Friday, June 4, 2010

Film Horor Berbuah Manis


Ini kisahku, terjadi sekitar delapan tahun lalu. Sebenarnya aku malu mengisahka ini. Tapi, mungkin pengalaman ini berguna bagi pembaca sekalian.

Kisahku bermula ketika itu aku baru duduk di kelas tiga SMA. Aku tinggal di kota B. Rumahku masih terbilang cukup gelap oleh rimbunan pepohonan. Aku tinggal bersama orang tua. Tak jauh dari rumah kami, tinggal pula Tanteku, adik ibuku. Namanya, sebut saja Martha. Tanteku berusia 42 tahun, berpostur agak gemuk dengan ukuran dada sekitar 38 D... Dia seorang ibu yang baik. Punya dua anak yang masih duduk di sekolah dasar dan suami yang bekerja sebagai sekuriti sebua perumahan elit di kota M. Tanteku itu seorang guru. Setiap pagi bila hendak pergi mengajar dia melintas di rumah kami. Dan seperti hubungan persaudaraan lain, dia suka bertandang ke rumah kami, kadang bersama anak-anaknya. Kadang pula sendiri. Jujur saja, setiap kali bertandang ke rumah, aku suka mencuri-curi pandang kea rah belahan dadanya yang super besar. Akibat ulahku itu, aku suka pusing sendiri, sehingga, sekali dua kali aku mulai menghayalkannya sebagai bahan coli setiap kumandi. Aku suka membayangkan bagaimana rasanya bila menindinya dan memasukkan si ucok ini ke liang surga miliknya.

Suatu hari, sepulang mengajar, seperti biasa tante Martha bertandang ke rumahku. Kali ini dia berkisah mengenai suara-suara aneh yang terdengar dari belakang rumahnya yang masih rimbun oleh pepohonan. Pendek kata dia takut sendirian, karena kebetulan minggu itu, Omku bertugas shift malam. Tanteku tak punya teman untuk mengusir ketakutannya.

Sebagai keponakan yang baik, aku pun menawarkan diri untuk meemaninya. Tawaran itu tentu saja penuh harapan, aku bias mengintip dan lebih leluasa memandang tubuh. Mudah-mudahan apa yag kuinginkan terjadi. Merasai memek Tante Marha secara langsung adalah obsesiku terbesar ketika itu.

Mendengar tawaranku, dia senang sekali. Kemudian, dia berkali-kali memastikanku untuk tidur menginap di rumahnya. Iya, iyalah. Aku setuju sekali.

Malam itu, seusai azan isya aku berangkat ke rumah tanteku yang jaraknya hanya sekitar dua puluh meter. Kuketok pintu, dan dari dalam, Tanteku membuka pintu dengan wajah senang. Dia menyambutku dengan mengenakan baju daster berlengan pendek. Sementara kedua anaknya masih duduk di depan teve.

“Kamu berani ya Don?” Tanya tante.
“Iya, tante, tadi waktu sampai dekat pohon nangka itu, aku sengaja melangkah cepat-cepat. Soalnya agak seram, dan buluku roma berdiri,” ujarku menambah-nambahkan cerita. Lantas aku masuk dan mematikan lampu senter yang kubawa dari rumah.

Aku pun kemudian bergabung duduk di depan teve dengan kedua adik sepupuku, Tiara dan Jefri. Sementara itu Tante Martha pergi ke dapur untuk mengambil sesuatu.

“Kamu sudah makan Don?” kata tante sambil menyodorkan segelas teh di meja.
“Sudah tante,,” kataku singkat sambil terus terpaku pada layer teve.
“Film apa ini?” Tanya dia kepada kami yang tengah duduk menatap film horror yang itayangkan sebuah stasiun teve.
“Serem Mah,” ujar Jefri anaknya yang paling kecil. Begitu pula Tiara, sambil terus mencuri2 pandang pada layer teve, anak it uterus menonton. Adegan horror.
“Ayo, tidur, sudah malam. Besok kalian terlambat loh..” ujar tante kepada anak-anaknya.
“Mau tidur dengan mamah,” ujar Jefri. Begitu pula Tiara. Mereka merengek untuk dikelonin Tante Martha.
“Ya, sudah, ayoh.” Kata tante menggiring anak-anak-anaknya. “Sebentar ya Don, kurcaci-kurcaci mau tidur dulu,” ujar tante dengan wajah letih. Tinggallah aku termenenung sendirian, memandang pantat tante Martha yang besar yang perlaan menghilang di balik pintu kamarnya.

Sekitar sejam, aku menonton sendiri. Tak lama, tante keluar kamar. Dan menghampiri sofa tempatku duduk. “Kamu berani ya, nonton film horror sendiri,” ujar tante yang mengambil duduk di sampingku. “ah, eh.. iya tante,” jawabku gugup. “kan Cuma film,” kataku lagi.
“Hm, masa? Tantepunya film yang lebih horror lagi, kamu mau nonton?”
“Filmnya, gimana tante? Kalau pocong, aku nggak berani,” kataku.
“Nah, katanya berani, Cuma film,” ujar dia. Sambil menyalakan rokok. Tanteku itu perokok berat. Bahkan aku suka batuk-batuk bila menghirup asap rokok. Maklumlah, aku ini tergolong anak baik yang tak suka mencuri curi kesempatan untuk mencoba rokok di luar rumah.
“Tante ambilkan film hantu dulu yah,” ujar dia. Dan lagi-lagi aku Cuma mencuri pandag pada pantatnya yang besar dan menghilang di balik pintu kamarnya.

“Kamu sudah 17 tahun kan Don?” tanya dia.
“Oh, uhm, sudah delapan belas tahun pun tante,” ujarku. Perlahan debar di jantungku mulai terasa kencang. Kuharap dia membawakan film biru sebagai bahan contoh pengajaran seks kepadaku.
“ini, filmnya, khusus untuk yang sudah cukup umur….” Ujar dia memperlihatkan, kemudian menyalakan compact disc-nya. Wah,
“Wah, kalau film itu, aku tak berani nonton sendiri tante, ditemenin dong,” kataku.
“hehehe, katanya jagoan, lihat judul dan kovernya saja sudah takut,” kata dia.

Lantas film horo pun di putar. Agaknya kami berdua sama-sama takut menonton. Sehingga akhirnya kami pun mengalihkan perhatian pada pembicaraan sehari-hari. Lama-lama, pembicaraan kembali menjuru kepada suara-suara aneh di belakang rumah tante Martha.
“Kamu tahu Don, suara itu menakutkan itu sesekali muncul. Itulah. Mengapa tante tak berani tidur sendirian, mana, om kamu masuk malam lagi minggu ini,” ujar dia. Aku mendengarkan cerita tante Martha sambil lsesekali melirik pada film horror yang kami putar. Tak sadar aku melihat adegan intim sepasang muda-mudi di tengah hutan. Mereka bercumbu dan saling melumat bibir. Si perempuan kemudian membuka bh-nya dan terlihatlah gunung kembar dengan pentil berwarna merah muda. Aku terkejut dan berusaha mengalihkan pehatianku kembali pada tante Martha. Namun agaknya dia melihat ke arahku. Aku jadi kekhi. Melihat film horror. Untuk beberapa menit kedepan. Adegan mesum semakin sering terjadi, meski tak menunjukkan adegan seks, namun si otong tetap tegak berdiri. Dan itu membuat dudukku serba salah.

“Kamu kenapa Don? Kejepit ya?” Tanya tante Martha menggoda.
“Oh, nggak tante. Itu filmnya. Buat Doni jadi bingung. Tadi film horror kok ada adegan gituannya,” kataku sambil terus berusaha mencari posisi duduk yang nyaman. Sementara tante Martha terus tersenyum melihat kepadaku.
“Kalau sudah tak kuat, benerin aja dulu (kontolku) posisinya,” ujar dia.
“Ah, enggak kok tante,” ujarku lagi. Sambil terus menahan malu.
“Sudah taka pa-apa, itu wajar kok. Tante saja suka merinding bila melihat adegan yang itu,” ujar tante Martha kembali menggodaku. Nyaliku semakin ciut. Kembang kempis tak beraturan. Keringat mulai timbul dari pori-pori dahiku. “iya, eh, enggak tante,” kataku semakin bingung.
“Apanya yang iya?”
“Ini tante, mohon ijin, untuk ke belakang,” kataku, sambil bersiap beranjak dari dudukku. Sementara adegan di film semakin liar.
“Sudah, di sini aja membenerinnya,” kata tante sambil menggamit tanganku dan memaksaku untuk tetap duduk di sofa. Aku pun tak jadi beranjak. Namun posisi dudukku semakin salah. Si otong semakin mengembang.
“Sini, Tante, benerin,” ujar dia. Serrrrr… jantungku dagdigdug mau copot. Pasrah, bingung bercamur senang beraduk menjadi satu.

Kemudian, tante membuka rietsleting celanaku.
“Wah… sudah besar, ya kamu Don. Sudah berbulu…” kata dia ketika membuka celana dan menemukan si otong yang sudah merekah siap tempur.
Tangan tante yang besar kemudian terasa lembut menyentuh kulit kontolku. Di tariknya sedikit dan digesernya dengan cuek sambil matanya terus mengocok kontolku.
“Kamusudah punya pacar Don?” Tanya dia sambil terus mengocok kontolku. Sementara matanya terus terpaku pada adegan film horror.

“Beb, belum tante…” kataku…
“Pantes. Jadi benar kamu belum pernah menyentuh cewek?”
“I.. iya, tante. Sumpah,” kataku.. sambil menelan ludah dan menahan nikmat dari gerakan tangan Tante Martha yang lembut megocok kontolku.
“Kalo punya pacar, kamu maunya yang bagaimana?” kata dia terus memainkan kontolku. Aku mengerjap-erjap. Tak kuat menahan kocokan tanteku.
“Yang… ah…” tiba-tiba maniku muncrat, tak kuasa terbendung.
“Oh… muncrat..” kata tante sambil terus menggoyangkan tangannya. Sekitar lima menit tangannya terus menggoyang sementara aku terkulai pasrah keenakan. Ttanteku kemudian berhenti, kemudian pergi ke kamar mandi. Tinggallah aku yang masih percaya tak percaya mendapat servis dari tante Martha. Sambil terus membersihkan maniku yang bererakan di atas perit dan bajuku, aku berniat pulang dan tak berani melajutkan tidur di rumahnya.

Tiba-tiba tante muncul. Seperti tak ada kejadian apa-apa. “Anggap aja, tadi itu hadiah tante, karena kamu menemani tante. Nanti kamu tidurnya di kamar Jefri saja ya. Jangan lupa cd nya dimatikan. Tante mau tidur”. Ujar dia. Aku mengagguk seperti kerbau yang dicocok hidungnya. “I.. iya tante..” kataku.

Film itu tak tuntas kutonton. Setelah cd dan tv kumatikan aku beranjak ke kamar Jefri. Kepalaku semakin penat. Inajinasiku dan khayalku semakin kuat. Kkocokan tante terus teringat, bahkan setelah aku membaringkan tubuh di ranjang. Ku keluarkan kontolku dan mulai mengocoknya sambil membayangkan wajah tante Martha. Lagi asik memainkan si otong, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Dari luar muncul tante Martha, masih dengan dasternya. Cepat-cepat kumasukkan kontolku ke dalam celana dan mencoba duduk.
“Wah… kamu kenapa Don? Tidak bisa tidur ya?”
“Eh, nggak tante.. kataku duduk. Tante Martha kemudian duduk di atas ranjang kami. Tetekknya yang besar terlihat bergoyang. Tampaknya dia sudah tak lagi meggunakan beha.
“Tuh, tadi tante liha kamu sedang onani.,” kata dia cuek sambil terus memandang ke arahku.
“Kalau onani jangan buang sembarangan ya. Nanti bau. Sini, tante kocokkan lagi, ujar dia sambil merenggut celanaku… blesss. Celanaku melorot dengan mudah. Dengan lembut tante Martha meraih kontolku dan kembali mengocok.
“Tante kesepian, Don. Om kamu belakangan ini jarangan membelai tante. Tante sadar. Tante sudah tak cantik lagi,” ujar tanteku. Aku ingat dulu ketika baru melahirkan Tiara, body tanteku sedap sekali dipandang mata. Pahanya sintal, pinggulnya padat dan ukuran dadanya pasti membuat semua lelaki yang menatap ini tenggelam diantara belahannya. Oh… tanteku.
“kamu mau nggak, kita main, pacar-pacaran?” Tanya tante.
“ma, maksudnya, gimana?”
“Kamu jadi pacar tante, tante jadi pacar kamu…”
“Ta.. tapi… “
“Sudah,…” kata dia, sambil membuka dasternya. Pucuk dicinta ulam tiba. Antara berkhayal dan kenyataan, kulihat sepasang gunung kembar menantang kepadaku. Lalu tante melorotkan dasternya hingga tinggal celana dalam cream yang dikenakannya.
“Sini..” ujar dia sambil rebah di sampingku dan menarik tanganku.
Aku nurut saja, ketika dia menyodorkan teteknya ke arahku. “Hisap,” kata dia. Hilang akal sehatku, kuturi perintahnya. Awalnya takut-takut aku mulai menghisap pentil tetek tante. Namun lama-lama, aku mulai terangsan dan mulai kasar. Seperti anak sapi yang nyusu, aku mulai menanduk tetek tanteku. Dia pun hanya menahan rintinya. Kemudian, secara naluri aku mulai menyosor mulutnya. Tanteku pasrah saja. Sambil terus memasukkan jarinya ke dalam celana dalam creamnya, tanteku terus membalas setiap lumatan bibirku.

“Sebentar,” tiba-tiba tante bangkit. “pintu belum dikunci,” ujar dia. Aku bangkit dan duduk. Kupersilakan dia bangkit dan berdiri mengunci pintu.

“Buka celananya Don, ujar dia. Aku kembali mengikuti permintaanya. Kemudian dia berbaring telungku di sampingku. “Kamu gesek saja ya. Celana tante jangan dibuka. Ujar dia. Aku pun naik ke atas tubuhnya dan mulai menggesek-gesekkan batang kontolku di pantatnya.
“Goyang Don,” perinta dia. Aku pun mempercepat gesekan kontolku di pantatnya yang tertutup celana dalam. Sementara dia terus mengerang sambil meremas sprei.
Sekitar sepuluh menit menggesekkan kontolku,… “tante, aku mau keluar….”
Kataku..

“Tahan, jangan dibuang di situ,” kata dia sambil membalikkan tubuh, sehingga teteknya yang besar bisa kembali kulihat. Lantas dia duduk menghadap kontolku. Diremasnya kontolku di ciumnya dan dilumatnya. Dengan cepat tangannya mulai mengcocok batang kontolku. dan taka ma… cruttt.. cruttt…. Maniku berhamburan, tumpah dimulutnya, namun kurasakan sensai sedotan tante. Dia menelan habis sperma yang keluar dari lubang kontolku…

“Ah….” Kuremas rambus tante tak lama kucabut dan terkapar lelah.
“Tante membersihkan sisa maniku yang menempel di bibirnya.
“Sekarang tante percaya kalau kamu belum pernah menyentuh perempuan. Mani kamu manis Don,” ujar dia sambil tersenyum sementara aku sudah pasrah, lelah karena mengesekkan batang kontol di pantatnya.

No comments:

Post a Comment