Thursday, June 3, 2010

Aku dan Tania

- Notes : Cerita ini adalah fantasi belaka, foto yang ada di cerita ini hanyalah gambaran penulis tentang sosok Tania. Jika ada yang mengenal orang di foto tersebut dan merasa keberatan, utarakan saja keberatan anda, dan saya akan menghapus foto tersebut. Thx



Aku dan Tania





Malam ini adalah malam yang paling berat. Saat ini aku menganggap kecanggihan teknologi sudah menjungkir balikkan kehidupan manusia. Dimana hal2 privasi, hal2 yang tabu untuk diketahui orang banyak, kini dengan mudah dapat diakses lewat dunia maya. dan lewat dunia maya juga, aku kehilangan kepercayaan terhadap istriku.

Aku hanya duduk sendiri, ditengah keramaian sebuah klub malam terkenal yang ada di pusat kota Jakarta, tepatnya di sebuah mall mentereng di Jakarta selatan. Aku duduk di meja bar, mencoba menghabiskan entah gelas bir keberapa yang sudah aku minum malam ini. Bukannya kepenatanku lepas, malah rasa pusing di kepala makin menambah rusak suasana hatiku. Tetapi bodohnya aku terus menghujani tubuhku dengan alkohol dan nikotin.

Aku telah menikah selama 3 tahun. Harus kuakui selama masa pacaran dengan istriku, aku bukanlah pria yang setia, tetapi setelah menikah, aku adalah suami yang setia. Kami belum memiliki anak. Dan kami pun adalah pasangan yang sama-sama bekerja. Harus kuakui di kantorku memang banyak godaan, tetapi aku bisa menahannya. Aku pun bukan maniak dunia maya, karena memang aku tak punya banyak waktu untuk menghabiskan waktu di depan computer hanya untuk bermain situs pertemanan ataupun mengakses forum2 diskusi internet. Hingga suatu hari salah seorang klienku meminta aku agar membuat akun situs pertemanan, dengan setengah memohon. Akhirnya atu membuatnya, apa salahnya toh, semua orang sekarang sudah punya, begitu pikirku.

Dan itulah awal petaka. Di situs pertemanan tersebut aku melihat halaman profil istriku penuh dengan tulisan-tulisan mesra dari seorang pria tertentu. Dan aku mengenalnya. Dia adalah lelaki yang sering disebut istriku sebagai teman akrabnya. Aku meradang. Hanya karena aku tidak pernah hadir di dunia maya maka istriku menganggap hal tersebut tidak tabu untuk diumbar di depan umum. Dan aku lebih kaget lagi ketika aku meluapkan kekesalanku kepada istriku. Jujur aku mengharapkan dia membela diri, balik membentak dan mengatakan kalau aku salah dan ini semua hanya salah paham saja. Tetapi dia malah duduk diam dan menunduk seraya meminta maaf.

Dia hanya berkata “ Iya aku emang salah… aku ngebohongin kamu..…”
Dan itu makin memancing rasa penasaranku “Apa aja yang kamu lakuin sama dia ?”

Jawaban selanjutnya sungguh tidak mengenakan, mulai dari dinner bareng, belanja bareng di mall, nonton bareng, etc2. jadi selama ini yang katanya pergi keluar bareng temen2, ada acara kantor, ada lembur, itu semua palsu. Dan ketika istriku masih bicara, memberitahukan hal2 yang tidak ingin aku tahu, maka dengan perasaan tidak karuan aku langsung menyambar kunci mobil dan meluncur tidak pasti. Kupikir aku butuh minuman keras. Maka aku pun pergi ke klub malam tersebut.

Aku masih ingat kami berdua sering menghabiskan malam disini, mengobrol di pojok, berdansa bersama, tetapi itu semua sudah hilang dimakan oleh kemarahanku. Aku tertunduk, lalu kembali menegakkan kepalaku, menenggak cairan setan yang entah kenapa malam itu tidak berhasil membuat aku melupakan kekesalanku.

Mataku memandang liar ke segala sudut ruangan remang tersebut. Dan tanpa sengaja aku bertatap muka dengan seorang wanita. Dan memang rasanya pantas jika aku tanpa sengaja tertarik untuk melihat ke arahnya. Karena diantara semua wanita disini, dia beda sendiri. Sementara wanita2 lainnya sibuk berdandan seksi dan tidak jarang rambut berwarna warni, dia hanya mengenakan t – shirt, celana jeans, jaket yang sederhana dan berambut hitam pendek. Mataku bertemu dengan matanya selama beberapa detik.

Aku mengalihkan pandanganku karena aku takut disangka jelalatan. Tapi tiba2 dia bangkit dari kursinya dan datang ke arahku. Aku berusaha membuang muka dan juga membuang rasa malu. Aku pura2 saja dalam hati kalau aku tidak pernah melihat dia.

Ternyata dia memang datang ke arahku dan duduk di sebelahku. Aku sudah curiga bahwa dia akan membentakku, ataupun memarahiku. Tetapi tidak.

“Hey ! masa lupa sih sama gw ?” dia menepuk pundakku dengan akrab
“Eh… siapa ya…” tapi aku dapat mengenali samar2 wajahnya. Senyumnya yang anggun dan tatapan matanya yang tajam hanya mengingatkanku pada satu orang.
“ini gw Tania…” senyumnya semakin melebar untuk kemudian hilang, karena digunakan untuk menenggak bir dalam gelas yang dia pegang.

Ya, Tania, aku ingat. Dia adalah teman sma ku. Bahkan bukan sekedar teman, kami pernah berpacaran selama 6 bulan menjelang lulus sma. Dan kami putus karena Tania harus melanjutkan sekolahnya di Australia. Jarak memisahkan kami pada umur 18, dan di umur 29 ini kami bertemu lagi.

“tua amat gaya pakean lo…” ledeknya sambil senyum2 kecil. Pada malam itu aku masih mengenakan pakaian kantor. Kemeja hitam bergaris biru, celana jeans warna biru gelap dan sepatu kulit. “lu sendiri kayak bocah” jawabku sambil memperhatikan rambut pendeknya. Dulu waktu sma, tampaknya rambutnya tidak pernah lebih pendek dari sebahu. Namun rambut pendeknya sekarang membuatnya terlihat segar dan tampak lebih manis.

Mulailah kami mengobrol. Dan ternyata sekarang dia memang tinggal di Jakarta (kembali lagi setelah kuliah). Kini Tania rupanya bekerja di bidang entertainment dan media. Dia bekerja untuk sebuah stasiun radio ternama di kota Jakarta sebagai produser siaran dan reporter sebuah majalah lifestyle.

“Kalo lu ga percaya, gw sekarang lagi kerja lho” kata Tania
“Emang kerja ngapain sekarang ?” balasku
“Tadi abis ngewawancarain DJ dari luar negri gitu” jawabnya “Ganteng lho” dia tertawa kecil.
“Oh, terus dilanjutin minum2 sendiri ? ga bareng dj ganteng dari luar itu ?” tanyaku menggoda.
“Gak ah… males… dianya juga langsung pulang ke hotelnya” Jawab Tania sambil bertopang dagu.

“Lu sibuk ngapain sekarang ?” Tanyanya sambil memainkan bibir gelas birnya
“Gw sibuk ngebangun rumah orang…” jawab ku
“Oh iya kamu kan dulu masuk arsitektur….”
“Engga ah.. gw cuman kuli bangunan”
“Yeah…. Kuli bangunan minum bir di bar dengan harga overpriced” Tania tertawa kecil.

Kami mengobrol dengan hangat. Topik2 pembicaraan soal keluarga sengaja tidak aku keluarkan. Aku tidak ingin mengingat masalah tersebut.

Tania malam itu kuhitung hanya meminum tiga gelas bir, dan sama sekali tidak menyentuh rokok. Berbeda denganku yang meminum entah berapa gelas bir, bahkan tak jarang diselingin beberapa sloki vodka dan tequila. Oh ya, dan tak lupa berbatang2 rokok kretek yang terus meracuni paru-paruku tanpa ampun.
“Hey… gila, tar ga bisa pulang lho kalo minum sebanyak itu…” tegur Tania.
“Ngapain pulang ?” jawabku tanpa melihat ke arahnya. Konsentrasiku tertuju pada cemilan kacang yang biasa disertakan sebagai teman minum bir.
“Lah, ga dicariin anak istri ?” tanya Tania sambil tetap tersenyum.
“Hmm..” jawabku singkat sambil sedikit mengalihkan pandangan ke tempat lain.

“Minta birnya segelas lagi ya mas” pintaku pada bartender dengan suara ogah2an, dan mata pun sudah mulai kabur, tanda aku mabuk. Waktu menunjukkan pukul 12 malam, sudah masuk ke hari Jum’at rupanya.
“Hei, besok kerja kan ?” Tania bertanya kepadaku sambil menepuk bahuku.
Aku hanya menjawabnya dengan mengangkat tangan, melihat sekilas, menghela nafas panjang, dan kemudian menunduk tidak jelas sambil masih menghisap rokok ku.

“Udah mabok ya ?” Tania meraih daguku, berusaha melihat mukaku yang sudah merah, dan pandangan matanya tidak focus. Aku hanya nyengir tipis dan tiba2 batuk2 tak henti2, sepertinya perutku terasa sangat mual.
“Mas, birnya ga usah… billnya ya….” Tania mengeluarkan dompetnya.
“Eh…gw…. Aja yang… bayyyar..” ujarku susah payah dan berusaha merogoh tanganku ke dalam saku. Tapi kemudian dompetku malah jatuh dan aku bingung mencarinya karena selain aku linglung, suasana juga gelap.

Tania malah dengan sigap membayar bill yang mungkin sangat mahal itu dan kemudian membungkuk mengambil dompetku.
“Bisa jalan ? mau dianter pulang ga ?” Tanya Tania berusaha memapahku.
“Hmm.. ga usah pulang… tinggalin aja gw….” Aku malah membenamkan kepalaku di bahu Tania. Dan Tania harus dengan susah payah meminta bantuan satpam untuk memapahku.
“Tolong ya pak… maaf ngerepotin…” Tania tampak tidak enak melihat dua orang satpam berusaha memapahku.
“Ga papa bu…. Udah biasa kok kita kayak gini” Satpam2 itu dengan sabar memapahku kea rah mobil Tania. Sebuah mobil VW new Beetle warna biru metalik. Mobil yang sudah jarang aku lihat sekarang.
“Mobil gw kan disitu…” Tanpa sadar aku malah menunjuk kea rah langit.
“Udah… kamu istirahat aja… gw anter pulang ya…” Tania mulai menyalakan mesin mobilnya. Setelah membayar parkir, menitipkan mobilku ke satpam, Tania mulai bertanya. “Rumah kamu dimana ?” tanyanya sambil menyetir pelan2.
“Hmm…. Ga tau…” Jawabku lemas dan menahan mual. “Mmmm.. Uhuk.. Uhuk” Aku mulai batuk2 tak jelas dan bergumam.

“Aduuuuuh… gimana nih….” Tania malah panik dan mobilnya berjalan tak tentu arah.
“Pinjem hape kamu dong, aku telpon nih rumah kamu” Tania masih menawarkan bantuannya. “Ga Usah…… gw ga mau pulang….” Jawabanku malah membuat Tania terdiam. dia hanya garuk2 kepala dan putar2 mobilnya tak jelas di kawasan Jakarta selatan.

----------------------- Setengah jam kemudian

“Ah udah ! Gw bawa balik aja nih ya !” Tania langsung memacu mobilnya ke arah kebayoran baru. Mobil VW beetle itu menuju kesebuah bangunan dua lantai yang agak megah. Rupanya merupakan kos2an elit. Dia memarkir mobilnya ditempat yang agak gelap.

“Hey, lu harus bisa jalan sendiri ya !” perintahnya.
“Hmm… kenapa gitu ?” tanyaku ogah2an
“Kalau gw suruh orang ngangkut lu, atau gw papah, ntar disangkanya gw cewek ga bener” ujarnya dengan muka serius.
“Diem disini, tar kalo gw muncul di pintu, lu jalan ya !”
Aku mengiyakan dengan mengacungkan jari jempol malas2an. Tania berjalan pelan2 dan membuka pintu gerbang, lalu kulihat dia membuka sebuah kamar di pojok bangunan, dan menyalakan lampunya. Lalu dia melihat ke arah mobil dan tangannya melambai2. Aku keluar dari mobil dan pura2 tidak mabuk. Aku berjalan pelan2, menyusuri gerbang, taman yang bergaya minimalis, dan dua pintu kosan lainnya. Aku mengira2 di dalam kemabukan akutku, bahwa ada 6 kamar yang cukup besar, kira2 sebesar apartemen di bangunan ini. 3 dibawah dan 3 diatas. Susah payah aku berjalan masuk ke kamarnya.

Kamarnya putih bersih, dengan konsep minimalis, ditata dengan interior tidak sembarangan dan item2 yang tampak mahal. Aku melihat macbook, tv layar datar, music centre, dan… aku pun tumbang di atas kasur putih nya yang luas itu….


Aku tiba2 terbangun. Lampu kamar Tania remang2. Aku memicingkan mata, mencari focus. Aku lalu bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Kuambil nafas panjang dan kuregangkan tanganku. Aku melihat jam digital dengan desain minimalis di pinggir meja kerja. Jam menunjukkan pukul setengah 5 pagi. Aku berjalan, berdiri mencari kamar mandi. Aku menebak2 pintu, dua kali aku salah. Pintu yang pertama kubuka rupanya adalah ruangan kecil tempat Tania menyimpan busananya, pintu kedua yang kucoba buka ternyata terkunci. Mungkin itu pintu untuk gudang. Akhirnya kutemukan pintu kamar mandi. Aku menyalakan lampunya, dan menutup pintunya dari dalam.

Aku menyalakan keran dan membasuh mukaku. Aku meraih handuk yang tergantung disana. Sekilas aku memperhatikan kamar mandinya. Kamar mandi yang cantik. Sederhana, namun berkesan mewah. Kaca bulat dengan hiasan bunga matahari imitasi, bathtub putih dan dinding batu yang indah. Tiba2 mataku terpaku pada sebuah bingkai foto.

Didalam foto itu, ada foto Tania yang sudah berambut pendek sedang menggendong anak kecil berumur 2 tahunan. Ada tanda tangannya dalam tinta merah. “LOVE, MOMMY, XOXO – Tania - 2007”. Aku kaget. Jangan2 Tania sudah berkeluarga. Jangan2 dia berani mengungsikanku ke kamar kosannya karena suami dan anaknya sedang pergi ? jujur aku panik. Ditengah kepanikanku, aku keluar dari kamar mandi, dan tanpa sengaja membanting pintu.

“BLAM !!” upss….

“Eh…. Dah bangun” Sesosok wanita tinggi semampai berambut pendek tiba2 bangkit dari sofa. Tangannya masih menggenggam selimut. Tania mengenakan tank top putih dan celana pendek biru muda. Tampaknya celana pantai melihat dari motif2 koral dan pohon kelapa yang memenuhi celana tersebut.

“Eh Sori…. Gw pulang aja deh sekarang… ngerepotin lu banget..” ujarku sambil merapihkan kemejaku yang amburadul dan kusut. “Gila lo mau balik jam segini…” Tania menjawabku sambil menguap. “Sini deh….” Tiba2 dia menggamit lenganku dan menuntunku menuju dapur. “Gw bikinin kopi ya… biar agak seger… Lu harus kerja kan hari ini ?” Tania mulai menyalakan coffe maker dan dalam beberapa saat, dua cangkir kopi tersedia untuk kami berdua.

“Rough night, eh…” Tania tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya, kami duduk di sebuah kursi bergaya bar. Dan lagi2 semuanya memiliki desain minimalis. Aku melihat lukisan pop art besar di dapur/ruang makan/dry kitchen/pantry atau apalah itu.

“Abis ini gw langsung balik ya…” Aku merasa tidak tenang, memikirkan foto Tania dan anak tadi. Ditambah lagi aku harus pulang kerumah, mengambil baju baru walaupun sebenarnya aku malas bertemu dengan istriku.
“Mau ke mana sih cepet2 amat….. santai aja, tinggal ambil baju aja kan ? mandi disini aja….” Tania menawarkan aku untuk tinggal lebih lama lagi.
“Aduh…… gw ga enak….” Aku mengaduk2 kopiku dalam cangkir
“Alah…. Ga enak sama siapa ?” Tania malah meninju pelan bahuku, sembari bertopang dagu.
“Ya….. tadi gw…” Aku bingung dan kehilangan kata2… tidak enak juga rasanya.
“Oh…” Tania lalu menyeruput kopinya. “Pasti lu liat foto yang ada di kamar mandi ya…”
“Eh… Iya…” jawabku, sambil berharap kalau itu bukan siapa2nya Tania. Setidaknya aku bisa pulang dengan keadaan lebih tenang.

“Iya itu anak gw…” Tania menjawab dengan cuek.
“ah…” Aku hanya bisa melongo.
Tampaknya Tania menangkap keheranan di wajahku “Sekarang umurnya 4 tahun…”. “Dia ga ada disini, di Australia bareng bapaknya…”

“Oh jadi….” Wah berarti suami dan anaknya sedang di Australia…
“Hey, I’m Single…” Dia tersenyum tipis kepadaku.
“Hah” Aku makin bengong.
“I’m Divorced”

Oh.. rupanya dia sudah bercerai….
“Oh….” Aku sedikit bisa bernapas lega.
“Kenapa, emang dikirain laki gw bakal balik terus mergokin ada lu disini ? Haha” Dia tertawa kecil.
“Iya kirain…” Aku balas tertawa.

“Lah lu sendiri, kemaren ngapain ikut2 sampe sini, pake mabok2 segala?” dia balik bertanya.
“Ya….” Belum sempat aku menjawba dia sudah menimpali “Ditinggal pacar ?”
“Engga kok, ditinggal istri.” Kataku sinis.
“Loh ! Lu udah married ?” Tania heran
“Lu juga sama… udah punya anak…” Jawabku pelan.

Kami berpisah di umur 18 tahun. Tahun 1998. pada masa itu tidak ada situs pertemanan. Email2an tidak lazim. Berkirim surat ke Australia ? wah susah. Jadi waktu itu, dan karena hanya baru pacaran 6 bulan, aku memutuskan Tania. Dia menangis dan tampak sangat terpukul waktu kuputuskan. Tapi aku tak sanggup menanggung beban jarak jauh pada umur segitu. Memang, Tania tidak pernah mengikuti reuni SMA kami. Bahkan tidak ada satupun temanku yang tahu keberadaannya.

“Ditinggal istri ?” Tania tampak bingung juga.
“Ya gitu deh… walau physically gw yang ninggalin… males sih..” Aku memandang lurus ke depan.
“Eh… sorry gw nanya ya tadi…” Tania meminta maaf.
“Santai….. “ Aku tersenyum saja.
“Anak ?” Tanya Tania.
“Ga ada… belum deng…” Aku menjawab pelan saja.

“So, we both have a fucked-up relationship” Tania menghabiskan kopi di cangkirnya.
“Yeah, maybe they’re not good enough for us” Jawabku

Tanpa diduga Tania tertawa terbahak2.
“You know what ?” Tania berusaha menahan tawa “My ex-husband said that I’m not good enough for him !” “Ha, That Fucking Pedhophile” Tania menyumpahi mantan suaminya sendiri.
“Hah ? Pedofil ?” aku kaget
“Ya jadi…. Asal lu tau ya, alasan dia cerai sama gw itu, karena dia ada affair sama mahasiswinya di Australia sono “ Dia kembali melanjutkan “ Mantan Laki gw orang Indonesia. gw ketemu waktu kuliah disana, dia lagi S2, mau jadi dosen katanya dan, gw nikah dari taun 2005, dan lu tau ? pas akhir 2007, saat anak gw lagi lucu2nya, tiba2 dia ada affair sama mahasiswinya, bule gitu, pirang, kacamata tebel, culun banget lah !”
Tania langsung nyerocos aja. “Dan lu tau, waktu ketauan, alasannya banyak banget ! yang gw ga ngurus dia lah, yang ga perhatian, yang ini, yang itu” “Gw heran ama tu laki satu… baru juga affair sama bule daun muda, eh gayanya dah selangit, ga inget sama anak dia…”

Aku hanya bisa meringis tertahan dan melongo mendengar Tania berbicara panjang lebar seperti itu. Caranya menghina mantan suaminya memang lucu, tapi aku tidak sanggup tertawa karena itu berarti menertawai hidupnya.

“Lu ga kerja ?” Tiba2 tania bertanya.
“Ga ah… males…” “Biarin aja” Aku menundukkan kepalaku, berusaha menghilangkan pusing sisa semalam.
“Ga dicariin ?”

“Ah paling istri gw lebih sibuk nyari laki2 laen” Aku pun angkat bicara
“Ups” Tania berusaha menarik kembali ucapannya.
“Ga sebombastis lu sih, tapi ya… dia ada affair sama temen sekantornya….” Aku bercerita kepadanya.

“Oke, jadi pagi ini di kost-an gw berkumpul dua orang yang kehidupan cintanya gagal..” Tania berkata dengan sinis, meledek hal yang terjadi pada kami berdua.
“Haha” Aku hanya tertawa kecil.

“Kalo tau gini mungkin kita dulu ga putus aja kali ya..” Tiba2 kata2 tersebut keluar dari mulutku begitu saja.
“Eh ?” Tania agak kaget.
Aku hanya terdiam beribu bahasa.
“I don’t want to remember that” Tania tersenyum kecut. “But.. What the Hell with it…” dia melanjutkan “Jadi kenapa dulu mutusin gw ? ada Cewek lain, apa lu ternyata homo ? Hah ? Hah ? “ Tania tersenyum nakal dan bermain2 dengan pisau roti seakan2 dia akan menusukku.

“Hmmm….” Aku memegang dahiku dan mengusap2nya. “Sorry” “Kalo boleh jujur gw waktu itu ga bisa ngebayangin susahnya hubungan Jakarta – Australia…”

Tania memotongku “Tapi kan bisa kirim surat ?” “Bisa kirim postcard ?” “Or maybe you came to visit me there ?” Tania tampak mengeluarkan kesalnya 11 tahun yang lalu.

“Gw ga tau… waktu itu gw masih kecil… masih takut….” Aku menjawab sejujurnya.
“What a pity ya…” Tania menimpaliku “Kalau aja waktu itu kita bisa terus, bisa bertahan, bukan ga mungkin kita nikah and spawn a lot of children” Tania memandang hamparan meja bar yang kosong.

“ Mungkin kita ga bakal fucked up kayak gini” dia melanjutkan.

Aku memandang erat2 wajahnya. Dia pun memandangku dengan matanya yang tajam. Aku sebenarnya mencintainya. Aku tidak ingin berpisah dengannya waktu itu. Tapi apa daya. Aku tak bisa, aku tak bisa membayangkan sulitnya hidup terpisah seperti itu. Pada waktu itu aku terpikir, lebih baik sakit sebentar karena putus daripada sakit berkepanjangan akibat long distance relationship.

“Asal lu tau, semester pertama gw di Aussie bener2 ancur, semua mata kuliah hampir ngulang, gw kecewa berat sama lu pada waktu itu, asal lu tau…” Dia menekankan kalimatnya.
“Gw minta maaf Tan…. Sekarang gw nyesel…” Aku menjawabnya.

“Kenapa ga bilang itu semua dari dulu ? Kita bisa cari jalan keluarnya kan ? “ Tania tampak emosi. “Dan kenapa kita mesti ketemu dengan cara yang tolol seperti tadi malem ?” nada bicaranya agak meninggi.

“Tan..” Aku bicara pelan untuk kemudian dipotong olehnya.
“Do you still love me ?” dia tiba2 bertanya.

“I Do Still, but…” Dia kembali memotong kalimatku. Tiba2 dia turun dari kursinya, dan berjalan ke arahku. Dia tiba2 melingkarkan tangannya di leherku. Dan dia memelukku erat2.

“Lu tau ga ? gw selalu pingin bisa ketemu lu lagi” Tania memelukku makin kencang. Tangan kiriku meraih pinggangnya dan tangan kananku mengelus pipinya. “Sekarang ketemu kan ?” Aku menjawabnya dan aku menutup mata serta memajukan bibirku untuk mencium Tania. “mm…” Tania membalas ciumanku. Kami memagut bibir dan lidah dalam waktu yang lama. Badannya yang tinggi semampai membuat kami tidak kesulitan berciuman sambil berdiri dan berpelukan.
Bibir kami saling beradu dengan panasnya. Aku memeluk pinggang rampingnya dengan kencang. Tangan Tania bertumpu pada meja bar. Kami terus berciuman, dan dia tidak peduli dengan mulutku yang bau rokok dan alcohol. Kaki kanannya tiba2 naik dan melingkari pinggangku. Tangan kiriku turun dari pinggangnya dan mulai membelai tubuhnya mulai dari pantat sampai ke paha.

Aku memindahkan sasaran ciumanku ke lehernya. “Uhh…” Tania mendesah pelan saat aku menciumi lehernya dengan penuh nafsu. Lucu melihat kami berdua, sebagai orang dewasa yang penuh nafsu, dimana dulu kami masih lugu, dan tidak berani mengambil resiko.

Aku tak ingin melepaskan ciumanku dari leher Tania yang indah itu. Bibirku menjelajahi lekukan2 tulang lehernya. Perlahan2 dia menurunkan kakinya. Tanganku lalu berpindah, sekarang mencoba menggenggam tangannya. Jari2 kami beradu dan saling meremas. Tania mungkin merasakan panas nafasku yang memburu di lehernya.

“Tok tok tok !!” Suara pintu kamar Tania digedor.
“Neng Nia….” Terdengar suara perempuan paruh baya.

Aku melepaskan genggaman tanganku dan bibirku dari lehernya. Aku agak deg2an. Jangan2 keberadaanku diketahui orang lain dan bisa bikin geger.

“Ada apa bu…” Tania membuka pintu kamarnya, dan tangannya mengisyaratkan agar aku duduk di ranjangnya.
“Cucian Neng Nia dah beres, saya taro saya taro di keranjang dekat mesin cuci seperti biasa…” lanjut suara itu.
“Ok… makasih ya bu… nanti Nia ambil..” Dan Tania tampak langsung buru2 menutup pintunya.

Tania lalu langsung duduk disebelahku. Di tepi ranjang. Dia memeluk kakinya.
“Siapa ?” tanyaku masih sedikit deg2an.
“Oh… itu pembantu yang suka nyuciin baju gw….” Jawab Tania sambil tetap memeluk kakinya.

Kami berdua terdiam untuk beberapa lama.
“Konyol ya” Tania tiba2 membuka pembicaraan.
“Ho oh” Jawabku seperti orang bloon. Nafsu seksualku yang tadi sudah sampai ubun2 kini sudah cair.
“Jangan kayak orang bego ah..” Tania tersenyum kearahku.
Aku merebahkan diri di kasur itu. Tiba2 Tania juga ikut berbaring dan dia memiringkan badannya ke arahku.
“Sampai dimana tadi ?” Tania tersenyum tipis. Tatapan matanya yang tajam seakan2 menusuk dadaku tepat di jantungnya. Pertanyaan tadi membuatku kembali memberanikan diri. “sampai sini” aku maju dan memposisikan Tania berada dibawah tubuhku. Tapi Tania seakan memberontak dan malah menyergapku. Dia membalikkan keadaan. Tania menduduki perutku. Tania lalu menatap wajahku erat.
“Hei… kemana aja kamu… udah 11 tahun…” tiba2 dia berkata seperti itu.
“Lucu, kalau kita harus kemana2 dan ancur dulu untuk bisa ketemu lagi” aku tersenyum menjawabnya.
“That’s life… awesome, isn’t it ?” Tania pun membaringkan tubuhnya diatas tubuhku. Aku mengelus rambut pendeknya. Dia menempelkan telinganya tepat di jantungku.
“Kok deg2an..”
“Ketemu temen lama sih…” Jawabku pendek.

Tania pun memegang tanganku. Dia merayap naik, sampai mukanya bertemu langsung di hadapanku. Dia yang memajukan kepalanya duluan, dan aku menyambut ciumannya. Bibir kami saling melumat, dan aku bisa merasakan panas nafasnya di mukaku. Aku memeluk erat pinggangnya. Sangat erat, dan kami berguling, merubah posisi. Aku diatas dan dia dibawah. Kami tetap berciuman dengan panas.

Aku kembali mengarah pada lehernya. Lehernya benar2 menarik perhatianku. Sembari kembali menciumi lehernya, Tania membalikkan badannya. Rupanya dia ingin aku menciumi bagian belakang lehernya. Rambutnya yang pendek memudahkan pergerakan bibirku. Posisiku sekarang sudah tidak berada di atas Tania lagi. Sekarang Tania berabaring membelakangiku. Aku memeluknya dari belakang dan menciumi bagian belakang lehernya.

“Ah….mmmh…..” Tania mulai bersuara.
Tanganku yang memeluk pinggangnya menyingkapkan Tank topnya, dan langsung menyentuh kulit perutnya. Badannya sangat mulus.
“I like it there…” Tania mengomentari pergerakan bibirku di belakang lehernya. Aku sedikit berimprovisasi dengan mengeksplorasi bagian belakang telinganya. Kudengar daerah itu adalah salah satu g-spot wanita.

Aku mulai menciumi bagian belakang telinga kanan Tania. Tangan kanan Tania mengarah kebelakang, berusaha membuka ikat pinggangku. Sambil susah payah menciumi telinga kanannya, aku membantunya dengan melonggarkan ikat pinggangku. Tania membalikkan badannya, menghentikan kegiatanku menciumi bagian belakang telinganya, dan mulai menimpa tubuhku. Sekali lagi aku telentang, dan dia mencoba membuka celanaku, dan menyingkapkan kemejaku keatas.

Dia mulai menciumi perutku, sambil tangannya membukakan kancing bajuku satu persatu. Karena tampaknya susah melakukannya bersamaan, maka dia hanya focus membuka kancing bajuku saja. Setelah semua kancingnya terbuka, maka dia melanjutkan ciuman2 dan permainan lidahnya ke arah perut dan putingku. Mula2 bermula dari menciumi pusarku, dan sedikit2 bibirnya merayap kea rah putingku. Disana dia melakukan permainan lidah yang luar biasa.

“Ugghh…” tak sadar aku mengerang tertahan, geli bercampur nikmat akibat perbuatannya. Aku dan Tania tidak malu2 dalam melancarkan serangan pada lawan main, karena tentu saja, kami berdua berpengalaman. Aku telah menikah, dan Tania pun telah menikah, walau pernikahan kami berdua hancur. Kami berdua orang dewasa yang sudah terbiasa dengan seks, maka kami tidak malu2 lagi.

Dengan sendirinya aku melepaskan kemeja dan baju dalamku. Aku berganti bangkit dan meraih pinggang Tania. Aku memeluknya dan mengangkatnya pelan, hanya untuk merebahkannya di atas tumpukan bantal. Aku lalu meraih ujung celana pendeknya, dan melepaskannya. Tanganku lalu menyusuri kakinya. Dari ujung kaki sampai paha. Kakinya sangat mulus dan licin. Dia memakai celana dalam berwarna hitam yang memancing gairahku.

Aku menempelkan ujung hidungku dilututnya, lalu menyusuri badannya sampai ke perut, seakan2 aku menghirup wangi tubuhnya. Pelan2 aku menyingkap tank top nya. Rupanya dia tidak memakai breast holder lagi di dalamnya. Aku terpukau melihat buah dadanya. Sungguh kencang, tak terlihat seperti seorang wanita yang pernah menyusui anak. Tania lalu membuka tank topnya, dan kemudian menyingkirkan tank topnya dari pandanganku.

Aku kembali menyusuri tubuh indah Tania. Perhentianku tertuju pada buah dadanya. Sepasang gunung kembar yang proporsional, kencang, dan indah itu mampu memukauku. Aku kemudian menciumi buah dadanya yang kiri, sementara tanganku pelan2 meremas buah dada yang satunya.

“Mmhh…. Ssshh… Ahhh…” Tania mendesah, mengikuti perlakuanku padanya. Aku mulai menciumi putingnya, lalu dilanjutkan dengan permainan lidah, dan tak jarang aku menggigit2 putingnya dengan lembut. Tubuh Tania berontak setiap aku menggigit kecil putingnya. Dia tampaknya tidak tahan, dia berinisiatif untuk membuka celana dalamnya sendiri dengan susah payah, kemudian dia membimbing tangan kananku untuk menyentuh bibir vaginanya.

She’s wet. Aku menggesek2an dengan pelan jari2ku pada bibir vagina Tania. Semua itu kulakukan dengan kepala bersandar pada buah dadanya.aku melihat ekspresi muka Tania yang menikmati setiap gerakan tanganku. Kuperhatikan tubuh Tania. Tubuh yang sangat ideal, dan rambut pendeknya seakan2 membuat pandangan di mataku tampak sempurna.

Tak tahan, aku bergegas membuka celanaku, sekaligus dengan celana dalamnya. Dan aku kembali menciumi buah dada Tania. Tapi Tania membimbingku untuk kembali menciuminya. Kami pun kembali berciuman. Pagi itu, pukul 7.00, disaat orang dewasa sedang sibuk berangkat ke kantor untuk memulai aktivitas mereka, ada dua orang dewasa lainnya yang bergumul penuh nafsu.

Rasa rindu yang ditahan bertahun2 tertumpah semua di ranjang itu. Kami berdua berciuman dan berpelukan di atas ranjang itu. Aku melingkarkan tanganku di pundaknya, sementara Tania beringsut ke atas pangkuanku. Kami berciuman dengan lembut. Dan ketika aku melepaskan bibirku dari bibirnya, terlihat senyum kecilnya dan mukanya yang bersemu merah.

Tangan Tania melingkar di leherku. Dia sedikit mengangkat pantatnya, dan badannya makin merapat ke badanku. Dia memberi tanda. Pelan2 dia mengarahkan miss V nya ke arah penisku. Tanganku yang berada di pinggangnya membimbingnya kearah yang “benar”

“Ahh.....” Tania mendesah kecil ketika penisku memasuki bibir vaginanya. Tapi tampaknya posisi ini membuatnya sulit untuk bergerak. Maka aku pelan2 merubah posisi dengan merebahkan Tania. Tania berbaring di kasurnya, kakinya melingkar di pinggangku.

Aku menggerakkan penisku dengan pelan. Tania menutup matanya, dan jari2 tangannya meremas2 ujung rambutku. Dia tampak menggigit ujung bibirnya, untuk menahan desahannya, karena dia tidak ingin ambil resiko dipergoki penghuni kos2annya yang lain.

Penisku merasakan sensasi lain. Lubang vaginanya sangat basah, tetapi rapat, membuatku teringat akan persetubuhanku dengan istriku, yang entah mengapa mengingatnya membuatku berani mengatakan kalau aku seperti tidak ingin menyentuh istriku lagi.

Tania sedikit berontak. Dia berusaha untuk berganti posisi. Dia menarik badanku dan menciumku sebentar. Lalu dia seperti menolak badanku, memaksaku untuk duduk. Tania melepas penisku untuk sejenak.

“I want to do this forever, baby...” bisik tania di telingaku. Aku hanya menelan ludah. Tania berbalik membelakangiku. Lalu dia duduk di atas pangkuanku. Aku mulai mengarahkan penisku ke lubang vaginanya. Kami melanjutkan persetubuhan. Bisa kurasakan hangatnya lubang vagina Tania. Rasa hangatnya menjalar ke atas, ke otakku. Aku memeluk erat perutnya, sementara sekarang giliran Tania yang menggerakkan tubuhnya, menyebabkan lubang vaginanya bergerak naik turun memijat batang penisku.

Kurasakan gerakan badannya semakin cepat dan tidak teratur. Tania sudah tidak bisa menahan desahannya lagi. “Ahh....ugh... mmmh....” Tania bersuara mengikuti irama gerak tubuhnya.

Tania tiba2 dengan erat menggenggam pergelangan tanganku.

“Uhh...... Aahh......Aaaaggh.......” Aku merasakan vaginanya seperti menjepit penisku. “Aah.....” Tania tiba2 terkulai lemas di pelukanku.

Dia tersenyum kecil dan melirik ke arahku. “Sorry... udah lama banget aku gak ngelakuin ini.... maaf kalo terlalu cepet...” Aku memaklumi dan segera mengangkat pelan tubuhnya.

“But i will satisfy you” Tania mendorong tubuhku sehingga aku terjatuh terlentang di kasurnya. Dia dengan ganas menciumi leherku, terus turun ke dadaku, ke perutku, sampai ke pusarku. Dia menggenggam penisku dengan tangan kanannya, dan mulai mengocoknya pelan. “Uhh...” Aku sedikit mendesah.

Tania tiba2 mencium ujung penisku, mengeluarkan lidahnya dan menjilati lembut ujung penisku. Dia lantas menciumi pelan2 batang penisku, sampai ke buah zakarku. Lalu sambil tetap menggenggam pangkal penisku, dia memasukkan penisku ke mulutnya. Pelan2 dia mengulum penisku sambil tetap mengocok penisku dengan tangannya, pelan2.

Aku menggenggam seprai kasur. Rasanya nikmat sekali... belum pernah aku merasakan oral seks seenak ini.

Tania melepaskan genggamannya, dan terus memaju mundurkan kepalanya, mengulum penisku. “Ahh...” Aku tidak tahan lagi. Penisku mengeluarkan sperma di dalam mulut Tania. Aku terkulai lemas di ranjang itu. Tania perlahan beringsut ke arahku......

BERSAMBUNG....

No comments:

Post a Comment