasakan tembakan sperma adikku yang hangat kembali membasahi rahimku.

“Ooooooh… Teteeeeeeeh…!” adikku melenguh panjang sambil menekan dalam-dalam penisnya yang menyemburkan spermanya.

Setelah mencapai orgasme aku tersenyum pada adikku itu dan menciumnya di bibir dengan mesra. Kami lalu berciuman untuk waktu yang cukup lama. Bibir kami saling berpagutan, aku dengan agresif memainkan lidahnya di dalam mulut adikku, aku menyapu langit-langit mulutnya dan mendorong-dorong lidah adikku dengan lidahnya. Adikku pun tergerak untuk ikut memainkan lidahnya membalas lidah aku yang seolah mengajaknya ikut menari. Sambil berciuman dengan penuh gairah tangan adikku ikut mengelusi punggungku.

‘Sluuup… Sluuuuph…’ demikian bunyinya saat lidah kami saling membelit dan bermain di rongga mulut.

Beberapa saat kemudian kami saling melepas ciuman setelah merasa nafas kami memburu dan butuh udara segar. Aku mengambil sabun dan mulai menggosokannya ke seluruh tubuh Amar. Wajah adikku masih terlihat lelah ketika tanganku membelai tubuhnya, tapi yang jelas penisnya masih tampak tegang terutama ketika aku menyabuninya. Dengan nakal aku sengaja mengocoknya pelan sehingga adikku mulai mendesah.

“Sekarang gantian Amar yang nyabunin Teteh yah…” ujarku seraya menyerahkan sabun ke tangannya.

Amar menyabuni seluruh tubuhku dengan penuh nafsu. Ketika sampai di bagian vagina, adikku mulai memainkan jarinya lagi.

“Eeeemmmhhh…” aku mendesah sambil memejamkan mata.

Aku memeluk adikku dan menggeser tubuh ke dekat bak mandi, kemudian menyiram dan membilas busa sabun di tubuh kami berdua. Amar mengelus dan memasukkan jarinya ke vaginaku sambil mengemut putingku yang mulai menegang. Aku terus mendesah menikmati jari-jari Amar di vaginaku yang disertai hisapan pelan pada putingku. Kepalaku terus menengadah dengan mata terpejam. Sedang larut-larutnya dalam birahi tiba-tiba aku mendengar suara klakson mobil yang sudah tidak asing lagi.

“Aduh Mar!! Itu kan suara klakson mobil Ayah…!!” teriakku dengan panik.

Dengan terburu-buru Amar langsung melepas pelukannya dari tubuhku. Dia segera memakai handuk miliknya, sedangkan aku tanpa pikir panjang memakai kembali kaos dan celanaku yang dalam keadaan kotor. Lalu kami berdua keluar dari kamar mandi, Amar masuk ke kamar tidurnya sedangkan aku membukakan pintu depan tanpa sempat berganti pakaian terlebih dahulu.

“Teteh sama Amar lagi pada dimana sih? Kok tadi Ibu ketok-ketok pintu nggak ada yang bukain? Jadinya Ayah bunyiin klakson mobil deh…” tanya Ibu ketika sudah berada di ruang tamu.

“Ta-tadi Teteh lagi di kamar mandi, terus Amar lagi di kamarnya. Makanya nggak ada yang denger Ibu ngetok pintu…” jawabku gugup karena tidak terbiasa berbohong.

“Oooh gitu…” kata Ibu singkat.

“Uuuuh… Untung aja Ibu nggak curiga…” pikirku sambil menghela nafas lega.

Namun bukannya jera karena perbuatanku dengan Amar nyaris ketahuan, pada malam harinya saat orang tua dan adik-adikku yang lain sudah pergi tidur, aku mengetuk kamar tidur Amar untuk kemudian melanjutkan permainan yang tadi sempat tertunda.

Sejak saat itu kami melakukannya bagaikan pengantin baru, hampir tiap malam kami bersetubuh. Bahkan pernah dalam semalam kami melakukannya hingga tiga kali! Biasanya Amar membiarkan pintu kamarnya tidak dalam keadaan terkunci, lalu saat keluargaku yang lain sudah terlelap aku datang ke kamarnya dan kami pun bersetubuh sampai kelelahan.

Terkadang saat kedua orangtua serta adik-adik perempuanku sedang tidak berada di rumah, kami berani melakukan persetubuhan tersebut tidak hanya di kamar adikku ataupun kamarku, namun juga di ruang keluarga, ruang tamu hingga kamar Ayah dan Ibu. Bahkan pernah juga ketika rumah kami masih dalam keadaan ramai, adikku yang sudah tidak dapat menahan nafsu lagi, memintaku untuk melakukan oral seks di kamarnya.

Walaupun aku selalu menyadari kalau perbuatan yang kami lakukan ini sangat dilarang, namun tetap saja aku dan adik laki-lakiku terus melakukan hal tersebut hingga berulang kali. Tetapi sejak kejadian itu aku merasa Amar telah berubah menjadi anak yang lebih penurut, terutama kepadaku.

- Tamat -