Monday, May 2, 2011

SLUTTY WIFE TIA 5: PENGAKUAN TIA


Pengakuan Tia

-Ninja Gaijin-

-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan binal. Pada suatu malam, Mang Enjup, atasan Bram, mampir ke rumah dan menghipnotis Tia. Sesudahnya, kepribadian Tia berubah menjadi perempuan penggoda… Akibat perubahan itu, Tia sempat benar-benar disangka pelacur dan diciduk aparat.

*****

Tia

Menjelang malam di rumah Tia.

Tia duduk sendirian di sofa, merangkul kedua lututnya sendiri sambil menundukkan kepala. Sudah hampir seminggu berlalu sejak insiden salah tangkap terhadap dirinya dan Citra yang menyebabkan mereka berdua terpaksa melayani sekelompok aparat.

Tapi apa benar terpaksa?

Itulah yang membuat Tia sudah tersiksa secara batin selama seminggu. Tia tak tega menceritakan kepada Bram apa yang terjadi di kantor aparat bersama Gde dan anak buahnya. Bukan cuma karena Gde mengancam akan membeberkan kejadian salah tangkap itu kalau Tia cerita ke siapa-siapa. Tapi lebih karena rasa bersalah Tia sendiri.

Tia ingat bahwa malam itu, dia dengan sengaja dan sadar menyanggupi permintaan Gde untuk melayaninya layaknya suami-istri. Memang, saat itu dia tak pikir panjang karena ingin menyelamatkan Citra, tapi setelah semuanya selesai, barulah Tia menyadari bahwa yang diperbuatnya tetap tak pantas. Dia adalah istri Bram… hanya Bram yang berhak menikmati tubuhnya. Dia menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya, dan beberapa minggu lalu dia khilaf ketika dalam suatu hari dia bermain api dengan si tukang sayur, Pak Kumis, dan dua pengamen, Janu dan Fi. Tia sudah bertekad akan menjaga kehormatannya sebagai istri, namun ternyata dia tak mampu menahan godaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, mulai dari dorongan untuk menggoda para karyawan di kantor, berpenampilan seksi ketika di mall, bahkan ketika seharusnya dia bisa menjaga kehormatan waktu dipaksa Gde.

Ya, Tia sedang merasa lemah dan bersalah kepada Bram. Tia juga takut rumahtangganya dengan Bram akan tergoncang kalau Bram tahu apa yang terjadi.

Seminggu itu Tia tak banyak bicara, dan sering menangis. Bram bingung dibuatnya. Awal-awalnya, Bram berkali-kali berusaha menghibur Tia dengan berbagai cara, dari membelikan baju baru sampai mengajak makan di luar, tapi Tia tetap murung.

Tia juga sudah seminggu tidak menanggapi ajakan Bram untuk berhubungan seks. Ada sedikit trauma yang hinggap dalam benak Tia; tiap kali Bram mendekatinya dan berusaha berintim-intim, misalnya dengan merangkul dan mencium, Tia selalu teringat kembali akan kasar dan brutalnya Gde serta anak buahnya. Jadilah dia selalu menolak dengan halus. Bram bisa merasakan istrinya sedang bermasalah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Tia tidak merespon semua usahanya.

Telepon berdering. Tia menjawabnya.

“Halo…”

“Halo sayang,” rupanya Bram. Terdengar berisik melatarbelakangi suara Bram.

“Aku mesti pulang malam lagi hari ini,” kata Bram.

“Ya udah, aku tiduran di ruang tamu saja Mas, nunggu Mas Bram datang,” kata Tia dengan nada datar.

Percakapan itu berakhir tanpa emosi: Bram mengucapkan rasa sayang dan dijawab oleh Tia, seolah berbasa-basi. Di ujung lain jalur percakapan itu, Bram menutup hubungan telepon dan kembali ke apa yang sedang dilakukannya. Lagi-lagi dia berada di satu klub malam, bersama Mang Enjup, dua orang lagi anggota DPRD yang sedang mereka lobi untuk menggolkan proyek, berikut beberapa wanita penghibur berpakaian seksi yang merubung keempat laki-laki itu, berharap ikut kecipratan sedikit dari deal proyek yang pastinya bernilai sangat besar.

“Aya naon, Bram?” tanya Mang Enjup sambil merangkul salah satu pramuria.

“Tia, Mang…” keluh Bram. “Kayaknya dia ada masalah, tapi nggak mau cerita, udah seminggu dia nggak mau ngomong banyak.”

Mang Enjup tertarik mendengar nama Tia disebut. Sudah agak lama sejak terakhir kali dia bertemu Tia. Dan Mang Enjup belum lupa dengan niat busuknya terhadap Tia…

Tentu saja, Mang Enjup tidak akan menunjukkan itu semua di depan Bram. Laki-laki tua cabul itu sudah sangat berpengalaman. Jadi dia hanya memberi saran.

“Bram,” kata Mang Enjup, “Gimana kalo si Tia disuruh ke psikolog aja? Siapa tau kalau ke orang yang ahli, Tia mau cerita. Sukur-sukur masalahnya bisa dibantu.” Mang Enjup merogoh kantongnya, membuka dompet, mencari-cari sesuatu di dalamnya, lalu akhirnya mengambil satu kartu nama putih dengan tulisan warna merah dan biru.

“Ini ada kenalan Mang. Psikolog ahli biarpun masih muda. Coba ajah kamu ajak Tia ketemu dia,” kata Mang Enjup.

Bram melihat nama yang tertulis di kartu itu. Dr. Lorencia Partomo, M.Psi. Spesialis Trauma Psikologis.

Mungkin bisa dicoba, pikir Bram. Dikantonginya kartu nama Dr. Lorencia.

*****

“Sayang… kamu mau dengar saranku nggak?” kata Bram pada pagi berikutnya, ketika sedang sarapan bersama Tia.

“Saran apa, Mas?” ujar Tia.

“Aku tahu ada yang ngganggu pikiran kamu… tapi kamu sepertinya nggak bisa cerita ke aku, atau Citra, atau keluarga kita. Iya kan?” Bram melanjutkan. “Sebenarnya aku pengen banget bisa bantu kamu langsung, apalagi aku kan suamimu, harusnya kita bisa beresin semua masalah kita sama-sama, yang.”

Tia meringis mendengar kata-kata ‘aku kan suamimu’, yang dirasa menohok, karena sangat berkaitan dengan dilema hatinya. Dia diam saja.

“Kalau kamu nggak bisa bicara dengan aku… Bagaimana kalau dengan yang profesional aja? Aku dikasih info tentang psikolog. Siapa tahu dia bisa bantu kamu.” Bram menunjukkan kartu nama Dr. Lorencia.

Tia memperhatikan kartu nama itu. Spesialis Trauma Psikologis. Dan perempuan. Orang ini profesional, jadi pasti akan menjaga rahasia. Dan dia juga tidak ada kepentingan, jadi semestinya Tia tak usah takut konsekuensi macam-macam, ketimbang kalau dia cerita ke suaminya sendiri. Mungkin bisa dicoba…

Bram tahu-tahu sudah berada di samping Tia, merangkul dan membelai rambut Tia, lalu mengecup lembut pipi istrinya. Tia merinding, masih belum bisa menghilangkan trauma-nya.

“Kamu mau, kan?” bisik Bram mesra. “Aku pengen lihat kamu senyum lagi seperti biasa, nggak murung terus seperti ini. Kalau kamu mau, sekarang juga kita ke tempat dia. Dia praktek pagi. Aku bisa antar kamu ketemu dia sambil berangkat ke kantor.”

“Mas…” kata Tia sambil menoleh. Jawaban Tia disampaikan berupa anggukan kepala.

*****

Pagi itu, ketika berangkat bersama Bram, Tia belum bisa tersenyum lepas. Tapi siapa tahu orang yang akan ditemuinya bisa membantu…

Tempat praktik Dr. Lorencia Partomo terletak di satu rumah mewah, agaknya rumah pribadi sang psikolog spesialis. Bram dan Tia masuk dan disambut asisten Dr. Lorencia.

“Sudah ada janji?” tanya si asisten.

“Ya, kemarin malam saya sudah buat janji jam 9,” kata Bram. “Atas nama Tia.”

“Oke. Sebentar ya Pak,” kata si asisten, yang lantas menggunakan interkom. “Bu Loren, yang perjanjian jam 9 sudah datang.”

“Suruh langsung masuk saja,” jawab suara di interkom.

Bram menengok ke Tia. “Kamu nggak apa-apa kan sendirian, yang?” tanyanya.

“Nggak apa-apa, Mas…” kata Tia pelan. “Nanti kutelepon kalau sudah selesai.”

“Oke, aku berangkat dulu ya,” kata Bram yang kemudian mengecup kening istrinya. Wajah Tia tetap tanpa ekspresi. Bram kemudian meninggalkan Tia dan berangkat ke kantor.

Si asisten mengarahkan Tia menuju ke satu pintu besar, dan membukakan pintu itu. Tia masuk sendirian ke ruangan di belakangnya.

Ruang praktik Dr. Lorencia terbilang besar dan mewah, dengan meja jati ukir yang terlihat mahal di tengah-tengah, beberapa kursi antik, dan satu sofa besar. Dindingnya tertutup kertas dinding berwarna kuning muda, dihias beberapa lukisan, antara lain satu lukisan pemandangan dan satu lukisan perempuan Bali yang bertelanjang dada. Terlihat juga beberapa pot tanaman dan rak buku. Lantai marmernya sebagian tertutup permadani empuk. Tia mencium semacam wewangian di dalam ruangan itu; baunya tidak biasa, tapi menenangkan. Di samping ruangan itu ada satu pintu tertutup.

Di balik meja jati, di kursi putar yang besar dan nyaman, duduklah Dr. Lorencia Partomo.


Dr. Lorencia

Dr. Lorencia memandangi perempuan yang baru masuk ke kantornya. Tia yang bertubuh sintal, tidak terlalu pendek maupun tinggi, berumur dua puluhan pertengahan, dengan rambut panjang yang digerai dan wajah cantik dipoles make-up tipis (sejak shock, Tia tidak lagi berdandan tebal seperti sebelumnya). Wajah Tia terlihat tak santai, bibirnya tak sekalipun tersenyum.

Tia memandangi Dr. Lorencia dan tidak bisa tidak mengagumi sang spesialis. Dr. Lorencia adalah perempuan yang sangat cantik, mengenakan kacamata berbingkai warna emas, kira-kira beberapa tahun lebih tua daripada Tia, mungkin seumuran Citra. Rambut tebal Dr. Lorencia yang diwarnai pirang gelap seperti madu dikepang dan dijadikan sanggul besar di belakang kepala. Wajahnya berkesan tegas dan kuat, sedangkan tubuhnya yang agak montok namun tetap seksi itu terbungkus blazer, kemeja, dan celana panjang putih yang membuatnya kelihatan profesional—tapi Tia bisa melihat kemeja yang dikenakan Dr. Lorencia terbuka sedikit di bagian dada, dan dalaman hitam berenda yang dipakai di bawah kemeja itu terlihat menyelip, memberikan kesan seksi yang misterius. Tia bergerak ke arah kursi di depan meja Dr. Lorencia.

Dr. Lorencia berdiri dan menjabat tangan Tia sambil memperkenalkan diri.

“Ibu Tia, kan? Atau boleh kupanggil Tia saja? Panggil saja aku Loren,” katanya.

“Nggak apa-apa nih?” tanya Tia malu-malu. “Apa nggak sebaiknya Bu Loren atau Mbak Loren…”

“Jangan, jangan. Loren aja. Biar kita bisa lebih akrab,” kata Dr. Lorencia—Loren—dengan ramah. Tia merasakan tatapan mata Loren yang amat tajam dan kata-katanya yang berirama. Sekilas Tia terpikir tentang seseorang, tapi dia tidak bisa mengingat siapa yang tingkahlakunya mirip dengan Loren.

“Silakan duduk,” kata Loren. “Jadi…”

Tia diam saja, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.

“Masih bingung kenapa ketemu saya?” ujar Loren. “Nggak apa-apa. Suamimu sudah cerita sedikit tentang keadaan kamu. Dia rasa kamu ada masalah yang nggak bisa kamu ceritakan ke dia, betul kan?”

“Nggg…” Tia ragu-ragu untuk menjawab. Dia belum tahu apa yang diceritakan Bram ke si psikolog.

“Nggak usah ragu-ragu. Aku juga sebenarnya belum tahu kok apa masalahnya. Tapi kalau Tia mau cerita, mungkin bisa kubantu bereskan masalah itu. Dan apapun yang diceritakan di ruang ini, nggak akan keluar. Kode etik. Rahasia pasien harus dijaga,” Loren menjelaskan. “Gimana?”

Tia terus menatap wajah Loren yang cantik dan terlihat menenangkan itu. Pelan-pelan, Tia mulai merasa bisa percaya dengan si psikolog. Loren berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Tia. Si psikolog lalu menepuk bahu Tia.

“Tia, kita pindah tempat ya? Coba kamu tiduran di sofa itu. Kalau kamu santai, kamu bisa cerita dengan lebih enak,” bisik Loren.

Ketika bahunya ditepuk, Tia merasa pikirannya kosong. Mirip ketika waktu itu…

“Ya…” Tia mengiyakan saran Loren, lalu berdiri dan menuju sofa besar di sebelah meja Loren. Loren berjalan di sampingnya. Di sebelah sofa itu ada kursi. Loren duduk di kursi itu sementara Tia berbaring di sofa.

“Oke…” kata Loren. “Sekarang kamu kosongkan pikiran. Posisimu sudah enak belum? Kalau belum, cari posisi yang enak. Anggap aja sedang tiduran di ranjang sendiri. Santai saja. Santai… Jangan mikir apa-apa dulu. Apapun masalah Tia, lupakan saja dulu. Nikmati aja dulu posisi seperti ini, tenang, hening, damai…”

Tia mulai nyaman mendengarkan sugesti dari Loren. Dia bisa melemaskan otot-otot bahu dan punggungnya, mengendorkan ketegangan pikirannya, hanya dengan berbaring di sofa besar itu dan mendengarkan kata-kata Loren. Si psikolog duduk di sampingnya, dengan posisi menghadap dirinya. Tangan Loren menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia. Suasana damai, sofa empuk, gerakan teratur yang dipandu Loren, suara Loren yang lembut, serta wangi ruangan yang tak biasa tapi menyenangkan itu semuanya membuat Tia merasa aman. Dan mengantuk.

“Bagaimana, Tia? Sudah merasa santai? Nyaman? Rileks? Sekarang…”

Mendadak Loren menarik tangan Tia dengan gerakan menyentak.

“Tidur!”

Sontak mata Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Tia tertidur atas perintah Loren, tapi sebenarnya itu bukan tidur. Loren terus menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.

“Tia, Tia… bisa dengar kata-kataku? Kalau bisa dengar, tolong buka mata.”

Mata Tia terbuka kembali. Tatapannya kosong.

“Bagus. Sekarang dengar semua kata-kataku. Kalau ngerti, tolong kedipkan mata.”

Tia berkedip. Loren tersenyum. Tia sudah berada dalam keadaan hipnotik.

“Tia. Mulai sekarang, kalau kamu bicara denganku, kamu tidak akan ragu-ragu bercerita. Kamu ngerti? Kalau ngerti tolong bilang ‘Ya’,” kata Loren.

“Ya,” jawab Tia.

“Bagus. Kamu akan jawab semua yang kutanya tanpa kecuali, biarpun kamu selama ini malu untuk menceritakannya. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya,” Loren meneruskan sugesti.

Tanpa dapat melawan, kembali Tia menjawab ‘ya’.

“Bagus, Tia. Satu lagi. Semua saran yang akan kamu dengar dariku, akan selalu kamu ingat, bahkan kalau kamu belum setuju. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya.”

Lagi-lagi, “Ya.”

“Terima kasih Tia. Sesi terapi kita sekarang bisa dimulai dengan lancar. Sesudah ini kamu akan tidur sebentar, dan lupa kamu pernah mendengar kata-kata tadi dariku, tapi kamu tidak akan lupa apa-apa yang tadi sudah disampaikan. Begitu aku tepuk tangan sekali, kamu akan tidur lagi, lalu sesudah aku tepuk tangan dua kali, kamu akan bangun lagi seperti biasa.”

Loren bertepuk tangan satu kali. Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Lalu Loren bertepuk tangan dua kali dan Tia terbangun. Ketika terbangun Tia bingung.

“Em… tadi aku… ketiduran?” kata Tia.

“Itu tidak penting, anggap biasa saja,” kata Loren, dan berkat pengaruh sugesti barusan, kebingungan Tia langsung hilang. “Nah… Tia, silakan ceritakan masalahmu.”

Tia sudah merasa nyaman berbaring di kantor Dr. Lorencia. Dia merasa sangat percaya kepada si psikolog yang cantik itu. Dia tak lagi ragu untuk berbicara. Entah kenapa…

Mulailah Tia bercerita.

“Aku bingung, Ren… Aku ngerasa sedang berubah,” kata Tia lirih.

“Berubah? Jadi apa?” balas Loren.

“Jadi…” Tia masih sulit mengatakannya. “Jadi…”

“Jangan ragu, Tia… Kamu bisa cerita apa saja ke aku… Nggak apa-apa,” kata Loren dengan nada suara sugestif.

“Jadi…”

“Bilang aja, Tia, jangan takut…” kata Loren sambil mengusap rambut Tia seolah ibu yang menenangkan anaknya.

“Jadi perempuan nggak bener…” nada bicara Tia berubah berat seolah dia tak rela menyebut dirinya sendiri dengan istilah demikian. “Jadi seperti… pelacur.”

“Oohh,” Loren menanggapi. Suaranya bernada tertarik. “Kenapa seperti itu, ya? Coba ceritakan, Tia.”

“Ungh…” Tia ragu-ragu. Loren kembali membelai rambut Tia dan berkata perlahan, “Jangan ragu-ragu, Tia, kamu bisa percaya aku. Ceritakan…”

Sentuhan dan ucapan Loren membuat Tia makin nyaman. Tia akhirnya mulai bercerita.

“Awalnya waktu aku nemu foto-foto… perempuan lain di HP Mas Bram. Pelacur. Suamiku itu ternyata punya hobi jajan di luar. Tapi…”

“Stop,” Loren menghentikan cerita Tia. “Seperti apa foto-fotonya? Jelaskan.”

“Emm… mungkin ada 2 atau 3 cewek yang berbeda. Di foto-foto itu mereka berpose… seksi.”

“Seperti apa?”

“Ada yang seperti mau nyium kamera… ada yang pamer buah dadanya… ada yang tiduran sambil pake lingerie…”

“Ceritakan penampilan mereka,” Loren melanjutkan.

“Ya seperti biasanya perempuan nggak bener… Baju seksi, tank top, rok mini, malah ada yang difoto cuma pakai bra dan celana dalam… Ada yang rambutnya dicat pirang… Semuanya pake make-up tebal, bedak tebal, lipstik merah, blush on…”

“Oke. Sekarang teruskan cerita kamu. Sesudah kamu lihat foto-foto itu, gimana?”

“Aku ngadu ke Kak Citra,” kemudian Tia menceritakan siapa itu Citra. “Kata Kak Citra, Bram emang suka jajan dari dulu. Terus… Kak Citra ngasih saran… katanya aku suruh tiru saja penampilan mereka supaya Bram nggak usah lagi nyari ke luar.”

Sementara Tia bercerita, Loren terus memandanginya sambil membelai rambutnya dan sesekali mengeluarkan komentar pendek seperti “Hmm” atau “Terus?”

“Jadi aku coba sarannya Kak Citra. Dia dandani aku supaya jadi… seperti mereka. Terus kutemui Mas Bram…” Tia berhenti.

“Terus?” Loren mendorong Tia untuk melanjutkan. “Ayo dong cerita.”

Sepintas Tia tersenyum kecil, mukanya memerah. Tapi kemudian mukanya kembali ke ekspresi kosong semula.

“Yang jelas malam itu sih kami… bercinta… nggak seperti biasanya, emmm rasanya lebih… hebat aja dari sebelumnya,” bisik Tia lirih. “Tapi Mas Bram juga waktu itu seperti berubah… kelihatan sekali dia lebih nafsu.”

“Oke…” kata Loren, “Jadi awalnya begitu. Terus?”

“Mas Bram minta aku terus seperti itu… jadi kucoba saja terus. Awalnya risi dan nggak biasa, mesti dandan terus dan bergenit-genit, dari dulu aku nggak pernah begitu. Tapi…” Tia mencoba mengingat sesuatu, tapi yang ingin diingatnya tak kunjung muncul. “Ada satu malam, waktu itu aku dandan seksi untuk Mas Bram, dan dia pulang diantar teman-teman kantornya karena mabuk… nggak ingat apa yang terjadi sesudah itu, tapi rasanya dia semangat sekali bercinta malam itu biarpun mabuk. Nah…”

“Ayo teruskan.”

“Rasanya sesudah malam itu aku berubah… aku jadi lebih terbiasa tampil seksi, nggak lagi malu-malu… Tapi…”

“Ada apa?”

“Kadang aku seperti lepas kendali,” suara Tia kembali melemah setelah sebelumnya naik karena bersemangat. “Aku… aku nggak tahu harus cerita atau nggak… aku…”

“Ayo cerita, Tia… Kalau kamu nggak cerita, masalahmu nggak akan selesai…” bujuk Loren.

“Pernah dalam satu hari aku nggoda beberapa orang sekaligus… dan mereka orang asing… bukan Mas Bram. Tukang sayur langganan. Pengamen yang datang ke rumah.”

“Waah…” Loren berkomentar. “Apa yang kamu lakukan ke mereka?”

“Umh…” Tia ragu, mukanya memerah. “Aku… kalau ke Pak Kumis itu nggak sengaja… waktu itu aku beli terong dari dia, terus…”

“Terus?”

“Umm… aku main-main dengan terong itu… Nggak tahunya Pak Kumis masuk rumah mergoki aku… tapi aku malah jadi… jadi…”

“Kamu apain dia, Tia?”

“…kusepong dia…”

“Hmm…” Loren berkomentar tanpa kaget, tapi tetap terdengar tertarik. “Terus dengan pengamen tadi? Gimana tuh?”

“Pengamennya berdua, masih ABG… salah satunya aku kenal. Jadi kuajak masuk dan kukasih makan… tapi satunya usil, dia nyolek bokongku…”

“Terus? Kamu marah nggak?”

“Ungh… anehnya… enggak. Akhirnya malah kuladenin mereka berdua… yang satu kuisep… yang satu lagi kubiarkan gesek-gesek kemaluannya ke pantatku sampai dia keluar…”

“Oke… Tapi kamu nggak sampai berhubungan seks dengan mereka kan?”

“Iya… syukurnya…” kata Tia.

“Kenapa syukurnya?” tanya Loren.

“Soalnya waktu itu aku seperti ingat… aku istrinya Mas Bram. Aku cuma boleh setubuh sama Mas Bram…”

“Oh gitu. Ceritamu masih lanjut kan Tia?”

“…masih.”

“Tolong lanjutkan.”

“Sesudahnya… suatu hari aku ke kantor bareng Mas Bram. Aku sengaja dandan dan pakai baju biasa. Tapi… aku tetap dilihat orang. Semua orang nengok kalau aku lewat.”

“Gimana perasaan kamu, Tia, waktu diperhatikan orang kantor?”

“…kok… aku seperti senang, ya?”

“Wajar, Tia,” kata Loren. “Kamu cantik.”

“Aku… cantik?” Pujian Loren membuat Tia tersipu. Memang seperti biasanya perempuan, Tia senang dipuji, apalagi mengenai kecantikannya.

“Iya…” Loren kembali membelai rambut Tia, dan kini malah terus membelai pipi Tia. “Kamu cantik… makanya semua orang suka melihat kamu. Semua orang itu. Orang kantor. Pengamen. Tukang sayur. …Aku juga, Tia…”

Tia berdebar-debar ketika Loren berkata seperti itu. “Aku pengen cium kamu, Tia,” pinta Loren. Tanpa menunggu jawaban, Loren langsung mencium pipi Tia, tepat di ujung bibir Tia. Tia merasa geli seperti kesemutan, dan perasaan itu makin menjadi ketika Loren melanjutkan melumat bibir Tia, memainkan lidahnya dalam mulut Tia. Untuk pertama kalinya Tia merasakan ciuman mesra dengan sesama perempuan, mulut bertemu mulut. Loren melepas bibir Tia, kemudian kembali bicara.

“Kamu senang kan dikagumi orang, Tia?” kata Loren.

“…Iya…” jawab Tia. Loren tersenyum, sugestinya masuk sendiri tanpa dilawan. Dilihatnya mata Tia setengah terpejam, membayangkan nikmatnya ciuman barusan.

“Terusin ceritamu,” kata Loren.

“Sesudah dari kantor aku ketemu Kak Citra di mall… Kak Citra cantik banget… dia juga dilihatin semua orang… Malah lebih hebat lagi, orang sampai meleng karena gak bisa lepas matanya dari Kak Citra. Aku… iri.”

“Hmm… Iri? Iri karena Kak Citra lebih cantik?”

“Iri karena Kak Citra lebih menarik perhatian… tapi sesudah itu aku di-makeover, terus ganti baju juga…”

“Terus gimana? Kamu masih iri?”

“Terus… kami… Kami…” Tia seperti susah menceritakan lanjutannya. Jelas itu karena yang terjadi adalah dia dan Citra diciduk aparat, lalu digilir. Bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah, bahkan di bawah pengaruh hipnotis Loren. Jadi Loren menaikkan tingkat pengaruhnya.

“Susah ya ceritanya?” kata Loren sambil tangannya mulai hinggap di tubuh Tia. Loren mulai menyentuh dan meremas-remas payudara Tia. Tia pagi itu mengenakan kemeja merah jambu dan rok hitam selutut. Sementara tangan kanan Loren mencopot satu dua kancing kemeja Tia, tangan kiri Loren menyelinap ke dalam rok Tia. Loren kemudian menyelipkan tangan kanannya ke dalam baju Tia, dan langsung menyentuh kulit payudara Tia. Dia mencari-cari dan menemukan pentil Tia yang sudah terasa keras. Sementara tangan kiri Loren mulai meraba-raba daerah kemaluan Tia. Loren menemukan sesuatu di sana.

“Hmmm… Tia, kamu ngerasa basah nggak?” bisik Loren.

“Iya…” kata Tia jujur.

“Basah mananya, Tia?” Loren mendorong lagi.

“Basah di…” Tia berhenti, lalu berbisik, “…aku malu nyebut nya…”

“Memek kamu basah, Tia,” kata Loren tegas sambil mencubit klitoris Tia, membuat Tia memekik lirih, “Aauhh!!”

“Enak kan, Tia?” tanya Loren.

“Enak Ren…” jawab Tia.

“Tahu nggak kenapa itu enak?”

“…”

“Soalnya kamu terangsang sewaktu kamu cerita pengalaman seks kamu, Tia… Mulai sekarang, kamu bakal terangsang kalau kamu cerita… Ngerti, Tia?”

“Iya… ahhh…”

“Bagus. Kamu mau cerita semuanya kan, Tia?”

“Iya…”

“Semuanya akan kamu ceritakan, Tia. Dan kamu mau cerita apa saja, karena itu enak, kan?”

“Ya…”

“Oke… Tia… Ayo cerita apa yang terjadi sesudahnya.” Tangan Loren tetap di kemaluan Tia, membuat celana dalam Tia makin basah dengan cairan kewanitaan Tia.

“Ah… Kami pulang… tapi terus ditangkap aparat…”

“Ditangkap? Hmm. Cerita terus deh…. Eh tapi tolong ganti posisi. Duduk tegak ya. Nyender aja,” Loren membantu Tia bangun, sehingga Tia duduk bersender di sofa, dengan kedua kaki kembali menjejak lantai. Loren duduk di depan Tia, dan memegang kedua lutut Tia. Pelan-pelan Loren menggerakkan kedua lutut Tia saling menjauh, membuat pasiennya mengangkang. Tia sudah pasrah menjadi boneka Loren yang bisa diposisikan semaunya. Si psikolog cantik kemudian turun dari kursinya, lalu berlutut di depan selangkangan Tia. Dia menyibak rok Tia dan kemudian mengesampingkan celana dalam Tia yang sudah basah.

“Cerita terus, Tia… Aku dengar dari bawah sini,” kata Loren sambil mulai menggarap vagina Tia, dengan satu jilatan dari bawah ke atas sepanjang rekahan itu. Semestinya Tia bingung, karena jelas praktik psikolog normal bukan dengan menggerayangi dan bahkan melakukan seks oral dengan pasien… tapi Tia sudah keburu menganggap wajar semua yang Loren lakukan, karena sugesti tadi.

“Aku… umh ditangkap karena disangka… pelacur… Aku dan Kak Citra dibawa ke kantor… terus… uhh…”

“Emm… *lep lep* Terus apa, Tia?” kata Loren sambil terus menjilati gurihnya kemaluan Tia. Loren mulai menjamah klitoris Tia pula… menyedot dan mencium.

“Aahh… Terus Kak Citra masuk ketemu komandan mereka… aku ditinggal lama… waktu kutengok… ternyata Kak Citra lagi digarap sama mereka…”

“Gimana perasaanmu waktu melihat Kak Citra digarap, Tia?” Loren mengatakan itu semua dengan sangat tenang, nyaris tanpa perasaan.

“Aku kasihan… Kak Citra kesakitan… Dia… dia lagi disetubuhi merekaa… di… pantatnya… Pantatnya di…”

“Dientot sama mereka?” Loren membantu.

“Iya… pantat Kak Citra dientot sama mereka… Aku minta mereka stop… Kasihan Kak Citra… ahh…hhh” Tia jelas keenakan dioral oleh Loren yang rupanya ahli memberikan kenikmatan kepada sesama perempuan. “ENGG!!” Tahu-tahu saja Tia orgasme ketika vaginanya disodok lidah Loren, membanjiri mulut Loren dengan cairan cinta.

“Ti-a,” panggil Loren dengan nada naik-turun, “kok kamu orgasme sih? Kan kamu lagi kasihan sama Kak Citra? Hmm…”

“Awh… ah…” Tia tak bisa menjawab, masih kaget karena mendadak orgasme.

“Oo kamu sebenarnya suka ya ngelihatnya… sampai kamu terangsang sendiri… Terus gimana ceritanya?”

“Suka? Hh… ehh…” selagi dia mulai pulih, baru Tia bicara lagi, “Aku… tawarin buat gantiin Kak Citra… daripada Kak Citra kecapekan… biar aku yang dientot sama mereka…”

“Waktu itu kamu sampai basah seperti sekarang, kan…” sugesti Loren.

“Iya…?” Tia merasa aneh karena ceritanya diubah Loren. Tapi dia tak kuasa menolak Loren. Ditambah lagi akal sehatnya sedang kewalahan sehabis dilanda orgasme mendadak.

“Iya Tia… kamu basah karena terangsang melihat kakakmu digilir sama aparat… Lalu kamu minta gantian? Biar kamu ganti dientot sama mereka?”

“Ehm… iya?”

Loren bangkit lalu tiba-tiba menjambak sebagian rambut Tia. Namun gerakannya tetap luwes, tidak sampai membuat Tia sakit. Dan anehnya Tia tak melawan, dia seolah sudah jadi boneka yang bisa digerakkan Loren seenaknya. Loren mendorong kepala Tia ke samping sampai Tia terempas di dudukan sofa.

“Kamu nakal, Tia…” kata Loren, pelan tapi tegas. “Nakal… Kamu suka ya, keseksian badanmu dikagumi laki-laki? Kamu suka ya, kalau laki-laki terangsang gara-gara kamu goda? Kamu pengen ngentot sama siapa aja? Sama banyak orang sekaligus?” Sambil mengatakan semua itu, Loren kembali memainkan tangannya di klitoris dan vagina Tia, merangsang alat kelamin yang baru saja orgasme. “Iya kan, Tia? Ayo jawab!”

“Ah, uhh, ah… iyaahhh…” Tia mengiyakan, tanpa sadar apa yang dikatakannya.

“Terus gimana ceritanya, Tia…” Loren mengurangi intensitas godaannya, memberi kesempatan bagi Tia untuk bercerita.

“Aku… awalnya aku nggak mau… tapi terus aku kasih mereka… Mereka kusepong…” (“Apanya?” tanya Loren sambil langsung memberi jawaban, “Kontolnya?”) “Kontol… nya…” lanjut Tia, “terus aku buka baju… komandannya… ngentotin aku… badannya besar… kontolnya juga… sampai sesak ditindih dia… ah… Ren… tambah basah nih…”

Loren terus membuat Tia terangsang, membangun asosiasi antara kenikmatan dengan cerita mengenai pengalaman seksual. Si psikolog terus mendengarkan cerita Tia.

“Tapi nya enakh… ah… enak banget digenjot dia… aku sampai keluar… enak… terusnya yang lain ikutan juga… aku dientot juga… sekali dua… ahh… di pantat juga…” (sambil Loren mulai main di lubang anus Tia) “mereka muncrat di dalam… di luar… enak… ah!!!” Orgasme lagi-lagi melanda Tia.

“Hmm… terus?”

“Ahah… hh… ah… habis itu… selesai… aku diantar pulang sama mereka…”

“Ooh gitu… Terus gimana?”

“Mas Bram pulang… aku… aku… ehhh!?” Tia tiba-tiba seperti bingung. “Aku… aku bingung… aku dientot orang lain… aku… ga berani cerita sama Mas Bram…uuhhh…. Hhuuu…”

Tiba-tiba Tia menangis. Loren menyimpulkan, di situlah trauma Tia. Dia dengan tegas berbicara ke Tia, dan berhenti menggerayangi Tia.

“Hmm… jadi itu masalahnya? Kamu nggak bisa cerita sama suami bahwa kamu disetubuhi orang lain?”

“Iya…*hiks*” jawab Tia sambil terisak.

“Kenapa?”

“Aku… istri Mas Bram… seharusnya nggak boleh tidur dengan orang lain… tapi…” kata Tia di sela-sela nafasnya yang sesenggukan.

“Tenang, Tia. Berhenti menangis,” Loren kembali membelai Tia dan Tia pun terdiam. “Kamu merasa bersalah, Tia?”

“Iya…”

“Tapi kamu merasa apa waktu disetubuhi mereka, Tia?”

“Ahh,” ketika Tia mau menjawab, Loren menundukkan kepala dan mengecup lehernya. Loren juga membuka kancing kemeja Tia semua dan melepas kemeja Tia. “Enak kah?” tanya Loren.

“Iya…”

“Ya, Tia. Kamu ngerasa enak kok disetubuhi mereka. Sama aja kan dengan suami sendiri,” ujar Loren.

“Sama…? AHH!!” Jawaban Tia diganggu pagutan Loren ke bagian atas payudaranya. Selanjutnya Loren membuka BH Tia sehingga kini tubuh Tia dari pinggang ke atas sudah tak berbusana. Loren berhenti bicara dan memberi kenikmatan ke Tia dengan mulutnya di sepasang payudara Tia. Tia menggigit bibir, keenakan, kemaluannya kembali membanjir.

“Enak kan… Tia?” Loren membuka blazer dan kemeja putihnya, memperlihatkan bra seksi hitam berenda di bawah itu. Si psikolog juga membuka celana panjangnya, memperlihatkan sepasang kaki yang jenjang dan indah, serta G-string hitam. Kemudian Loren melucuti sisa pakaian Tia, rok dan celana dalam. Tia terbaring telanjang di sofa Loren, dan Loren kembali mencium bibir Tia. Lama, dalam, dan penuh nafsu. Tia terengah keenakan ketika Loren akhirnya melepaskan mulutnya, seutas liur menyambungkan mulut kedua perempuan jelita itu.

“Tunggu sebentar ya cantik…” ujar Loren mesra, lalu si psikolog beranjak ke mejanya, mengeluarkan sesuatu dari laci, dan kembali lagi. Loren memamerkan benda yang baru diambilnya kepada Tia. Tia membelalak melihatnya: sesuatu yang mirip celana dalam kulit, namun di bagian depannya terdapat dildo—mainan tiruan penis—berujung dua, yang kalau dipakai satu akan menghadap ke luar dan satu lagi ke dalam. Loren melepas celana dalamnya sendiri, lalu mengenakan celana dalam dildo itu. Tia melihat ekspresi lapar di wajah Loren ketika Loren memasukkan satu ujungnya ke dalam kemaluannya sendiri. Sungguh pemandangan yang ganjil, seorang perempuan cantik seperti Loren di hadapannya dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam, tapi dengan batangan yang mencuat gagah di depan selangkangannya. Tia menahan nafas, melihat betapa penis palsu Loren begitu panjang dan besar dan keras, tak kalah dengan semua yang pernah dirasakannya.

Kedua perempuan itu pun kembali saling cium, Loren mengajak, Tia menerima. Tia mulai terbiasa mendapat sentuhan intim dari sesama perempuan, dalam pikirannya dia merasakan kenikmatan yang sama seperti dari Bram… atau dari semua pengalamannya dengan laki-laki.

“Tia… Jangan anggap aku perempuan. Anggap saja aku laki-laki yang punya penis, yang mau bercinta denganmu, ngerti? Tapi aku bukan suamimu,” kembali sugesti datang dari Loren. Loren tersenyum nakal selagi dia mengacak-acak pikiran pasiennya yang cantik itu. Harus diakui, dia mulai tertarik dengan Tia. Dan andai saja dia bisa berbuat semaunya, dia sendiri ingin mencoba merebut Tia dari siapapun yang memilikinya. Tapi…

Loren kembali menggunakan mulutnya pada vagina Tia, mencium dan menjilat dan memastikan kewanitaan Tia cukup basah. Tia merintih keenakan, apalagi ketika Loren mengganti mulut dan lidahnya dengan satu jari, lalu dua jari. Kemudian Loren mengangkangi perut Tia, sengaja memamerkan penis palsu di selangkangannya, dengan panjang 20cm dan garis tengah hampir 3 cm… mungkin sebesar penis orang bule atau Afrika. Yang tercolok ke dalam vagina Loren sendiri tak sepanjang itu. Tia gemetar membayangkan batang itu memasuki tubuhnya… dan itu akan terjadi sebentar lagi…

Setelah memberi pelumas pada penis palsu itu Loren menempatkan ujungnya di bukaan kemaluan Tia, lalu pelan-pelan mendesak masuk. “UNNGGHH!” jerit Tia tertahan. Loren juga merintih selagi desakan dari depan membuat bagian yang tertancap dalam kemaluannya sendiri bergeser. Pelan-pelan, senti demi senti, batang itu melesak ke dalam vagina Tia. Tia melotot, matanya menganga, dilanda rasa sakit bercampur nikmat akibat penyusupan benda berukuran tak senonoh di kemaluannya. Sampai menitik air mata Tia dibuatnya. Loren tak sampai memasukkan seluruh batang itu dan mulai bergerak maju mundur, awalnya pelan, makin lama makin cepat. Loren menatap mata Tia; Tia seolah akan gila terlanda nafsu. “Enak kan, Tia?” kata Loren sambil menggenjot pasiennya.

“AAHHH!! AHKHH!! AIAAHH!!” Tia tak menjawab, hanya bisa menjerit-jerit keenakan. Tubuh Tia menggeliat-geliat hebat, tapi tak mampu ke mana-mana karena tubuh Loren tepat di atasnya; Loren membungkam mulut Tia dengan ciuman selagi Tia mengalami orgasme ketiga.

“OOHHhHhMMmMMm!M!!!”

Tapi Loren tak berhenti, dia terus menghajar vagina Tia tanpa ampun sampai-sampai Tia orgasme untuk kedua kalinya, susul-menyusul dengan orgasme sebelumnya.

Tia nyaris pingsan andai saja Loren masih mau terus melanjutkan, tapi si psikolog merasa sudah cukup dan dia menarik keluar penis palsu-nya dari dalam tubuh Tia. Tia terkapar kelelahan, keenakan setelah dua orgasme berturut-turut, pikirannya melayang ke mana-mana, rentan…

“Tadi enak kan, Tia…? Orgasme itu enak ya, Tia,” kata Loren sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Kamu suka?”

“Ah… iya… hhh…” kata Tia lemah.

“Kamu tadi dibikin orgasme, bukan oleh suamimu. Bagaimana rasanya, Tia?”

“Emm… enak…”

“Sama aja kan? Sama-sama enak?”

“Iya…”

“Bagus… Sebenarnya nggak ada bedanya kamu orgasme karena suami ataupun orang lain… enak kan? Nggak ada salahnya… nggak ada bedanya,” Loren terus memberi sugesti.

“Nggak ada bedanya…” Tia mengikuti, tanpa sadar.

“Yang penting hanya orgasme… hanya kenikmatan… Pahami itu, Tia.”

“Ya…”

“Nikmati saja semuanya… Nggak usah pikirkan suami kamu… Pikirkan saja kenikmatannya… Kenikmatan itu tidak salah…”

“Ya…”

“Bagus,” kata Loren sambil mencium kening Tia. “Sekarang… pakai lagi bajumu,” perintah Loren. Loren sendiri juga melepas celana dalam dildo-nya dan kembali mengenakan bajunya. Setelah dia selesai berpakaian, dilihatnya Tia duduk manis di sofa, sudah kembali ke penampilan semula.

“Baik, Tia… sesudah ini kamu akan tidur sejenak, dan kalau bangun lagi kamu tidak akan ingat apa yang barusan kita lakukan, tapi kamu akan ingat semua saranku dan semua kenikmatannya. Kamu tidak akan lagi ragu-ragu, tidak akan trauma lagi. Ngerti?”

“Ya…”

“Bagus. Tidur, Tia… Tidur…” Kepala Tia tertunduk, tidur, “Kuhitung mundur dari sepuluh sampai satu, kalau sudah satu kamu akan bangun.”

“Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam… Lima… Empat… Tiga… Dua…”

“Satu.”

Tia membuka mata. Dia tersenyum, merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Dilihatnya Dr. Lorencia duduk di depannya, menggenggam tangannya.

“Gimana, sudah enakan?” tanya sang psikolog dengan ramah.

“Emm… iya… Ren…” Tia memang merasa beban pikirannya sudah lenyap. Dan entah kenapa, dia merasa sangat ingin bertemu suaminya, karena kangen. “Aku nggak tau, tapi kok rasanya aku sudah tentram ya…”

“Baguslah. Masalahmu sudah selesai. Kamu sudah bisa pulang… Nanti kalau masih ada masalah, jangan segan-segan mampir lagi… oke?”

Tia mengangguk, dan dia berterimakasih kepada Dr. Lorencia. Sebenarnya dia agak penasaran apa saja yang sudah dilakukan sang psikolog, tapi entah kenapa dia tak merasa perlu bertanya. Dia sudah merasa nyaman dan memang itulah yang dicarinya. Dia kemudian membereskan urusan yang masih tersisa kemudian meninggalkan rumah Dr. Lorencia.

*****

Bram di kantor sedang menunggu Pak Jupri alias Mang Enjup yang belum juga datang. Padahal ada beberapa pekerjaan yang memerlukan atasannya itu, tapi ke mana dia?

Sambil menunggu, Bram berpikir tentang Tia. Semoga Tia bisa pulih setelah bertemu psikolog itu…

Tapi Bram terpikirkan satu hal lagi.

Malam itu, malam ketika trauma Tia dimulai… Citra ada di rumah.

Citra pasti tahu sesuatu.

Bram merasa perlu bertanya.

*****
Tia belum lama pergi. Dr. Lorencia kembali duduk di belakang mejanya sambil membayangkan indahnya tubuh Tia yang sempat dicicipinya sebentar tadi.

“He, Loren, kamu jangan bayangin macem-macem ya. Tia itu buat Mang. Kita udah ada perjanjian,” kata sesosok manusia yang tiba-tiba muncul dari belakang Dr. Lorencia. Dia datang dari balik pintu samping ruang praktik Dr. Lorencia. Seorang laki-laki tua botak berperut buncit, yang sedang ditunggu oleh bawahannya di kantor. Mang Enjup.

“Yah, si Mang, gimana ya? Ternyata dia cakep… Boleh nggak kubikin dia jadi lesbong juga?” Lorencia menimpali.

“Hus. Jangan lah. Kalau yang lain sih silakan ajah… Yang ini nggak boleh, ya? Soalnya dia orang yang spesial buat Mang.” Mang Enjup mendekat dan merangkul Dr. Lorencia dari belakang.

“Emangnya aku enggak, Mang…?” tanya Lorencia manja.

“Ooo… pasti dong, Loren kan kesayangan Mang. Kalau nggak, mana mau Mang ajarin ilmu Mang ke Loren? Kamu istimewa, Ren. Nggak banyak awewe yg Mang cobain tapi udah ada bakat buat nerusin ilmu Mang.”

“Hehehe… Bilang aja waktu itu Mang kecele’ soalnya aku ga mempan digendam… Gapapa deh, yang penting aku jadi dapat ngewarisin ilmunya Mang.” Bertahun-tahun lalu, Lorencia, seorang sarjana psikologi, melamar kerja kepada Mang Enjup. Melihat parasnya yang cantik, Mang Enjup sempat mengisengi Loren dengan ilmu gendamnya, tapi entah kenapa, hipnotis Mang Enjup kurang mempan kepada Loren. Mungkin karena Mang Enjup berusaha membuat Loren tertarik kepada dirinya, tapi ternyata Loren punya kecenderungan lesbian sehingga tak mempan. Itulah yang membuat Mang Enjup menyangka Loren istimewa, dan karena rahasianya sudah terbongkar di depan Loren, Loren pun menuntut penjelasan serta imbalan, kalau tidak dia akan membongkar rahasia Mang Enjup. Akhirnya Mang Enjup mengajarkan ilmu gendamnya kepada Loren. Keduanya jadi akrab, dan terus berhubungan; Loren tak jadi bekerja kepada Mang Enjup dan memilih meneruskan studi dan menjadi psikolog praktik, dan ilmu hipnotisnya dia gunakan untuk membantu pasien. Tapi, sebagaimana Mang Enjup, Loren pun sekali-sekali menyalahgunakan kemampuannya itu.

Ketika Bram mengeluhkan Tia, Mang Enjup langsung menyambar kesempatan dan memberitahu tentang Dr. Lorencia. Sesudahnya Mang Enjup menjelaskan apa yang sudah dia lakukan kepada Tia, dan Loren menyanggupi untuk membantu.

Loren juga menceritakan semua pengakuan Tia kepada Mang Enjup. Mang Enjup terlihat senang mendengar semua petualangan Tia, apalagi ketika dia tahu pengaruhnya telah membuat Tia jadi lebih berani dan menggoda.

“Tapi Mang,” tanya Loren, “Emang mau diapain si Tia itu? Kan Mang udah dapet nyobain dia.”

“Ada rencana Mang buat dia. Rencana gede. Kapan-kapan Mang ceritain deh. Nanti kalau udah jadi.”

*****

Sepulang kantor, Bram disambut oleh Tia. Sekali lagi penampilan Tia membuat Bram melongo… Tia malam itu tampak seksi dengan babydoll transparan, rambut tergerai, make-up tebal namun menarik… dan dia menunggu Bram dengan penampilan seperti itu di depan pintu rumah!

“Mas Brammm….” Tia menyambut suaminya dengan ciuman mesra, lalu dia langsung menarik Bram ke dalam rumah. Sebelum Bram sempat berbuat apa-apa keduanya sudah bercumbu hebat.

Tapi Bram jadi curiga…

*****
TAMAT BAB 5.

No comments:

Post a Comment