Friday, June 4, 2010

Kisah Istana Birahi 2

AKU masih ingat benar, semuanya dimulai sejak aku masih kecil, baru kelas 2 SMP. Memang aku malu pada diriku sendiri, karena sejak kelas 6 SD aku sering mengkhayalkan tubuh perempuan. Katakanlah aku matang sebelum waktunya. Tapi aku ini anak tunggal, hidup bersama ibu tiri pula. Sehingga sosok perempuan jadi sesuatu yang misterius bagiku. Maklum, sejak kecil sekali aku bernasib seperti ini. Dibesarkan oleh seorang ibu tiri. Memang ibu tiriku baik hati. Tak pernah memukulku, bahkan menyentil telinga pun tidak pernah. Tapi biar bagaimana pun aku tetap kehilangan kasih sayang seorang ibu. Karena sebaik-baiknya seorang ibu tiri, tetap tidak sama dengan ibu kandung. Misalnya saja, aku sering iri melihat temanku dipeluk dan dipangku-pangku oleh ibunya, sementara aku tidak pernah menerima perlakuan seperti itu dari ibu kandungku.
Sejak usia 5 tahun aku tidur sendirian, bukan dalam pelukan ibu kandung seperti teman-temanku. Tapi aku tak pernah memprotes keadaan ini. Yah, namanya juga anak kecil, diharuskan seperti ini oleh ayahku, ya patuh-patuh saja.
Mungkin itu semua yang membuatku jadi matang sebelum waktunya. Ditambah lagi dengan pergaulanku saat itu, yang membawa akibat buruk pada kejiwaanku. Teman-teman di lingkungan rumah ayahku rata-rata sudah pada gede. Waktu aku berumur 13 tahun, teman-temanku sudah pada bujang, umurnya rata-rata di atas 17 tahun. Dari merekalah aku mendapat arahan yang menyesatkan. Celakanya aku senang nguping. Obrolan mereka kuanggap istimewa saat itu. Obrolan tentang perempuan dan seluk beluk nikmatnya tubuh perempuan. Kadang-kadang aku suka diusir oleh teman-teman yang sudah pada gede itu, “Sana ah, kamu masih kecil, jangan dengerin orang gede ngobrol.” Tapi aku cukup bandel. Aku cuma tersenyum-senyum dan tetap ikut mendengarkan obrolan mereka yang kuanggap cukup mengasyikkan.
Mungkin dari situlah awalnya, yang membuatku sering melamun-lamun sendiri, membayangkan nikmatnya tubuh perempuan.
Di antara teman yang sudah gede-gede itu, ada yang “baik hati” dengan menjelaskan tentang seluk beluk perempuan. Dia bilang bahwa memek perempuan itu enak, berlendir dan hangat, bikin pria merem-melek waktu menyetubuhinya. Aku senang dengan keterangan itu. Tapi di ujung obrolan itu dia membisiki telingaku, “Lu entot aja babumu. Dia kan janda. Bentuknya juga tidak mengecewakan, Boy.”
“Gila!” seruku tertahan dalam kejengkelan, “Masa ngentot babu?”
“Apa salahnya? Yang penting ada memeknya, tolol! Lagian kalau ngentot pelacur bisa kena penyakit kotor. Ngentot babu jauh lebih aman…”
“…Nggak ah,” potongku kesal, “Ngentot babu sih gak mau!”
Tapi, tahukah dia bahwa aku diam-diam jadi memikirkan saran gilanya itu? Bukankah di rumahku ada pembantu yang masih muda dan lumayan manis wajahnya?
Tiada seorang pun tahu, bahwa sejak obrolan gila itu aku mulai memperhatikan Mbak Ning secara diam-diam. Bahkan aku mulai membayangkan seandainya aku bisa mendekapnya, menciuminya dan menyetubuhinya…bagaimana rasanya ya? Tapi apakah aku tidak menjatuhkan derajatku sendiri sebagai anak majikan Mbak Ning? Bukankah dia selalu memanggilku dengan sebutan “Den” sebagai tanda penghormatannya padaku? Tapi bukankah dia itu perempuan, masih sangat muda pula? Bukankah aku ingin merasakan nikmatnya memek perempuan yang kata orang laksana liang surgawi?
Pergulatan batin ini berlangsung lama. Aku sering menepiskan pikiran yang mengganggu itu dengan mencurahkan perhatian ke pelajaran di sekolahku. Dalam hal yang satu ini aku boleh berbangga, karena aku selalu menempati ranking 1 di kelasku. Ya, aku bukan anak bodoh. Tapi dalam soal perempuan, aku bodoh sekali. Dan ingin jadi pandai!
Tibalah pada suatu masa, yaitu pada waktu aku sudah kelas 2 SMP, ayah dan ibu tiriku pergi ke luar kota, ke kampung ibu tiriku. Berarti di rumah hanya ada aku dan Mbak Ning.
Kesempatan ini sudah kutunggu lama sekali. Lebih dari setahun. Bayangkan. Maka begitu orang tuaku berangkat, yang katanya seminggu akan berada di kampung ibu tiriku, aku pun mulai memutar-mutar otak. Bagaimana caranya supaya Mbak Ning mau kusetubuhi. Sedangkan aku belum pernah merasa bersetubuh.
Sorenya, pada waktu mandi sore aku berpikir terus di kamar mandi. Setelah selesai mandi, kulihat Mbak Ning sedang menyetrika di dekat dapur.
Entah dari mana datangnya keberanian ini. Aku menghampiri Mbak Ning dengan kebulatan tekad, apa yang mau terjadi terjadilah.
“Mbak Ning,” tegurku di dekat pembantuku yang sedang menyetrika kain seprai.
“Iya Den,” Mbak Ning menoleh dengan sikap ramah.
“Aku mau tanya…tapi janji dulu…jangan bilang-bilang sama papa dan mama ya,” kataku sambil mencoba menenangkan diri.
“Mau nanya apa Den?” Mbak Ning merebahkan setrikaan dan memandangku dengan sungguh-sungguh.
“Janji dulu, Mbak gak bilang-bilang sama papa dan mama.”
“Iya, iya den, mbak janji…mau nanya apa?”
.”Anu Mbak…mmm…anu….” aku mulai grogi.
“Lho kenapa Den? Kok kayak yang bingung gitu?”
“Iya Mbak, aku bingung nih…anu…mmm…bersetubuh itu bener enak, Mbak?”
Mbak Ning melotot. Lalu ketawa kecil, “Hihihihi…Den Toni masih kecil kok nanya yang begituan? Emang kenapa Den?”
“Ihhh…ditanya malah balik nanya. Gimana Mbak ini. Enak apa nggak Mbak?”
“Kenapa sih Den, masih kecil kok nanya yang begituan?”
“Enak apa nggak?” tanyaku dengan nada merajuk.
“Ya…tentu saja enak Den. Tapi Den Toni kan masih kecil. Hal yang seperti itu hanya biasa dilakukan oleh orang dewasa.”
“Emang anak berumur tigabelas tahun belum boleh bersetubuh Mbak?”
Mbak Ning tampak kebingungan. Lalu menjawab lirih, “Sebenarnya Den Toni mau gimana? Jelasin dong.”
“Pengen nyobain Mbak…” kataku sambil menyergap pinggangnya ke dalam pelukanku.
“Den Toni…mbak kan lagi nyetrika, nanti pada hangus….”
“Mbak Ning mau kan ngajarin aku?”
Mbak Ning terdiam, seperti berpikir keras.
“Mbak Ning kan baik hati…mau ya Mbak?!”
“Ya sudah, mbak selesaikan dulu nyetrikanya, tinggal dua lagi. Terus mbak mau mandi dulu. Tunggu aja di kamar Den Toni. Nanti mbak ke sana.”
“Hihihi…Mbak Ning bener-bener baik hati….jangan bohong ya Mbak…”
“Iya Den. Mbak mau selesaikan dulu nyetrikanya. Nanti setelah mandi mbak ke kamar Den Toni.”
Batinku bersorak, seolah telah mencapai suatu kemenangan. Sambil melompat-lompat kecil aku menuju kamarku. Dengan benak penuh tanda tanya, apa yang akan terjadi nanti?
Menunggu Mbak Ning selesai nyetrika dan mandi, rasanya seperti lama sekali.
Lalu muncullah Mbak Ning di ambang pintu kamarku. Dengan senyum manis di bibirnya. Masuk ke dalam kamar, lalu menutupkan kembali pintunya.
Aku mulai degdegan. Lalu menarik pergelangan tangan Mbak Ning yang berdaster batik agak lusuh, maklum cuma pakaian seorang pembantu. Tap[i aku harus mengakui, meski hanya seorang pembantu, Mbak Ning itu manis dan tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi montok. Kulitnya juga bersih, tidak seperti pembantu-pembantu yang lain.
“Den Toni beneran mau gituan?” tanya Mbak Ning sambil duduk canggung di pinggiran bedku.
“Iya Mbak,” sahutku penuh semangat, “tapi ajarin ya. Aku belum tau sama sekali.”
“Coba lihat tititnya…seperti apa?” kata Mbak Ning sambil memegang bagian kemaluanku yang masih tertutup celana panjang, “Hmmm…udah keras Den. Ih…kok gede sekali Den? Buka ya celananya.”
Aku mengiyakan saja.
Aku jadi salah tingkah ketika Mbak Ning menarik ritsleting celana pendekku (saat itu aku bahkan belum pernah mengenakan celana panjang, maklum masih di SMP).
Mbak Ning tampak terkejut setelah menyembulkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini. “Den Toni…masih kecil tapi tititnya sudah segede ini?! Hmm…sudah keras lagi. Eh, iya…almarhum ibu kandung Den Toni katanya orang Arab ya? ”
“Iya. Emang kenapa Mbak? Kalau gede gak bagus?” tanyaku lugu.
“Ih, malah seneng nanti istri Den Toni. Hmm…sdh keras gini lagi…” Mbak NNing mengelus dan meremas batang kemaluanku dengan lembut, membuatku menggeliat dalam perasaan geli-geli enak.
“Masa sih?”
Mbak Ning tidak menjawab. Malah menanggalkan daster batiknya, sehingga tinggal mengenakan celana dalam dan beha saja. Oh, ini pemandangan yang luar biasa bagiku. Apalagi setelah ia menanggalkan behanya, sehingga tetek montoknya itu tampak jelas di mataku.
“Hehehe…sudah lama aku pengen megang ini,” kataku sambil meremas-remas buah dada Mbak Ning dengan tangan gemetaran.
“Pelan-pelan Den remasnya,” kata Mbak Ning sambil menyontek hidungku. Lalu memelukku sambil berkata setangah berbisik, “Ih…saya juga jadi nafsu Den…sudah lama saya tidak merasakan enaknya kemaluan laki-laki…”
Saat itu aku belum mengerti apa yang dimaksudkan nafsu. Pikirku nafsu itu hanya pada waktu marah atau makan. Yang jelas aku mulai asyik meremas-remas buah dada Mbak Ning. Sementara Mbak Ning juga tampak asyik meremas-remas batang kemaluanku.
Yang membuatku makin senang adalah waktu Mbak Ning menanggalkan celana dalamnya, lalu tampak kemaluannya yang berbulu lebat sekali. Padahal saat itu kemaluanku belum berjembut. Maklum baru kelas 2 SMP.
“Den Toni mau ini kan?” kata Mbak Ning dengan tatapan genit, sambil mengasungkan kemaluannya ke dekat wajahku. Oh, ini benar-benar pemandangan yang luar biasa bagiku! Aku melotot…memperhatikan bentuk memek Mbak Ning yang berbulu sangat lebat itu dengan pandangan hampir tak berkedip.
Tapi pada saat itu aku belum punya pengalaman sama sekali. Aku belum tahu apa yang disebut pemanasan. Yang aku tahu, begitu sama-sama telanjang bulat harus langsung memasukkan batang kemaluanku ke memek Mbak Ning. Itu pun baru kuketahui dari nguping pembicaraan teman-teman yang sudah gede.
Rasa dikasih hati, aku mencoba menyentuh bagian yang paling merangsang di bawah perut Mbak Ning itu. Tapi kenapa napasku jadi tersengal-sengal gini ya?
“A…aku sudah gak kuat Mbak….kok aku jadi susah napas gini Mbak?”
Mbak Ning malah tersenyum genit sambil mencolek daguku, “Itu namanya napsu Den. Ayolah mulai saja, biar Den Toni gak tersiksa gitu.”
Mbak Ning lalu merebahkan diri, terlentang di atas tempat tidurku , sambil merenggangkan kedua pahanya. Beberapa saat ia memberikan petunjuk tentang caranya bersetubuh. Aku cuma mengangguk-angguk seperti anak bodoh, sambil merayap ke atas tubuhnya.
Terasa Mbak Ning memegang batang kemaluanku, lalu dicolek-colekkan ke memeknya yang terasa hangat dan berlendir. Ih, aku semakin sulit bernapas!
Lalu terasa moncong zakarku menyentuh daging yang lunak sekali, basah dan hangat. Lalu terdengar Mbak Ning berbisik, “Silahkan dorong Den…”
Kuturuti saja apa yang Mbak Ning suruh. Kudorong batang kemaluanku sampai akhirnya terasa masuk ke dalam jepitan liang memek yang…ah…ini membuatku makin bersemangat!
“Iya Den…sudah masuk sedikit…dorong terus Den….oooh….punya Den Toni gede begini ya….enak sekali….”
Aku mendorong terus, sampai batang kemaluanku masuk cukup dalam. Kemudian Mbak Ning mengajariku agar batang kemaluanku digerak-gerakkan seperti pompa, maju-mundur-maju-mundur-maju-mundur dst.
Dan aku mulai merasakan geli-geli enak…geli-geli yang membuatku berdengus-dengus seperti kerbau disembelih….dan mengoceh tak terkendali: “Ooh…Mbak Ning…oooh….enak sekali Mbak….oooh….”
Saat itu aku masih benar-benar bodoh. Pada waktu sedang mengentot Mbak Ning, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain menggenjot batang kemaluanku, maju mundur di dalam liang kemaluan Mbak Ning yang terasa enak sekali. Saat itu aku belum tahu bahwa aku tidak boleh membiarkan buah dada Mbak Ning nganggur. Harusnya kuremas sambil mengentot memeknya.
Ya, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain menggenjot batang kemaluanku, dorong-tarik, maju mundur di dalam jepitan liang kemaluan Mbak Ning yang terasa enak sekali ini.
Aku juga tidak tahu kenapa Mbak Ning merintih-rintih terus, “Duh…Den Toni….ini enak sekali, Den….sudah lama saya tidak merasakan yang seperti ini….oooh…terus entotin Den, jangan berhenti-berhenti…..”
Tapi aku tak mengerti, baru saja 5 menitan aku mengentot Mbak Ning, tiba-tiba saja aku merasa seperti melesat ke angkasa….lalu seperti mau jatuh lagi dengan cepatnya…disusul dengan berkedut-kedutnya batang kemaluanku, yang membuat napasku tertahan sesaat…lalu aku melenguh, “Oooh…Mbak…..”
Terasa ada cairan menyemprot-nyemprot dari batang kemaluanku, membanjiri liang memek Mbak Ning. Belakangan aku tahu bahwa itulah yang dinamakan air mani. Dan itulah pertama kalinya aku melepaskan kebujanganku! Apakah aku menyesal? Tidak. Aku malah merasa bangga karena telah merasakan enaknya ngentot seperti orang-orang dewasa suka membicarakan dan melakukannya.
Tubuhku mendadak jadi lemas, seperti tak punya tenaga lagi. Batang kemaluanku juga melemah, sampai akhirnya kucabut dari memek Mbak Ning yang tampak dibanjiri cairan kental (belakangan aku tahu bahwa itu air maniku).
Aku terkapar di samping Mbak Ning. Dengan sekujur tubuh lemas serasa dilolosi. Kulihat Mbak Ning mengelap memeknya dengan daster lusuhnya.
“Udahan Den?” Mbak Ning mengelus dadaku, terasa lembut sekali elusannya, “Biasanya kalau baru pertama kali nggak tahan lama. Nanti kalau sudah terbiasa, pasti bisa tahan lama.”
“Barusan sebentar sekali ya Mbak?” tanyaku bingung dan lugu.
“Iya. Tapi sebentar lagi juga Den Toni pasti kepengen lagi,” kata Mbak Ning sambil memegang batang kemaluanku yang sudah lemas.
Mbak Ning benar. Baru beberapa menit batang kemaluanku mulai tegang lagi dalam remasan lembut pembantu yang bertubuh montok padat itu.
“Mau lagi?” bisiknya tanpa melepaskan genggamannya di batang kemaluanku.
Aku mengangguk dan tetap terlentang, sambil membiarkan ia berjongkok dengan kaki di kanan kiri pinggulku. Aku belum mengerti apa yang akan dilakukannya. Rupanya sambil berjongkok begitu ia memasukkan batang kemaluanku ke dalam memeknya. Lalu aku teringat obrolan orang-orang yang sudah pada dewasa itu, bahwa persetubuhan bisa dilakukan dengan bermacam-macam posisi. Antara lain dengan posisi pria di bawah wanita di atas.
Lalu sambil menungging di atas tubuhku, Mbak Ning mulai mengarahkan batang kemaluanku ke memeknya yang terasa hangat. Dan…blesssss….terasa batang kemaluanku menembus liang memek Mbak Ning yang berdinding daging lembut dan berlendir licin itu. Dan Mbak Ning menggerak-gerakkan pinggulnya naik turun, sehingga batang kemaluanku seperti dipilin-pilin oleh kehangatan liang memek Mbak Ning. Aku pun terpejam-pejam saking enaknya.
Kedua tanganku pun mulai sibuk meremas-remas buah dada Mbak Ning sepuasnya.Kali ini aku mulai bisa mengatur napasku, tidak seperti yang pertama tadi.
“Duh Den…enak Den….Den….duuuh…saya sudah lama sekali nggak beginian…” Mbak Ning mengoceh terus pada saat aku pun mulai edan-eling lagi. Besotan-besotan liang memek Mbak Ning membuatku seperti diterbangkan ke langit…melayang-layang dalam arus kenikmatan yang sukar kulukiskan dengan kata-kata.
Pinggul Mbak Ning diayun terus, naik turun dan terkadang meliuk-liuk, membuat napasku sering tertahan saking enaknya.
Persetubuhan yang kedua ini berlangsung lebih lama daripada yang pertama. Aku pun mulai merasakan liku-liku nikmat yang ditimbulkan oleh gesekan antara batang kemaluanku dengan lubang memek Mbak Ning yang hangat dan licin itu.
Rupanya yang merasa nikmat dari persetubuhan ini bukan hanya aku sendiri. Mbak Ning pun berkali-kali membisiki telingaku dengan suara terengah-engah, “Aduh Den…enak sekali…gak sangka saya mau dapet yang seenak ini Den…dududuh…saya keluar lagi Den…”
Saat itu aku masih “gapsek” (gagap seksual), sehingga aku belum tahu apa yang Mbak Ning maksudkan “keluar lagi”. Belakangan aku tahu bahwa itu artinya Mbak Ning sudah mencapai orgasme lagi.
Satu saat Mbak Ning berguling ke samping sambil berkata terengah, “Duh…cape sekali Den…sekarang giliran Den Toni di atas lagi ya…”
Pergerakan tubuh Mbak Ning membuat batang kemaluanku terlepas dari lubang kemaluan Mbak Ning. Tapi Mbak Ning sudah menelentang sambil merenggangkan kedua pahanya, sehingga terlihat bagian dalam memeknya yang kemerahan itu. Aku pun tak perlu dikasih petunjuk lagi. Aku sudah mulai mengerti bahwa batang kemaluanku harus dicobloskan ke dalam memek Mbak Ning sambil menelungkup di atas tubuh wanita muda itu.
Blesss….batang kemaluanku amblas lagi ke dalam liang memek Mbak Ning yang sudah basah. Tanpa harus dibimbing lagi aku mulai mengerti, bahwa batang kemaluanku harus digerak-gerakkan maju mundur di dalam jepitan liang memek Mbak Ning. Oh, enaknya…aku mulai terpejam-pejam sambil mendekap leher Mbak Ning.
—-oooo0000oooo—-
TERAWANGAN masa laluku buyar ketika Mama sudah menghidangkan nasi goreng untukku. Mama sudah tahu benar nasi goreng seperti apa yang kusukai. Dan malam ini Mama lain dari biasanya. Ada 2 sendok dan 2 garpu di piringku. Nasi gorengnya pun lebih banyak dari biasanya.
“Mau sepiring berdua, say?” Mama mengecup pipiku. Aneh…ada getaran khusus di hatiku. Senang rasanya diperlakukan mesra seperti itu oleh ibu tiriku. Dia memang ibu tiri yang baik. Tapi malam ini dia sangat baik, jauh lebih baik lagi.
Layaknya sepasang kekasih, kami lalu makan di piring yang sama. Terkadang saling pandang dan tersenyum.
“Nanti aku tidur sama Mama ya,” kataku setelah nasi goreng dilahap habis oleh kami berdua.
“Iya,” Mama mengangguk, “Tapi kalau ayahmu sudah pulang, jangan memperlihatkan sikap yang mencurigakan ya.”
“Tentu aja dong,” sahutku sambil menyeka mulut dengan kertas tisue, “Mama juga jangan memperlihatkan sikap yang bisa membuat papa cemburu.”
Ibu tiriku tertawa kecil. Lalu katanya, “Sebenarnya ayahmu cemburuan lho.”
“Mungkin karena perbedaan usia yang terlalu jauh,” lanjut Mama, “Makanya kita harus hati-hati. Harus rapi.”
Aku cuma mengangguk perlahan. Ibu tiriku tidak tahu bahwa aku sudah 2 tahun bisa memegang rahasia, bisa menjaga sikap, sehingga tiada orang tahu apa yang sudah kulakukan bersama Mbak Ning selama 2 tahun.
Dan yang jelas, aku merasa rumah orang tuaku ini seolah telah menjadi istana birahiku…

No comments:

Post a Comment