Tuesday, January 4, 2011

Ani

Sebut saja namaku Ani, saat ini kami hidup di kota M, dan Mas Rud, suamiku, bekerja sebagai wartawan pada sebuah media cetak lokal di kota itu.
Kehidupan kami berjalan mulus hingga tahun keempat pernikahan, walaupun kami belum juga dikaruniai buah hati hasil perkawinan kami. Aku sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, sambil menjaga kios serba ada yang setiap waktu semakin berkembang pesat. Intinya, kami sama-sama bahagia walaupun kadang merasa sepi juga tanpa hadirnya buah hati.
Tapi, sesuatu ternyata terjadi diluar perkiraan kami berdua. Profesi Mas Rudi sebagai wartawan mengharuskannya berhadapan dengan resiko yang rumit. Aku ingat betul saat itu suamiku berseteru dengan seorang pejabat yang kasus KKN nya dibongkar suamiku. Seminggu setelah berseteru, suamiku dianiaya belasan orang tak dikenal, beberapa saat setelah meninggalkan rumah.
Tak parah memang, tapi luka disekujur tubuh Mas Rudi ternyata berpengaruh pada kemampuan seksualnya. Ya, sejak penganiayaan itu, Mas Rudi selalu gagal melakukan tugasnya sebagai suami. Tadinya kami pikir itu akibat shok yang dialami karena penganiayaan, dan dokter yang menangani Mas Rudi pun berpikiran seperti itu. Tapi sudah hampir setahun berlalu, kondisi Mas Rudi tetap tak berubah, malah bisa dibilang semakin parah. Bahkan sekarang, Mas Rudi sudah mulai enggan mencoba melakukan tugasnya memberikan kebutuhan biologis padaku.
Sebagai istri, meskipun tersiksa, aku mencoba untuk tetap setia dan bertahan dengan keadaan itu. Walau terkadang timbul juga ketakutan kalau aku tak bakalan punya anak sampai tua nanti.
Lambat tapi pasti, akhirnya aku dan Mas Rudi bisa menepis semua ketakutan itu, dan mulai tenggelam dengan kesibukan kami masing-masing.
Untuk menghilangkan rasa sepi kami, aku dan Mas Rudi mempekerjakan empat orang pembantu dirumah kami. Dua wanita, Ijah berusia 22 tahun, dan Minah berusia 34 tahun, kupekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dan penjaga kios serba ada. Sedangkan dua lelaki, Maman berusia 40 tahun, dan Jaka berusia 19 tahun, kupekerjakan sebagai tukang kebun dan penjaga kios serba ada pula. Untuk mereka pula, kami membuat dua buah kamar lagi, dan suasana rumah tak lagi sepi sejak mereka berempat turut tinggal di rumah kami sejak lima bulan lalu.
Malam itu entah apa yang ada dipikiran Mas Rudi. Yang pasti suamiku itu membawa belasan keping VCD porno dan mengajakku menikmati tontonan erotis itu bersama-sama. Waktu itu jam menunjuk angka 11.30 malam, dan kami berdua sudah berbaring di ranjang kamar, sementara adegan porno dilayar TV sudah mulai tayang.
Terlihat jelas bagaimana gadis Cina dalam VCD itu merintih dan mengerang ketika lidah lelaki cina pasangan mainnya menjilati bibir-bibir vaginanya, terlihat jelas juga bagaimana rintih kenikmatan keduanya ketika kelamin mereka bersatu dalam senggama. Tak bisa kupungkiri, aliran darahku cepat terpacu dan kehausanku akan kebutuhan itu semakin menjadi-jadi.
Mas Rudi masih terdiam disampingku, namun mendadak tangannya mulai merayap dan meraba bagian tubuh sensitifku.
"Sayang, mungkin aku nggak bisa memberimu kepuasan seperti itu. Tapi aku akan berusaha membahagiakanmu," katanya sambil mulai menciumi sekujur tubuhku. Satu persatu pakaian kami terbuka hingga akhirnya kami benar-benar bugil. Astaga, penis suamiku tetap saja layu meski adegan di TV sudah membakar nafsu kami berdua. Sebagai istri aku berinisiatif mengulum dan menjilati penis Mas Rudi yang layu, tapi tak juga ada perubahan sampai aku lelah sendiri.
Akhirnya Mas Rudi bangkit dan mengambil sesuatu dari balik lemari kami, penis karet dengan vibrator elektrik. Alat itu baru dibelinya, karena selama ini aku selalu menolak menggunakan alat bantu semacam itu. Aku selalu berpikir jika pakai alat itu sama saja aku melakukannya dengan orang lain, bukan dengan suamiku.
Tapi entahlah, malam itu aku benar-benar tak kuasa menahan birahiku. Mungkin akibat tontonan porno yang kami nikmati bersama itu.
"Ohhh Mass nggghhhss," aku mulai mendesis ketika Mas Rudi menyibak bibir vaginaku yang sudah banjir dengan penis buatan itu. Aku tak lagi memperhatikan suamiku, dan mataku tertuju pada layar TV, sambil membayangkan akulah yang sedang disetubuhi pria di TV itu. Vibrator penis karet yang sudah sepenuhnya masuk keliang vaginaku dihidupkan Mas Rudi, getarannya mulai membuat menikmatan tersendiri di daerah klitorisku. Aku mengelinjang sambil merintih nikmat hingga akhirnya tiba pada puncak kenikmatan. Aku orgasme, orgasme semu oleh alat buatan pabrik. Malam itu aku bahagia, tetapi batinku menangis.
"Maafkan aku sayang," hanya itu yang terucap dari bibir Mas Rudi.
"Nggak apa Mas, aku sudah sangat puas kok," balasku sambil mengecupnya.
Sejak menikmati getaran asyik dari vibrator penis karet malam itu, sepertinya ada yang berubah pada diriku. Aku menjadi sangat agresif dan selalu ingin melakukan hubungan seksual dengan alat itu. Kadang kala, saat Mas Rudi sedang tak dirumah, aku melakukannya sendiri hingga mencapai puncak kenikmatanku. Aku tahu itu salah, tetapi aku tak bisa menolak keinginanku yang selalu menggebu untuk terpenuhi, sementara aku juga ingin tetap setia pada suamiku.
Siang itu pelanggan kios serba ada kami cukup banyak yang datang. Maklum tanggal muda biasanya pelanggan kios yang rata-rata pegawai negeri membeli kebutuhan sehari-hari di kios kami. Aku dan Ijah sibuk melayani pembeli, malah Minah yang seharusnya bekerja didapur ikut membantu kami. Jarak kios dan rumah kami hanya berselat tembok, tembok itu pun ada pintu khususnya yang menghubungkan kios dan rumah, jadi tidak sulit mondar-mandir kios-rumah atau sebaliknya rumah-kios.
"Si Jaka kemana Jah ? kok nggak kelihatan dari tadi ?," tanyaku pada Ijah sambil menghitung bayaran pelanggan.
"Nggak tahu tuh bu, tadi sih katanya mules, dia lagi mencret bu, sakit perut," jawab Ijah.
"Sakit kok nggak bilang ?, ya sudah kamu jaga dulu kiosnya sama Minah ya, Ibu mau lihat Jaka," setelah kios sepi, aku pun meninggalkan Ijah dan Minah untuk melihat Jaka.
Kamar pembantuku tepat di belakang kios, satu kamar Ijah dan Minah, satu lagi kamar Jaka dan Maman. Aku langsung menuju kamar Jaka, dan saat aku buka pintunya terlihat Jaka sedang terbaring dengan wajah pucat dan meringis-ringis sambil memegangi perutnya seperti menahan sakit.
"Kamu sakit Jaka ?, ke Puskesmas saja ya mumpung masih buka," kataku terus masuk kedalam kamar pembantuku.
"Eh... ibu.., nggak apa kok bu, cuma sakit perut biasa. Tadi juga sudah minum obat diberi Ijah," Jaka berkata sambil bangkit dan duduk diranjangnya.
Jaka adalah pemuda sopan dari kampung yang sama dengan tiga pembantuku lainnya. Mereka kuambil dari kampungku juga, kebetulan keluarga kami sudah saling mengenal dikampung. Aku juga sebenarnya sama seperti mereka, orang kampung. Hanya saja aku agak beruntung kawin dengan Mas Rudi, anak orang kaya yang juga berprofesi matang.
Aku lalu duduk ditepi ranjang Jaka sambil mengusap dahinya.
"Mana yang sakit Jak," tanyaku seraya mengusap perutnya.
"Sudah baikan kok bu, cuma masih lemas," jawabnya.
Rasa peduliku pada Jaka mungkin suatu kesalahan, soalnya begitu mengusap perut Jaka, aku justru menatap suatu bagian dibawah perut Jaka. Sebuah benda yang tersembul dibalik celana karet komprangnya, astaga milik Jaka yang kusadari tentu tak bermasalah seperti milik suamiku. Aku jadi jengah dan menarik tanganku, lalu meninggalkan Jaka sendirian di kamarnya.
Malamnya, sekitar jam 09.00 setelah makan malam, aku kembali ke kamar para pembantu untuk melihat keadaan Jaka. Terus terang aku sangat takut kalau pembantuku ada yang sakit, apalagi bagiku mereka sudah seperti kerabat sendiri.
Tapi malam itu aku jadi kaget dan tersentak. Aku mendapati bukan Minah dan Ijah atau Jaka dan Maman yang sekamar. Tetapi Jaka sekamar dengan Ijah dan Maman dengan Minah. Rupanya, mereka keblinger dan melanggar aturan yang kutetapkan.
Hal itu aku tahu ketika dekat kamar Minah, aku mendengar suara rintih dan desah khas orang yang sedang bersetubuh. Ketika kuintip ternyata Maman yang duda sedang menindih Minah yang janda.
Aku lalu beralih menintip kamar Jaka lewat celah jendela. Astaga, di kamar itu aku melihat Ijah sudah setengah telanjang dan Jaka sedang mengulum buah dada Ijah. Aku hendak marah dan menghardik mereka, tetapi tak tahu kenapa aku malah seperti terpaku dengan adegan yang kusaksikan itu.
"Iiihh gelii Jak..., nakal kamu ya," ucapan genit Ijah terdengar jelas olehku saat Jaka mulai menjilati bagian perutnya.
"Geli dikit nggak apa kan, Kang Maman dan Bi Minah juga begitu kok caranya," balas Jaka. Keduanya pun mulai melepas pakaiannya hingga bugil. Sementara aku semakin terpaku melihat adegan mereka dari balik celah jendela.
Jaka yang bertubuh kurus dan agak pendek rupanya memiliki penis yang lumayan besar, setidaknya lebih besar dari milik suamiku yang layu itu.
Ijah yang sudah telanjang bulat berbaring diranjang dengan posisi kaki menjuntai kelantai, sedangkan Jaka mengambil posisi berdiri. Jaka kemudian mengangkat dua kaki Ijah sehingga posisi Ijah mengangkang, lalu perlahan Jaka memasukan penisnya ke dalam vagina Ijah.
"Nghhss Jak... ohh," Ijah mulai mendesis dan mengerang ketika Jaka memompa tubuhnya. Keduanya lalu tenggelam dalam nafsu birahi, sementara aku yang sudah tak kuat lagi segera berlari ke kamarku dan memuaskan diri dengan penis karet sialan itu. Sampai akhirnya Mas Rudi pulang larut malam dan kembali memuaskanku dengan alat sialan itu lagi.
Sejak kejadian itu, aku semakin tak habis pikir dengan kelakuan para pembantuku itu. Tapi lama-lama aku pikir wajar saja, karena Maman memang duda dan Minah janda, lalu Jaka dan Ijah mungkin saja sudah menjalin cinta sejak di kampung dulu. Apalagi pengawasan terhadap mereka di rumahku tak terlalu ketat.
Namun tak bisa kupungkiri juga, sejak melihat kejadian itu, aku semakin merasakan haus untuk melakukan seks. Apa boleh buat keinginan itu harus kuredam dengan penis karet lagi, dan lagi.
Hari itu Mas Rudi pamit akan liputan luar kota selama tiga hari, dan tiga hari itu pula aku harus kesepian di rumahku. Hari pertama berjalan seperti biasa meski tanpa Mas Rudi. Tapi hari kedua sejak pagi aku merasa kurang enak badan, sehingga kios hanya dijaga para pembantuku.
"Bu..., kalau mau biar saya pijatin supaya enak badannya," suara Ijah menawariku usai makan malam. Malam itu sengaja kuajak empat pembantuku itu makan malam bersama di rumahku dan mereka juga bebas nonton TV dirumah majikannya ini.
"Iya deh Jah, pijitin aku dikamar ya...," ujarku sambil berjalan menuju kamar. Semetara Minah, Maman, dan Jaka masih nonton TV diruang tengah.
Sampai dikamarku Ijah langsung memijiti seluruh badanku dari kaki sampai kepala. Pijitan Ijah memang enak sampai-sampai aku terlelap dan tidur.
Aku tak tahu berapa lama aku sempat tertidur, tetapi saat bangun tubuhku rasanya sudah segar kembali. Hanya saja, astaga, aku dalam keadaan terikat. Kedua tangan dan kakiku terikat pada tiap sudut ranjang, dan mulutku tertutup erat plester lakban. Hanya mataku yang terbuka dan melihat kamar dalam keadaan terang, dan aku sendiri dalam keadaan bugil tanpa sehelai benang pun.
"Selamat malam nyonya sayang," suara Maman tiba-tiba mengejutkanku. Lelaki bertubuh gempal itu sudah berdiri tepat di depanku di ranjang bagian kakiku. Matanya berbinar liar menatap kearah tubuhku yang terikat, terlentang, dan telanjang. Sialan, apa mau Maman ini, aku mau berteriak tapi mulutku tertutup lakban.
"Tenang saja nyonya, malam ini akulah yang akan memuaskanmu. Tuankan sedang tidak ada," Maman masih berdiri dihadapanku sambil melepaskan pakaiannya sendiri. Tubuh Maman masih terlihat atletis di usia 40 tahun, dengan bidang dada dan otot perut kotak-kotak menandakan tenaga yang kuat, apalagi kulitnya yang agak hitam membuat kesan kuat jelas terlihat.
Maman kini tinggal pakai CD saja, dan perlahan bergerak kearahku yang terlentang diranjang. Aku tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi, Maman akan menyetubuhiku, memperkosaku, tapi juga memberi kepuasan yang selam ini aku cari.
"Eemphh... mmmffhhhh," aku berusaha bergerak berontak ketika Maman mulai menyentuh tubuhku. Tapi percuma, ikatan tali jemuran pada kaki dan tanganku sangat kuat, Maman akhirnya leluasa meraba-raba tubuhku.
"Tenang nyonya, sabar ya..., wah mulus sekali nyonya ini," Maman terus meraba-raba dan mempermainkan jari kasarnya disekujur tubuhku. Aku hanya bisa pasrah ketika Maman mulai berani menciumi putting susuku dan menghisap-isapnya. Kumis tebal dan mulut monyongnya seperti hendak melahap habis susu ukuran 36B milikku. Aku pun tak kuasa berontak ketika jeri-jari kasar Maman menyentuh bibir-bibir vaginaku, dan kurasakan gelora birahiku mulai menjalar ketika jari-jari itu mulai menelusup pada celah bibir vaginaku dan memainkan, menekan-nekan klitorisku.
"Mmffffhhhh...," meski aku mulai menikmati sentuhan nakal Maman, tetapi aku harus tunjukan kalau aku tak suka diperlakukan begitu, setidaknya untuk mempertahankan martabatku sebagai majikannya. Aku mulai berontak lagi, tapi percuma. Kini Maman bukan hanya bermain jari, bibirnya mulai turun kearah perut dan terus keselangkanganku yang sudah basah. Oh..., tidak, bibir Maman mulai menyentuh bibir vaginaku. Kumisnya yang tebal sengaja digesek pada klotorisku, membuat aku menggelinjang. Setiap gerakan perlawananku membuat Maman semakin bernafsu menjilati vaginaku, dan hal itu membuat kenikmatan yang tercipta semakin tak bisa kuelakan. Akhirnya gerakan pinggulku semakin seirama dengan jilatan kasan lidah dan kumis Maman.
"Gimana nyonya ? Enak nggak ?," tanya Maman sambil menatapku. Aku tentu saja melotot kepadanya. Tetapi Maman nampaknya sudah mengerti ciri wanita dilanda birahi, sebab meski mataku melotot marah, vaginaku yang sudah basah tak bisa menyembunyikan ciri nafsuku. Maman melanjutkan aktifitasnya menjilati vaginaku. Desakan-desakan bibir Maman dibagian vital milikku membuat rasa nikmat tersendiri menjalar dan mengumpul dibagian vagina, pinggul, pantat, hingga ujung kaki dan ujun rambutku. Mamang semakin teratur menjilati klitorisku, sampai akhirnya aku tak bisa membendung desakan dari dalam vaginaku.
"Mmmfffhhhppp...," kali ini aku jebol, aku orgasme dengan perlakuan Maman itu. Maman menghentikan jilatannya, dan menatap wajahku, ia tahu aku sudah sampai puncak pertama.
Maman berdiri lagi dan menanggalkan CD kusam miliknya. Kini dihadapanku berdiri seorang lelaki dengan penis yang normal dan ereksi total, hal yang sudah setahun lebih tak pernah kulihat. Penis milik pembantuku itu siap menghujani vaginaku dengan kepuasan.
"Nyonya..., sudah kepalang basah. Saya tahu nyonya juga senang kok, buktinya sampai keluar airnya. Jangan berteriak ya nyah," ujar Maman sambil melepas plester lakban dari mulut.
Kini plester sudah terlepas dan mulutku bebas bersuara, tapi aku tak berkata-kata apalagi berteriak. Tubuhku lemas dan tiap jengkalnya merasa rindu sentuhan Maman seperti tadi.
"Ohh..., uhhh... adduuuhh...," hanya itu yang keluar dari mulutku ketika Maman kembali menjilati vaginaku. Tangan Maman yang cekatan meremas-remas susuku, pinggulku, dan belahan pantatku diremas gemas. Terus terang saat itu aku sudah tak sabar menunggu hujaman penis Maman yang tegar ke vaginaku, aku rindu disetubuhi lelaki, bukan sekedar vibrator sialan itu.
Maman beralih posisi mengambil posisi berlutut tepat di selangkanganku. Dipegangnya penisnya dan diarahkan ke vaginaku yang sudah benar-benar kuyup. Maman menggesek-gesekkan penisnya dipermukaan vaginaku, oh..., aku benar-benar tak sabar menunggu senjata Maman itu.
"Uhhh Man... ampunhhh... aku nyerah... mmmffhh," aku akhirnya mengucapkan itu dengan mata terpejam. Kupikir mau menolak pun percuma karena posisiku sulit, lagipula aku ingin agar dosa itu segera berlalu dan selesai. Ucapanku membuat angin segar bagi Maman, sebelum menyetubuhiku penuh, Maman membuka ikatan tali di kaki dan tanganku.
"Ayo sayang, sekarang aku puaskan kamu cantik," celoteh Maman sambil kembali menindih tubuh bebasku. Dalam posisi itu Maman masih terus memancing nafsuku yang sudah sangat puncak, penisnya hanya digesek ujungnya saja pada vaginaku membuat aku yang mengejar dengan pinggul naik turun. Setelah tak mampu menahan nafsu yang sama, Maman akhirnya menghujamkan utuh penisnya kedalam vaginaku.
"Ouhhggff... ah Kang Maman...," bibirku mulai menceracau saat Maman memompakan penisnya maju mundur dalam vaginaku. Tangan dan kakiku yang sudah lepas dari ikatan bukannya mendorong tubuh Maman menjauh dariku, tetapi justru memeluk dan meremas remas dada kekar Maman. Penis Maman terasa memenuhi liang senggamaku dan menciptakan rasa nikmat yang selama ini tak lagi kurasakan dari Mas Rudi.
"Ohhh nyonya, uennaaakk sekali vaginamu nyahhh.. oh," Maman menggenjot tubuhku dengan irama yang cepat dan tetap, dan aku mengimbangi gerakan Maman. Kini aku total melayani kebutuhan seks Maman sekaligus meraih kebutuhan seksku.
Sampai menit kedua puluh permainan kami, aku merasakan seluruh sarafku mengumpul disatu titik antara bibir vagina dengan klitorisku. Lalu beberapa detik kemudian seluruh otot dibagian itu terasa mengejang.
"Auuuhhfff... mmmfffhhh, enghhh.. ohh," kurasakan kontraksi yang sangat sensasional pada vaginaku.
"Iyyyaahhh... nyaaaaahhh... ohhh nyaaahh," Maman menggeram hebat dengan tubuh kejang diatas tubuhku, kurasakan semburan spermanya masuk hingga kedinding rahimku. Maman rebah diatas tubuhku. Keringat kami bercampur baur dan kedutan-kedutan lembut kelamin kami masih terasa sesekali, sampai akhirnya Maman rebah disisi kananku.
Ya Tuhan, aku sudah menodai kepercayaan Mas Rudi. Aku menitikan air mata usai meraih kepuasanku dari Maman.
"Maafkan saya nyonya, saya khilaf waktu lihat nyonya tidur dan pintu tak ditutup," Maman membuka bicara. Dari situ aku tahu, sehabis dipijat Ijah, aku tertidur dan Ijah tak menutup pintu kamarku. Setelah larut saat Ijah, Minah dan Jaka tidur, Maman hendak menguncikan pintu rumah tetapi batal karena melihat posisi tidurku dengan daster tersingkap. Maman jadi khilaf dan berniat memperkosaku.
"Kalau saya mau dipecat, saya hanya minta uang saku untuk pulang kampung nyah, saya nggak minta apa-apa lagi," tutur Maman mengiba.
"Kamu nggak salah Man, aku yang salah aku juga khilaf. Ya sudah kamu pindah kamar sana dan jangan bilang siapa-siapa ya, anggap saja tadi itu hadiah dariku buat kamu," kataku sambil menyuruh Maman pergi dari kamarku.
Hari ketiga saat Mas Rudi liputan luar kota, aku jadi termenung sendiri dalam kamar sejak pagi. Urusan kios aku percayakan sepenuhnya pada pembantuku, sementara aku hanya memikirkan kejadian malam kemarin dengan Maman. Kupikir aku diperkosa dan diinjak-injak harga diriku, tapi kupikir lagi aku pun menikmatinya, malah harus berterima kasih pada Maman yang telah mengobati rinduku selama ini untuk bersenggama dengan lelaki sebenarnya.
Sejak kejadian dengan Maman itu, aku seperti menemukan kehidupan baru. Jika aku butuh kepuasan semacam itu aku akan memanggil Maman melayaniku. Tentu saja semua tanpa sepengetahuan Mas Rudi, suamiku tercinta.
Tiga bulan sejak kerap melakukan hubungan gelap dengan Maman, tukang kebunku, aku merasa irama hidupku menjadi normal. Walau aku sadar telah menodai kepercayaan Mas Rudi suamiku, tapi aku juga kan wanita normal yang butuh kepuasan yang tak mungkin kudapat dari Mas Rudi lagi.
Sore itu hujan turun di kota M, sementara aku, Ijah, dan Jaka masih melayani pelanggan kios serba ada milikku. Mas Rudi belum pulang, biasanya pulang larut malam, Minah sibuk masak di dapur, dan Maman terakhir tadi kulihat membersihkan taman dibelakang rumahku.
"Aduh... Jah, lanjutin dulu ya kerjaannya, saya mau lihat Minah di dapur. Tadi lupa bapak minta buatin telur asin," aku mendadak ingat Mas Rudi memesan telur asin kesukaannya untuk makan malam. Kutinggalkan Ijah dan Jaka melayani pelanggan kiosku, dan aku berlari kecil melalui pintu pembatas kios-rumah menuju dapurku.
"Minn... Minaahh...," sampai di dapur Minah yang kucari sudah tak ada, hanya ada sayur lodeh yang mendidih diatas kompor nyala.
"Astaga Minah kok ceroboh sih..., kemana lagi si Minah uhh," segera kuangkat panci berisi lodeh, kompor kupadamkan dan selanjutnya mencari Minah.
Tadinya kupikir Minah lagi pipis atau buang air besar di WC belakang, jadi aku melangkah kesana. Tapi belum sampai ke WC pembantu itu, aku dengar suara rintihan khas orang sedang bersenggama. Ups..., langkah kuhentikan di tepi letukan tembok, kusaksikan pemandangan yang membuat darahku berdesir. Maman sedang asyik mengenjot pantatnya dengan penis besar yang tertancap di vagina Minah, Maman berdiri, sedangkan Minah nungging berpegang pada pagar kayu di taman belakang rumahku. Mereka tampak buru-buru dan tidak telanjang, daster Minah diangkat naik dan cdnya diturunkan sebatas lutut, dan celana Maman melorot sebatas lutut pula, tapi baju mereka tetap terpasang. Meski hujan cukup deras mereka tidak basah karena di taman belakang rumahku Mas Rudi sengaja membuat tempat duduk teduh untuk menghabiskan jika ada waktu santai kami.
"Ohh kaang... enak... aahhsst," Minah menjerit tertahan, orgasme sampai pinggulnya bergetar hebat.
"Ouhh iyaahh Minnhhh... ssiip," tubuh Maman pun mengejang menyusul orgasme Minah, tentu sperma Maman banyak menyiram vagina Minah, pikirku. Sialan, rupanya mereka curi kesempatan karena hujan deras. Ehm, mungkin enak juga ya bersenggama saat hujan deras. Sebelum mereka merapikan pakaiannya, aku langsung kembali ke dapur dan duduk di kursi dapur.
"Ehh, Ibu kok disini ?, ehh anu Bu..., saya habis pipis..., tapi sayurnya nggak hanguskan Bu ?," Minah gugup melihatku ada didapur.
"Iya... iya, tapi lain kali jangan ceroboh dong, untung saya ke dapur. Kalau nggak kan bisa kebakaran rumah ini," kataku pada Minah, Minah manggut-manggut.
Malamnya, hujan masih lebat. Tiba tiba telepon berdering.
"Halo sayang, maaf ya... aku nggak bisa pulang. Nginep di kantor ada kerjaan tambahan yang harus kelar malam ini," begitu inti bicara Mas Rudi saat telepon kuangkat. Aneh, harusnya sebagai istri aku kecewa suami nggak pulang. Tapi kok aku malah senang ya ? Malah pikiranku ingin segera menemui Maman dan melampiaskan kerinduanku pada penisnya yang hitam besar itu.
Jam 10 malam, aku sengaja mengenakan daster tipis tanpa CD dan bra, menikmati acara hiburan TV di ruang tengah rumahku, sejuk segar rasanya. Hujan masih lebat.
"Permisi Bu, mau ikutan nonton," suara Jaka membuatku sedikit terkejut.
"Eh... kamu Jak, si Ijah mana ?," aku duduk diatas sofa, Jaka ambil duduk di lantai semeter di depanku.
"Anu Bu, sudah tidur, kecapean mungkin. Semua sudah tidur, saya aja belum ngantuk Bu"
"Wah..., padahal saya mau dipijitin, cape juga nih, pegel," aku memijit-mijit sendiri kakiku, tubuhku merunduk. Jaka memperhatikanku tak berkedip, dasterku terkuak dalam posisi itu, buah dadaku pasti terlihat Jaka.
"Kamu bisa mijitin Jak ?," pertanyaanku membuat Jaka kaget, tapi tetap menatapku.
"Ah Ibu, saya nggak berani Bu, nanti dikira usil," Jaka malu, pemuda itu memang selalu pemalu, tapi aku tahu selama ini dia sering curi pandang menikmati indah tubuhku.
"Kok gitu ? kalau bisa tolong saya dipijitin ya Jak. Disini aja disofa biar kamu nggak dibilang usil," aku rebah dengan posisi menelungkup. Jaka ragu-ragu tapi kemudian mendekatiku.
Sofa ruang tengah agak lebar ukurannya, jadi Jaka kusuruh duduk di tepi sofa dan memijitku.
"Permisi loh Bu," Jaka mulai memijiti betisku, tangannya dingin membuat pijitannya terasa asyik di betisku.
"Hmmh, enak juga tanganmu ya Jak, belajar mijit dimana sih,"
"Nggak kok Bu, cuma biasa mijitin Kang Maman aja kalau dia cape,"
"Agak naik dong Jak, pahanya agak pegel," perintahku disambut Jaka semangat. Paha dan betisku dipijit naik turun, kanan kiri.
Hujan semakin lebat diluar, pijitan Jaka mulai asyik kurasakan. Kadang tangannya terasa mengelus dan membelai betis dan pahaku, bukan lagi memijit. Tapi kubiarkan saja aksinya itu, kunikmati saja tangan nakalnya itu.
"Badannya mau dipijit juga Bu ?,"
"Iya dong Jak, sekarang punggungku pijitin gih,"
Jaka memijit punggungku masih terhalang daster, tapi Jaka tahu, aku tak pakai bra karena tali bra tak ada dipunggungku.
"Sebentar Jak, biar gampang kamu mijit," aku bangun dan menurunkan dasterku sebatas dada, menutupi susuku saja, lalu rebah lagi tengkurap. Kini tangan Jaka memijit punggungku dan menyentuh langsung kulit mulusku, kadang tangannya mengambil kesempatan ke sisi tubuh menyentuh samping pangkal susuku.
"Ohh disitu Jak, pegel tuh, ouhh asshh... enak Jak," suaraku sengaja mendesis, nampaknya Jaka sudah dibuai nafsu. Pijitannya sudah berubah elusan dan remasan dipunggungku, kini malah turun ke pinggang, menyentuh pantatku, aku yakin Jaka pun tahu aku tak pakai CD.
"Jak ?,"
"Ehh.. saya Bu," suara Jaka agak serak menahan nafsunya.
"Pijitin terus sampai saya tidur ya. Kalau saya ketiduran nanti kamu kunci pintu belakang kalau sudah nonton TV ya, biar saya tidur disini," aku sengaja bicara sambil pejam, Jaka mengiraku sudah ngantuk benar.
Beberapa menit setelah itu aku sengaja tak bersuara lagi dengan mata terpejam seperti tidur. Jaka masih mijitin aku, tapi sekarang sepenuhnya hanya meremas dan meraba-raba tubuhku. Sekejap aku balikkan badan dan masih pura-pura tertidur, posisiku jadi menghadap atas, daster bagian depanku turun sampai separuh susuku nampak jelas. Jaka kaget, kulihat dari sela mata pejamku, ia berhenti mijit tapi tetap duduk di sisi sofa dan memandangi tubuhku. Aku tahu Jaka tersangsang dengan posisi tubuhku yang menantang.
Sebentar saja Jaka mematung, setelah itu kurasakan tangannya mengelus-elus pangkal susuku yang tersibak. Pelan-pelan sekali, dia takut aku bangun tuh. Setelah yakin aku tidur Jaka lebih berani menyibak dasterku lebih terbuka sampai susuku bebas tak terhalang.
"Ohh... cantik sekali kamu Bu...," Jaka berbisik sendiri sambil mengelus-elus susuku.
"Ahhhss Mas Rud...," aku pura-pura ngigau.
"Iya sayang... ini Mas Rudi," Jaka konyol menjawab ngigauku, pasti ia mulai berpikir ini kesempatan emas.
Benar saja dugaanku, setelah igauan itu didengar, Jaka tak ragu lagi melancarkan serangannya. Tangannya yang kasar mulai meremas-remas susuku, bibirnya juga ikut terjun mencium dan menjilati putting susuku.
"Ouuhh Masss..., ngghh... gelii mas aahhff...," masih pura pura tidur aku merangkul tubuh kurus Jaka, ia semakin semangat menciumi susuku. Kini tangan Jaka sudah merayap ke bawah, pahaku diusap-usapnya.
Vaginaku mulai membasah, sentuhan jemari Jaka sudah berani nakal membelai-belai bibir vaginaku. Udara dingin dan suara hujan membuat nafsuku melambung, Jaka pun kian girang menikmati tubuh mulus majikannya ini. Tiba-tiba Jaka menghentikan aktifitasnya, kulirik dari sela mataku, Jaka mempreteli pakaiannya sendiri sampai bugil. Wah walau bertubuh pendek dan kurus, tapi penis Jaka lumayan juga, lebih panjang dari punya Maman walau pun lebih langsing.
Aku masih pura-pura tidur, Jaka mengangkat dasterku dan bebas melototi vaginaku yang memang tak ber CD. Dielus lagi vaginaku dengan jemarinya, sambil dia naik ke sofa tempatku berbaring.
"Duhhhss, Mass... Rud, cepeetaan dong... Annii nggak tahaan... aahhmmmpp," belum selesai cerecauku, Jaka sudah menyumpal bibirku dengan mulutnya. Disedotnya seluruh bibirku dengan nafsu, dan penisnya yang tegang mulai amblas dalam vaginaku. Bleess... jleeppp..., Jaka mulai menggoyangku dengan sangat nafsunya.
"Eiihh... huusss... eenaakk sekallii Ani vaginamu enaaak...," Jaka terus menggenjotku.
"Aahhh... ohhh...," aku mulai merasa nikmat yang sama menjalari tubuhku, pinggulku kubuat seirama kocokan penis Jaka.
Tapi rupanya gerakanku itu salah, karena membuat nafsu Jaka tak terkendali. Baru lima menit gerakan pinggul kulakukan, tubuh Jaka sudah mengejang kaku diatas tubuhku.
"Ahh... uueennaaakkk... sayaaang," crot... crot... Jaka orgasme karena nafsu yang sangat tinggi akibat goyangan dan suara erotisku. Terang saja aku kecewa, aku belum lagi apa-apa, lantas aku bangkit dan membuka mata melotot.
"Jaka..., apa-apaan kamu ini hah...," sergahku pura-pura marah. Belum sempat aku lanjutkan kata-kataku, Jaka mengeluarkan sebilah pisau dari bajunya di lantai.
"Jangan berteriak Bu," pisau tajam itu ditodongka ke arahku, aku takut.
"Sekarang diam, dan Ibu harus nungging... ayo nungging. Disini Bu ceppaaat," teriak Jaka sambil menunjuk sisi sofa.
Hujan masih lebat, aku terpaksa nungging dengan dua tangan menekan pinggir Sofa, Jaka berdiri tepat dibelakangku.
"Nah..., akan kubuat Ibu lebih enak dari yang tadi. Anggap saja aku suamimu Bu," Jaka membelai-belai bokongku, lalu jongkok tepat dibelahan bokongku. Tangannya menyibak bongkahan bokongku sehingga vaginaku jelas terlihat olehnya, setelah itu, astaga, Jaka mulai menjilati vaginaku.
"Ahh... sstt Jakkk... aouhhh gelii Jak," aku tak bisa lagi berpura-pura, jilatan Jaka dalam posisiku nungging begitu terasa nikmat sekali. Mendengar desahku Jaka makin berani, kini pisau ditangannya sudah dilepas dan ia kembali menjilati vitalku itu. Cukup lama Jaka menciumi dan menjilati vaginaku, sampai kurasa sesuatu mulai mengumpul di paha, pantat dan bibir vaginaku itu. Aku hampir orgasme ketika Jaka menghentikan jilatannya.
Tadinya aku mau marah lagi karena orgasmeku batal, tapi setelah jilatan itu lepas, ternyata penis Jaka sudah kembali tegang dan langsung menusuk keliang nikmatku.
"Ahh, enaak ya Buu," Jaka menggenjot tubuhku dari belakang, maju mundur. Aku terbuai, posisiku hampir kalah, kedutan kecil mulai tercipta di dinding vaginaku. Jaka mempercepat goyangnya, hingga sepuluh menit kemudian aku semakin merasa mau jebol. Posisi nunggingku sudah utuh, tangan tak lagi menyangga tubuh. Kini aku seperti tiarap di Sofa dengan kaki berlutut di lantai, Jaka ikut jongkok, aku mirip betina yang sedang di setubuhi jantannya.
"Ouughhh... Jakk..., akuuu... ammpuun...," pertahananku jebol, kurasakan semua sendiku ngilu, dan kedutan di dinding vaginaku menjepit-jepit penis Jaka yang masih aktif. Tapi tak lama berselang, Jaka pun sampai puncaknya, dan tegang kaku di atas punggungku.
"Ahhh Nyah... ohhh," Jaka masih menidihku, dan posisi kami masih seperti pasangan jantan dan betina yang sedang senggama.
Kurasakan kedutan kelamin kami berpadu sampai akhirnya hilang perlahan, aku ngantuk dan terpejam, aku tertidur pulas dibuai kenikmatan dari penis pembantuku.
Paginya aku terbangun saat Minah menggoyang-goyang bahuku.
"Nyah bangun Nyah..., kok Nyonya telanjang diluar begini sih ?," suara Minah bercampur heran melihatku dalam kondisi bugil tertidur di sofa tengah.
"Ehh Min, oh... aku ketiduran semalam nih," aku segera bangkit dan beranjak ke kamarku sambil pakai daster kembali, Jaka sudah tak ada entah di mana dia.
Siangnya aku baru tahu dari Ijah kalau Jaka kabur. Dia cuma bilang ke Ijah kalau dia punya masalah sama preman di pasar tempat aku membeli barang dagangan untuk kios milikku. Aku tahu Jaka takut kejadian malam tadi sampai terdengar Mas Rudi, ia pikir ia telah memperkosaku. Kasihan juga Jaka, seharusnya aku jujur kalau aku pun ingin begituan, lagipula aku juga yang memancing birahinya. Tapi begitulah, aku juga gengsi sebagai majikan relah disetubuhi pembantu.
Belum lagi selesai memikirkan Jaka yang kabur, sorenya Maman dan Minah menemuiku. Mas Rudi pulang cepat sore itu, dan mereka berdua, Maman dan Minah berbicara dengan kami di ruang tamu.
"Anu Pak Rudi, kami salah pak..., anu pak," Maman gagap.
"Ada apa pak Maman bicara saja," dorong Mas Rudi. Tadinya aku yang gugup jangan-jangan Maman mau bongkar rahasia seks kami selama ini, tapi setelah itu aku lega.
"Kami mau pulang kampung pak, si Minah hamil, kami harus nikah," pengakuan Maman membuatku agak terkejut sekaligus kecewa, apalagi Jaka sudah pergi juga. Terbayang olehku hari-hari yang bakalan sepi disaat gairah seksku sedang tinggi-tingginya akhir-akhir ini.
Singkatnya sore itu Mas Rudi mengijinkan mereka pulang kampung sekaligus membayar pesangon kerja mereka. Sejak saat itu di rumah hanya ada aku, Ijah dan Mas Rudi yang selalu pulang larut malam. Meski dua pembantu lelaki itu sudah tiada tapi kenangan bersama mereka selalu kukenang, terutama saat aku birahi sendiri dalam sepi, bersama penis Mas Rudi yang tak bisa berdiri lagi.

No comments:

Post a Comment