Sunday, June 6, 2010

Kisah Tragis Lola

Sepuluh milyar, pikirku. Butuh waktu lima tahun, lima tahun tambah dua orang partner dan banyak tipu daya, tapi paling tidak itu berhasil, dan sekarang sudah waktunya kita kabur dari sini. Aku sudah memikirkan ini sejak pertama kali. Kita bertiga bakal ketemu di kantor waktu liburan, jadi tidak ada karyawan lain yang bakalan melihat kita di sini. Dan dari kantor kita ke bandara, dan bertiga langsung terbang ke pulau tempat wanita-wanita cantik kumpul di sana dan dimana pejabat pemerintah lebih bisa di beli dari pada di sini, dan tidak ada perjanjian ekstradisi. Aku melihat jam tanganku, sudah jam 6 sore, masih ada waktu lima jam lagi sebelum kita berangkat ke bandara. Aku tersenyum waktu aku melihat papan nama di mejaku yang besar: Roy Pangestu, Wakil Presiden Direktur.

Sebuah ketukan di pintu kantorku membuat diriku tersadar dari lamunanku. Aku kaget sekali. Seharusnya tidak ada seorangpun di kantor ini, Johan dan Toni mustinya masih ada di bagian akunting membersihkan bukti-bukti supaya pelarian kita ini tidak cepat ketahuan. Aku berdiri dan mendekati pintu.
"Silakan masuk."

Pintu terbuka, dan seorang gadis muda seperti yang sering ada di cover majalah-majalah masuk ke kantorku, ragu-ragu. Dia benar-benar menakjubkan, berdiri tinggi langsing di atas sepatunya yang tinggi. Sepatunya hitam berkilat dengan hak yang tinggi, menutupi telapak kakinya yang pastinya halus dan indah kalau melihat tungkainya yang terlihat sempurna ditutupi stocking hitam, dan sebuah rok ketat menutupi sebagian pahanya yang tampak mulus. Sebuah blus putih dan rompi hitam tidak bisa menutupi perutnya yang rata, pinggangnya yang ramping dan buah dadanya yang bulat mengacung dari balik blusnya. Leher gadis itu putih bersih, menunjang sebuah wajah yang benar-benar ayu dengan bibir yang sensual. Rambut gadis itu ikal hingga ke punggung, jatuh lembut di sisi kepalanya, mempercantik mata gadis itu yang bulat dan tampak makin bercahaya di bawah sinar lampu kantorku.

"Selamat sore Pak, maaf", katanya ragu-ragu",Tapi saya mencari pak Santoso. Saya sedang kerja praktek di sini dan saya mengira beliau masuk hari ini."
Aku tampilkan senyumku yang paling oke sambil membalas tatapan matanya.
"Tadi pak Santoso memang masuk kantor. Tapi beliau sudah pulang lebih awal tadi siang. Silakan duduk dulu."
Aku menunjuk ke sofa kulit coklat dan mempersilakan dia duduk.
"Mungkin saya bisa bantu Nona?".

Gadis itu bergerak mendekati sofa itu dan aku mendekati pintu lalu menutupnya, sambil terus tersenyum, pikiranku sudah penuh dengan nafsu. Aku sudah siap lari dari negeri ini, pikiranku sebelumnya cuma dipenuhi bagaimana nanti setelah enam jam, Aku akan bebas dengan duit sebanyak sepuluh milyar, tiba-tiba gadis ini masuk ke kantorku, gadis yang benar-benar hot.

Gadis itu lalu duduk di sofa, menutup kedua kakinya sambil menarik roknya yang terangkat sedikit membuatku bisa melihat pahanya. Dia lalu mengeluarkan sebuah notes dan bolpen dari kantong dalam jaketnya dan memperhatikan padaku yang duduk di sudut meja kecil yang ada di seberangnya.
"Maaf, Bapak..." matanya bertanya-tanya.
"Pangestu, nama saya Roy Pangestu." Jawabku sambil tersenyum lagi, pikiranku sudah tidak bisa kemana-mana lagi selain melihat ke bibirnya yang sensual, lidahnya yang merah muda yang terlihat menjilat bibirnya setiap kali ia akan bicara. Aku bisa merasakan dadaku berdetak keras sekali ketika aku memperhatikan dia, berdetak makin keras, sementara pikiranku makin gelap, dan aku tahu apa yang akan terjadi, Aku juga sadar aku sudah bisa menguasai nafsuku lagi, lagipula aku tidak bermaksud menahan nafsuku ini.

"Begini pak Roy, saya bekerja praktek dengan pak Santoso sebagai income audit di perusahaan ini. Saya bekerja sebagai tugas akhir di akademi saya."
"Nona dari akademi mana?" kataku, lalu menggelengkan kepalanya",Maaf, tapi saya belum tahu nama Nona."
"Nama saya Lola. Lola Amelia." Katanya sedikit ragu-ragu. Tidak percaya diri.
"Begitu, lalu umur kamu berapa Lola?".
"Eehh, 21 tahun pak. Dan saya dari Akademi di sebelah perusahaan ini Pak."

Aku tersenyum padanya. Dia benar-benar sempurna, sempurna sekali. Telapak tanganku mulai berkeringat.
"Lalu apa yang bisa saya bantu buat Lola?" Aku benar-benar suka mendengar namanya di mulutku.
"Selama saya kerja praktek di sini, saya sedikit banyak sudah mengetahui cara kerja perusahaan ini." Jari-jari Lola menyibakan rambut yang menutupi wajahnya, tingkah lakunya agak berubah, tidak lagi gugup, lebih percaya diri ketika ia berbicara.
"Yang ingin saya ketahui adalah bagaimana rencana perusahaan ini sehubungan dengan peraturan pemerintah yang baru saja dikeluarkan."

Kepalaku mulai berdenyut-denyut, tapi aku yakin di mata Lola aku tetap seorang laki-laki yang tenang dan rileks, tersenyum sedikit sambil memperhatikannya. Ini selalu terjadi setiap kali aku terangsang, seluruh tubuhku akan berdenyut-denyut, sementara pikiranku akan fokus pada satu hal, sementara hal yang lain akan ditutup sebuah kabut, tubuhku tegang siap untuk meledak. Tapi sebaliknya penampilanku akan tetap tampak tenang, rileks, tersenyum menutupi gejolak yang ada di bawahnya.

Aku sesekali menjawab pertanyaannya, tanpa terlalu memperhatian apa yang kukatakan, melihat dia menundukkan kepalanya untuk menulis kata-kataku, lalu kembali menatapku, dengan wajahnya, dengan bibirnya dan kakinya juga blusnya, blus sialan yang menutupi buah dada dan puting susu, serta perut dan pahanya yang hot! Aku sedikit gemetar ketika aku berusaha menahan diriku beberapa menit lagi.
"Nah kira-kira begitu rencana perusahaan ini", Aku menyelesaikan penjelasanku.
Lola menganggukan kepala.
"Begitu. Pak Pangestu, bapak bilang ka..".
"Maaf saya menyela sebentar", kataku. "Tapi saya ingin menanyakan sesuatu hal. Pak Santoso itu, bagaimana ya...". Aku menerawang sejenak, "beliau punya sedikit reputasi yang tidak begitu baik di sini". Lola mengangkat wajahnya dan bertanya-tanya. Aku langsung menatap tepat di matanya yang bulat, wajahku menampakkan raut yang serius setengah mati, "beliau tidak pernah mengganggu kamu kan?"

Lola telihat terkejut sekali, dan aku sama sekali tidak terkejut. Si Santoso itu umurnya hampir 60 tahun, dan kalau dia bukan gay pasti di sudah di kebiri, soalnya dia sama sekali tidak tertarik sama cewek-cewek macam Lola ini. Dan semua sekretaris benar-benar suka sama dia soalnya dia benar-benar baik sama mereka.
"Tidak." Lola menggelengkan kepalanya. "Beliau tidak pernah mengganggu saya." Lola kembali gugup seperti sedang mempertahankan diri. Aku benar-benar suka melihatnya.
"Siswi praktek yang terakhir tahun kemarin pergi dari sini karena Pak Santoso mengucapkan sesuatu padanya", lanjutku, "Dan penampilan siswi itu tidak ada setengahnya dari kamu."
Aku melihat bibir Lola kembali keluar membasahi bibirnya yang kering, melihat betapa tangannya bergerak gugup di pangkuannya. Aku membungkuk mendekati dia, aku benar-benar hampir lepas kontrol waktu dia beringsut menjauh dariku.
"Beliau sering menyombongkan diri pada saya, kamu tahu, betapa senangnya dia tidur dengan mahasiswi atau anak SMA di sebuah hotel."

Lalu kantorku kembali sunyi ketika Lola menatapku dengan matanya yang indah, seluruh tubuhnya yang seksi itu sedikit gemetar ketika ia berusaha memilih tindakan selanjutnya. Ia menunduk dan langsung berdiri, memasukan notes dan bolpen ke dalam rompinya.
"Maaf pak", katanya sambil terus menunduk, "Pak Santoso tidak pernah sekalipun mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang mengganggu saya. Terima kasih atas waktu yang sudah bapak berikan."

Aku ikutin dia berdiri, tubuhku kelihatan lebih rileks lagi, sementara pikiranku berpacu dan mataku menangkap setiap gerakan Lola yang bergerak menuju pintu denganku di sebelahnya, mulutku mengucapka maaf beribu maaf, Aku bilang bahwa aku menyesal karena sudah membuatnya kaget tapi itu kenyataannya.
"Sekarang!" pikiranku berkata memerintah seluruh badanku ketika aku merasakan pegangan pintu telah kupegang, mata Lola masih tetap menatap ke depan acuh padaku ketika ia berhenti sejenak menungguku membukakan pintu buatnya.

Lola melihat apa yang akan menimpanya, tapi ia tidak bisa menghindar, dia tidak punya waktu buat menghindar. Telapak tanganku sudah melayang menghajar muka Lola di sebelah kiri. Lola tersentak, ia menjerit, ia sempoyongan, lebih banyak karena terkejut daripada karena tamparanku. Aku bergerak mendekatinya bagaikan binatang yang menyergap mangsanya. Lola sempoyongan ke kanan dan sepatunya tertekuk ke dalam membuatnya jatuh di atas lutut kanannya, tangan kanan Lola langsung menumpu tubuhnya agar tidak jatuh tersungkur. Sambil menggeram aku mengayunkan kaki. Aku menendang tepat di perutnya, membuat tubuh Lola mengejang, suara erangan yang menyakitkan terdengar dari mulut Lola ketika ia kembali jatuh di kedua lututnya, sementara kedua tangan Lola memegangi perutnya, kepala Lola menunduk ketika dia berusaha keras menghirup udara, rambutnya yang ikal menutupi wajahnya sementara air liur yang keluar dari mulutnya membasahi bibirnya yang seksi.

Kujambak rambutnya, tanganku langsung menggenggam erat, ketika kutarik rambut Lola ke belakang mendekati tubuhku, sementara tanganku yang lain menarik bagian atas blusnya.
"Lo mungkin udah selesai sama aku, tapi aku belon selesai sama lo", kataku keras. Lola yang semakin hot di penglihatanku masih berusaha megap-megap menghirup udara ketika aku menarik blusnya robek, kancing blus itu terlempar ke lantai, membuat bagian yang sejak ditutupi blus itu sekarang terbuka. Dada yang halus, mulus dan putih bersih, buah dada Lola ternyata lebih padat dan besar dari yang sudah aku bayangkan sebelumnya, dilindungi oleh sebuah BH.

Tangan Lola terangkat ke atas mendorong tanganku menjauh ketika aku sedang meremas salah satu gunungan daging di dada Lola, langsung saja kutarik lagi rambutnya. Lola mengerang kesakitan, tatapan panik dan ketakutan tampak di matanya ketika ia menatap mataku.
"Jangan, jangan."

Aku tampar dia sekali lagi, lebih keras dari yang tadi, suara jeritannya terdengar merdu sekali di telingaku ketika kepalanya terlempar ke samping, sementara tanganku masih menjambak rambutnya yang ikal dan halus.
"Jangan brisik!" Aku tampar dia lagi, jerit kesakitan dan ketakutan Lola bagaikan musik di telingaku, "Tutup mulut lo!"

Terdengar suara di belakangku, dan ketika aku berbalik aku melihat pintu kantorku perlahan terbuka dan masuklah Johan dan Toni ke kantorku. Lola meronta di sampingku, tangannya mencakari lenganku ketika ia berusaha untuk berdiri.
"Tolong saya! Tolong!" Lola menjerit pada Johan dan Toni, harapan mereka akan menolongnya membuatnya lebih tegar. Lola berhasil setengah berdiri ketika aku berbalik menghadapi dia lagi, tinjuku mengepal dan menghantam dadanya, membuat mata Lola membelalak kesakitan dan kembali jatuh berlutut, kemudian tersungkur di atas kedua tangannya, sehingga sekarang ia seperti merangkak di tanah, seorang gadis yang seksi tersungkur di atas tangan dan kakinya, sementara Toni, Johan dan aku berpandangan satu sama lain.

Toni lebih pendek dariku, keras, tampan dan tidak bermoral sama sekali, itulah kenapa kupilih dia sebagai partnerku. Ia kelihatan seperti seorang akuntan yang baru lulus, tapi itu tidak berbeda jauh dengan profesinya yang memang seorang akuntan. Dia sudah kawin, dua anak cewek, tapi dia sama sekali tidak keberatan kalau harus meninggalkan mereka, walaupun dia pernah cerita kalau dia sering menidurin kedua anaknya itu, agak bejat juga tapi itu kan bukan anakku jadi aku tidak peduli. Johan berbeda sama sekali. Ia seperti mandor bangunan yang pake jas. Dia mungkin berotot, tapi dia juga yang paling pinter diantara kita bertiga, dan seorang akuntan yang jago pula, terutama kalau dia harus menghilangkan sejumlah uang dari perusahaan.

Kalau saja orang lain yang masuk ke kantorku pasti sudah kubereskan. Tapi sekarang aku masih menunggu, Lola tersungkur, tangan dan lututnya berusaha menghirup udara, sambil memperhatikan dua rekanku yang baru saja masuk. Johan mendekati pintu dan aku perhatikan dia. Aku tersenyum lebar ketika aku melihat dia menutup pintu dan menguncinya tanpa berkata apapun. Toni memandang Lola lalu memandangku.
"Ada apaan nih?"
"Hadiah", kataku, "Hadiah buat perpisahan kita dengan kantor ini."

Aku melihat mata mereka kembali menatap Lola, yang mulai menguasai dirinya lagi. Aku tahu apa yang mereka lihat, seorang gadis berlutut di lantai, stocking hitam yang menutupi paha yang indah, rok yang ketat yang menutupi bulatan pantat yang penuh, blus yang ia pakai terbuka dan menggantung di tubuhnya, buah dadanya bergoyang-goyang dan rambutnya yang ikal bergoyang kian kemari ketika gadis itu megap-megap menghirup udara. Tidak ada laki-laki yang benar laki-laki yang tidak mau menyicipi gadis itu saat itu juga.

Lola menatap mereka, memohon dan meratap agar mereka menolongnya.
"Saya mohon, tolong saya", ia meratap, dan aku melihat itu menyentuh Toni. Aku melihat raut muka Toni langsung berubah, Aku melihat nafsu dan sadis sudah menguasai seluruh tubuh Toni ketika ia menatap Lola di bawahnya. Lola juga melihat itu dan air mata mulai mengalir dari matanya yang indah, sedu tedengar dari mulut Lola ketika ia menatap ke arah Johan dan menemukan wajah Johan yang tanpa perasaan dengan mata yang berkilat-kilat.
"Gimana kalo lo tunjukin yang lo dapet", kata Toni sambil terus menatap Lola.

Aku menurut, dengan tangan masih di rambutnya kutarik Lola supaya berdiri, tangan Lola meremas lenganku keras-keras, tapi aku tidak peduli sambil terus menariknya supaya berdiri lagi atas sepatunya yang bertumit tinggi itu. Dan ketika dia sudah berdiri kupegang tangannya dan kulipat ke belakang, pantat Lola menyentuh selangkanganku, membuat penisku berontak ingin keluar. Aku pegang tangannya yang satu lagi dan melipatnya juga ke belakang menjadi satu dengan tangannya yang lain. Dengan tangan dipegangi olehku, kutarik tubuh Lola mendekati badanku, terus aku gosokin pantatnya ke penisku yang sudah tegang setengah mati, Lola cuma bisa meratap dan menangis dengan perlakuanku itu.

Aku jambak lagi rambut Lola dengan tanganku yang masih bebas dan menariknya ke atas, sesaat tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan semakin mepet ke badanku. Buah dada Lola yang bulat dan kencang menyembul ke depan dihalangi oleh BH-nya, air mata menggenang di mata Lola ketika ia melihat Toni mendekati dirinya. Toni menatap mata Lola, dan aku melihat Lola menjilat bibirnya dan menelan ludah berusaha tenang dipegangi oleh tanganku. Toni tersenyum dan mengulurkan tangannya mengelus pipi kiri Lola. Tubuh Lola diam tak bergerak, tapi tetap terasa hangat di badanku. Jari-jari Toni mengelus pipi Lola lalu turun meraba kulit yang halus di leher Lola yang putih bersih tak bercela. Lola akhirnya bersuara, suara lebih tenang daripada ketika aku menamparnya tadi, tapi masih terdengar nada ketakutan dan gemetar.
"Lepaskan saya. Saya tidak akan bilang ke siapapun. Tolong lepaskan saya dan saya akan tutup mulut."

Lola menelan ludah lagi, semua diam, menunggu seseorang untuk bereaksi, dan aku masih menunggu reaksi Toni yang tersenyum sambil meletakan tangannya ke bahu Lola, bahu yang gemetar panik dan ketakutan. Sebuah jerit kesakitan terdengar lagi dari bibir Lola ketika Toni mengangkat lututnya dan menghantam tepat di perut Lola membuat lutut Lola menekuk kesakitan, tanganku mengeraskan pegangannya ketika Lola meronta kesakitan sampai akhirnya dia bisa berdiri karena masih kupegangi.

Lola kembali menguasai dirinya, masih megap-megap kesakitan, kakinya kembali diluruskan, sempoyongan berusaha berdiri lagi, sementara Toni menatapnya sambil tersenyum sadis dan aku balik tersenyum pada Toni dari belakang Lola dan Johan hanya memperhatikan semuanya dari seberang, matanya mengatakan bahwa ia menikmati ini semua.

"Siapa yang suruh lo bicara?" kata Toni sambil menggerakkan kepala Lola yang lunglai ke kiri dan kanan sambil melihat ke mata Lola yang basah karena air mata.
"Namanya siapa sih?" tanya dia ke aku.
"Lola Amelia." Kataku singkat.
"Nah Lola", Toni meraba perut Lola yang rata, membuat tubuh Lola meronta berusaha menghindar, tapi Lola mengerti untuk tidak bersuara sedikitpun.
"Nah Lola, lo benar-benar cewek yang cantik. Pernah tidak ada orang yang bilang begitu sama lo?" Tangan Toni sekarang ada di punggung Lola, membuatnya semakin dekat dengan Lola.
"Jawab!" bentak Toni, sambil menarik tubuh Lola mendekat padanya membuatnya semakin jauh dari tubuhku, sementara aku masih menggosokan penisku ke pantat Lola, rasa ketakutan dan tak berdaya Lola makin membuatku bernafsu.
"yyaa..", suara yang gemetar, penuh ketakutan dan tak berdaya membuatku ingin langsung melemparnya ke lantai dan langsung menidurinya saat itu juga.
"Aku yakin udah ada yang pernah ngomong gitu kan", Toni kembali mendekat dan sekarang mulai menjilati leher Lola dengan lidahnya, tangisan Lola semakin membuat Toni bersemangat ketika ia menemukan kancing BH Lola dan mulai melepaskannya. Tangis Lola semakin keras sementara ia diam tak bergerak di antara aku dan Toni, yang menggosokkan tubuh masing-masing ke tubuh Lola.

Aku mengela nafas ketika aku merasakan tangan Toni sudah melepas kancing BH Lola, dan aku langsung melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Lola dan kutarik rompi serta blusnya dari bahu Lola, terus turun ke lengan sementara tubuh Lola dipegangi oleh Toni dari depan. Kulempar pakaian itu ke lantai dan melihat punggung Lola yang halus dan sangat menggairahkan. Tangan Lola sekarang menahan bahu Toni, dan aku bisa melihat betapa tangan itu gemetar ketakutan, Lola ketakutan untuk melawan dan menolak Toni. Aku melepaskan sepatuku dan berjalan ke samping di mana aku bisa melihat Toni dan mainan kita yang baru dengan jelas.

"Cantik, cantik sekali", bisik Toni, tangannya mengelusi punggung Lola.
"Sekarang kita melihat dada kamu." Toni kemudian menarik turun BH Lola hingga lepas dari tubuhnya sementara tubuhnya masih dalam dekapan Toni. Aku melihat mata Lola sekarang menatap kosong, dan penuh dengan air mata, ketakutan, dan putus asa. Aku turunkan celanaku dan menggosok penisku lewat celana dalamku sambil melihat Toni bermain dengan Lola, melepaskan BH itu dan membiarkannya jatuh ke lantai di antara mereka.
Tangan Toni mengusap belakang kepala Lola, dan Aku melihat tubuh Lola kembali gemetar ketika Toni melangkah ke belakang menjauhi Lola, mata Toni melahap habis buah dada Lola, dua buah bukit daging bulat mengacung dari dada Lola, bergantung lepas dan tampak besar bila dibandingkan dengan tubuh Lola yang ramping, puting susunya yang berwarna merah muda tampak mengeras karena kedinginan dan gesekan dengan pakaian Toni tadi. Toni kembali menarik tubuh Lola, dan meredam tangisan Lola ketika ia melumat bibir Lola dengan bibirnya, menarik kepala Lola hingga mendongak dan menciumi bibir Lola serta menjulurkan lidahnya dalam mulut Lola yang hangat.

Sesuatu telah membuat Lola tersadar, karena tiba-tiba ia mendorong tubuh Toni menjauh sekuat tenaga, sambil menjerit.
"Tidak! Tidak! Bajingan!" Lola mundur menjauhi Toni seperti binatang yang terluka, tangannya menutupi buah dadanya. Lola memandang ke arahku, rambutnya menutupi sebagian wajahnya, wajahnya bersimbah air mata, dan matanya, matanya yang indah itu memancarkan teror dan putus asa, ia kemudian mendekati Johan, matanya memohon dan suaranya histeris meratap pada Johan.
"Toloongg.., saya.., ahh, hentikan ini semua." Lola seharusnya sudah menyadari dari tadi. Raut muka Johan sekarang berubah, dan ia tersenyum pada Lola, dan aku kembali melihat teror kembali timbul di sekujur tubuh Lola ketika ia menyadari bahwa sekarang ia sudah terjebak dan setiap ia memandang mata setiap orang di ruangan itu yang ia lihat hanya nafsu dan kesadisan.

Ia berusaha lari keluar, menghindar dari Toni yang tidak bergerak sedikitpun untuk menghalanginya, tapi aku yang bergerak, kutabrak dia dengan bahuku hingga Lola terjengkang dan terbanting ke lantai. Dan langsung saja kita bertiga menyerbu ke arahnya. Aku ingin memperkosa dia, Aku ingin membuatnya sakit dengan penisku dan mendenger jeritnya waktu kuperkosa dia. Aku sudah seluruhnya dikuasai nafsu birahi ketika aku menarik sepatunya, kemudian merobek stocking dan roknya sementara Johan dan Toni memegangi tubuh Lola yang meronta dan mengejang, jeritan Lola berbaur dengan nafsuku menambah semangatku menelanjanginya.

"Pegangi dia",. Aku mendengar Toni berkata, dan aku langsung memegangi kakinya yang berusaha menendangku. Setelah memegangi kedua kaki Lola aku baru bisa menikmati tubuh Lola yang telah telanjang bulat dengan leluasa, tubuh yang terbaring tak berdaya antara aku dan Johan yang memegangi tangannya di atas kepala Lola. My God, dia benar-benar punya badan yang indah, buah dada Lola bergoyang kian kemari ketika Lola meronra-ronta, penuh, bulat dan kenyal, perutnya benar-benar rata dan kelihatan kuat karena aku melihat otot-otot yang mengejang ketika ia meronta. Dan gila, pahanya, pahanya putih bersih dan halus mulus, di pangkalnya kulihat rambut kemaluan halus hitam menutupi gundukan vaginanya. Aku benar-benar tidak sabar buat masuk ke gundukan itu, penisku seakan-akan akan meledak ketika aku terus memeganginya dan melihat Toni berdiri di samping tubuh Lola, dengan ikat pinggang di tangan, matanya berkilat liar dan nafasnya mendengus-dengus.

"Pukul dia Ton!", Johan berkata dan aku juga melihat pancaran birahi dan sadis dari matanya ketika ia memandang Lola.
"Jangaann!" Lola menjerit sementara matanya mendelik ketakutan ketika ia melihat ikat pinggang itu mengayun ke perutnya, suara ikat pinggang kulit yang beradu dengan perut Lola sekeras jeritan Lola yang melolong. Ia mengejang di tanganku, sambil terus kupegangi, Lola meronta kesakitan ketika Toni mengayunkan lagi ikat pinggangnya terarah ke buah dadanya, membuat gundukan itu bergoyang-goyang liar sementara Lola terus menjerit dan mulai menangis lagi.

Toni terus memecuti Lola, mengayunkan ikat pinggang kulit itu tubuh Lola yang putih bersih, ke buah dadanya, perutnya, pahanya, membuat tubuh Lola menjadi belang kemerahan sementara Lola sendiri meronta dan menjerit dan menangis dipegangi olehku dan Johan. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari tubuhnya yang terkejang-kejang, rontaannya, tubuhnya memilin, menekuk, dan menjerit-jerit. tidak ada yang lebih menggairahkanku daripada melihat gadis yang sedang menjerit-jerit kesakitan. Aku harus memperkosanya.

Kulepaskan peganganku, melepaskan celana dalamku dan bajuku sementara Lola menarik kakinya hingga menutupi dadanya, dengan tangan masih dipegangi oleh Johan. Suara yang terdengar dalam ruangan itu hanya tangisan Lola, tangisan yang benar-benar menyayat hati, yang membuat penisku makin bergoyang-goyang ingin segera memuntahkan isinya. Aku berjongkok dan menarik kaki Lola lalu membukanya, pikiranku sudah gelap ketika aku menindih tubuh Lola membuatnya Lola terhenyak di sela-sela tangisannya. Aku meraba kaki Lola yang panjang dan merasakannya bersentuhan dengan kakiku, membuat tubuhku ikut gemetar karena nafsu. Aku merasakan buah dada Lola yang ditindih oleh dadaku, perut Lola yang hangat naik turun di bawah perutku, tubuhnya sekarang hanya sebuah mesin untuk memuaskan nafsuku, untuk memuaskan birahiku.

Aku meraih penisku dan memeganginya, memandang ke arah Lola yang memalingkna wajahnya dariku, matanya terpejam erat-erat sementara di pipi dan dahinya menempel rambut yang lengket karena keringat dan air mata. Aku mengarahkan penisku ke vagina Lola, cairan yang keluar dari penisku membasahi vaginanya, membantuku membuka bibir vagina Lola sampai aku merasakan liang vaginanya tepat di depan kepala penisku. Lola mengerang dan merintih, tubuhnya kembali meronta-ronta, giginya menggeretak ketika kujambak rambutnya dan menariknya hingga mendongak sehingga aku bisa mencium bibirnya yang sensual, menikmati jeritan Lola ketika aku menghunjamkan penisku ke vaginanya yang kering kerontang, menikmati rasa sakit dan ketakutan Lola ketika aku mulai memperkosanya.

Aku masukkan lidahku ke mulut Lola yang hangat dan basah, tubuhku bagai terbakar ketika merasakan jepitan vagina Lola di batang penisku ketika kepala penisku menembus selaput daranya, kaki Lola terangkat karena kesakitan dan rintihan terdengar dari tenggorokannya. Tubuhnya mengejang berusaha melawan ketika aku mulai bergerak dengan keras di vagina Lola. Aku tarik penisku sampai tinggal kepalanya di vagina Lola sebelum kudorong lagi masuk ke dalam rahimnya. Dia benar-benar gila, sungguh gila, menggairahkan, masih meronta-ronta di bawah tubuhku, kakinya masih bisa bergerak-gerak berusaha menutup, masih terus merintih dan menangis dan tersendak dan aku merasakan betapa tersiksanya dia lewat lidahku yang ada di mulutnya.

Aku merasakan cairan di penisku yang ada di dalam vagina Lola, sebagian pasti darah perawan Lola yang keluar ketika Aaku merobek selaput daranya, sebagian lagi mungkin cairan penisku yang keluar sebelum aku benar-benar ejakulasi, tapi cairan itu membuat gerakanku makin lancar, dan penisku mulai berdenyut-denyut menyebar ke seluruh tubuhku. Setiap kali kudorong penisku masuk Lola mendengus. Aku melepaskan bibirku dari mulut Lola dan menjilat turun ke lehernya, berhenti bergerak di vaginanya berusaha menikmati setiap saat dari perkosaanku selama mungkin, aku ingin merasakan ini selamanya ketika tubuhku bergetar lepas kontrol waktu aku menyedot leher Lola yang jenjang dan putih, sementara penisku terbenam seluruhnya dalam vagina Lola.

Aku terus menahan penisku di dalam vagina Lola, menikmati sensasinya, menikmati tangis kesakitan dari mulut Lola. Aku lalu mulai bergerak lagi, memperkosa dia pelan-pelan, lalu brutal dan menyakitkan, merasakan kenikmatan yang makin memuncak, memaksaku sekali lagi untuk bergerak pelan-pelan, memaksaku bergerak berirama, merasakan orgasmeku yang kian dekat, aku tahu sebentar lagi aku akan keluar, dan aku akan mengeluarkan semua spermaku di dalam tubuh Lola yang sedang merintih di bawahku. Aku makin keras menyedot leher Lola dan mulai mengigitnya, tanganku meremas rambut di kepalanya, tubuhku menyatu dengan tubuh Lola, dengan lehernya, dadanya, buah dadanya, perutnya, vaginanya, dengan vaginanya yang sempit dan hangat menjepit erat, pahanya, hingga betisnya. Aku merasakan semuanya ketika erangan kecil keluar dari dadaku.

Aku akan keluar, Aku mau keluar, Aku akan meledak sebentar lagi, biarpun Aku berusaha menahan sekuat tenaga tapi aku tidak bisa menghentikannya ketika aku mengerang, mendengus bagaikan banteng, otot pahaku menegang ketika penisku berdenyut-denyut tak terkendali di dalam vagina Lola, menyemburkan sperma demi sperma ke rahimnya yang terluka, kenikmatan yang amat sangat seakan-akan menyakitkan tubuhku, membuat nafasku tersengal-sengal. Dan Lola menyadarinya, dia sangat sadar bahwa aku sudah mengalami orgasme dan itu membuatku makin nikmat karena dengan begitu dia tahu bahwa aku sudah menaklukan dirinya, dan aku telah menyetubuhi dan meyemburkan spermaku ke dalam tubuhnya. Aku terbaring selama satu menit penuh, tubuhku lemas karena kenikmatan yang bertubi-tubi, tubuhku sesekali bergidik dan bergerak-gerak teratur terangkat oleh gerakan dada Lola yang menangis.

Kuangkat tubuhku dari atas tubuh Lola, penisku masih keras dan tegang waktu kutarik dari vagina Lola. Aku berdiri dan memperhatikan Lola, tubuh seksi yang baru saja kunikmati. Kuremas penisku, membuatnya berdenyut dan melonjak lagi karena gairah ketika kulihat kaki Lola yang ramping, yang sekarang tertekuk tak berdaya, melihat pinggulnya yang bulat, melihat perutnya yang rata, buah dadanya yang masih menakjubkan bergerak, pada wajahnya yang seperti model, yang semakin cantik dengan rasa sakit dan air mata. Aku bergidik lagi dan menatap Johan yang sedang menatap Toni.
"Giliran siapa?"

Toni mengangguk ke arah Johan, yang tersenyum dan mengangkat tubuh Lola dengan tangannya. Lola sempoyongan dipegangi oleh Johan di lengannya, dan menyeretnya ke mejaku. Lola tak bersuara ketika Johan membungkukan tubuhnya ke mejaku, hingga sekarang mulai pinggang hingga kepala Lola terbaring menelungkup di atas mejaku, semetara kakinya masih di lantai. Ketika aku pergi ke seberang meja dan memegangi pergelangan tangan Lola aku mendapatkan ide. Aku ambil pita perekat dari mejaku dan mengikat kedua pergelangan tangan Lola jadi satu. Lola tidak sekalipun melihat ke arahku, dia hanya berdiri, dengan setengah tubuhnya terbaring di meja, ketika aku terus mengikat pergelangan tangannya dengan perekat. Dia benar-benar gadis yang cantik pikirku. Setelah selesai kutarik tangan Lola hingga tergantung di sisi lain mejaku, sekarang kepala Lola tergantung di pinggir meja, buah dadanya menjadi bantalan bagi tubuh Lola di meja, menempel pada meja kayu jati itu.

"Pantatnya benar-benar bikin kku gila", kata Johan sambil meraba dua bulatan pantat Lola. Lola memang punya pantat yang sempurna, apalagi kalau dibandingkan dengan tubuhnya yang ramping, bentuknya sempurna, penuh, lembut, halus dan tanpa noda. Aku harus memasukkan juga ke sana pikirku ketika aku melihat Johan meraba, meremas dan menarik pantat Lola, membuat Lola melonjak di mejaku sementara aku terus menahan tangan Lola. Johan segera melucuti pakaiannya, sambil terus memandang pantat Lola yang luar biasa itu.

Penis Johan langsung mengacung keluar, dan aku tersenyum. Penisnya besar, dan panjang juga, hampir 20 senti, dan Johan siap memasukkan semuanya ke tubuh Lola. Aku ingin tahu juga bagaimana perasaan Lola waktu nanti Johan memasukkan penisnya ke badannya, memperkosanya dan menyakitinya. Kujambak lagi rambut Lola dan mengangkat kepalanya sehingga aku bisa melihat wajah Lola, wajah Lola berkilat karena air mata dengan bibir dan mata yang sempurna bagiku. Mata Lola terpejam tapi dengan melihat ekspresi wajah Lola aku bisa tahu apa yang sedang dikerjain Johan pada tubuh Lola. Pasti Lola merasakan sakit yang luar biasa waktu Johan masuk ke tubuhnya, walaupun aku sudah membasahi vaginanya dengan sperma dan darah perawannya.

Wajah Lola mengerenyit dan gemetar, erangan keluar dari mulutnya pada saat bersamaan. Aku dengar Johan juga mengerang, setelah itu terdengar suara daging bergesekan dengan daging, dan aku tahu Johan sudah masuk ke vagina Lola. Bibir Lola bergetar, air mata mengalir lagi dari matanya ketika kudengar suara tubuh berbenturan dengan tubuh yang lain, terus berulang-ulang. Johan memperkosa Lola dengan brutal dari belakang, seperti seekor anjing, sementara aku terus mengangkat kepala Lola, melihat wajahnya, menghembuskan nafasku ke wajah Lola, melihat rasa sakit dan sengsara yang terlukis bergantian di wajah Lola, dan Lola tahu bahwa aku sedang memandang wajahnya dan itu bagi Lola sama hinanya dengan diperkosa.

Aku terhanyut, terhanyut oleh wajah Lola, ketika aku dengar suara lain, dan aku melihat mata Lola terbelalak karena sakit dan shock, mata yang bulat hitam dan berkilat karena air mata, melihat bibirnya yang membentuk huruf 'O' sambil menjerit kesakitan. Aku tahu itu pasti Toni, dan itu pasti ikat pinggangnya yang diayunkan ke punggung atau pantat Lola, tapi aku tidak bisa melepas pandanganku dari wajah Lola, dari mata yang penuh penderitaan dan putus asa tapi berkilat indah. Aku bergidik dengan birahi yang memuncak lagi, penisku menegang lagi, menyakitkan, ketika aku melihat wajah Lola yang berkerut kesakitan dan penuh rasa malu.

Kudengar Johan mendengus dan mendengus lagi, dan aku tahu kalau dia baru saja ejakulasi di vagina Lola, dan Lola juga menyadarinya, dan ia lalu memejamkan matanya yang berlelehan air mata dan kembali menangis tersedu-sedu, dan setiap pecutan Toni mengayun, tangis kesakitan kembali terdengar dari dada Lola. Suara pecutan kemudian berhenti, dan aku melepaskan peganganku di rambut Lola, membiarkan kepalanya terjatuh lagi. Aku berdiri dan berpikir seharusnya aku juga mencoba mulut Lola sekarang juga, tapi Toni masih belum mendapat giliran.

"Dia benar-benar hebat", kata Johan, sambil masih melihat ke pantat Lola.
"Cewek yang benar-benar hot. Waktu lo pukul dia pake iket pinggang lo Ton, Aku kira barangnya bakal bikin punyaku putus saking kerasnya ngejepit." Toni cuma tersenyum dan kita semua berpandangan satu sama lain dan tersenyum.

Toni membuat sebuah gerakan dan aku mengangguk ke Johan. Johan menarik Lola dengan menjambak rambutnya, membuat kepala Lola terangkat dan kemudian dadanya, membuat dada yang tadi tertindih menyembul tegak lagi, sebelum tubuh Lola terlempar lagi ke lantai, rambut Lola menutupi wajahnya sementara tangannya yang masih terikat menumpu tubuhnya yang terbaring miring, dan kaki Lola yang indah menekuk di lutut. Aku pegang penisku merasakannya berdenyut lagi. Lola, Lola benar-benar sesuatu yang memabukkan.

Toni berjalan memutar dan mendorong kursiku, kursi besar dari kulit yang biasa dipakai para wakil presiden direktur perusahaan internasional, ke depan Lola. Toni lalu melucuti pakaiannya sendiri, tapi matanya tidak lepas dari tubuh Lola. Ruangan itu sunyi lagi, yang terdengar hanya suara pakaian Toni yang dilempar ke atas lantai dan tangisan Lola yang lirih. Ketika telah telanjang bulat Toni duduk di kursiku, merosot sedikit, dan memegang penisnya hingga mengacung ke atas.
"Coba kamu ke sini Lola", katanya, mata Toni penuh birahi, "dan kulum punyaku."

Kita semua menunggu, memperhatikan Lola, setengah berharap ia akan menurut dan setengah berharap ia akan menolak, sehingga membuat kita punya alasan buat menyiksanya lagi dan menyakiti tubuh yang indah itu. Ia terisak sekali dan kemudian mulai bergerak, merangkak dengan lututnya, menuju ke arah Toni, rambutnya yang panjang dan ikal menempel di wajah, buah dada dan punggungnya.

Aku memperhatikan dengan penisku di tanganku, ketika ia sampai di dekat Toni dan ia meraih penis Toni di pangkalnya dengan tangannya yang terikat, setelah itu membuka bibirnya yang penuh dan sensual itu, lalu mendorong mulutnya ke penis Toni. Aku pengen sekali meperkosa dia saat itu juga, tubuh yang penuh sensasi. Dia benar-benar merangsang, berlutut seperti itu, sementara kepalanya mengangguk-angguk ketika ia melayani Toni, pipi Lola menghisap dan mengulum penis Toni, sebagian rambut jatuh di wajahnya.

Aku memandang Toni, melihat raut mukanya yang kecewa.
"Dia tidak tau bagaimana mengulum yang benar", kata Toni, sambil memandangku, tangan Toni sekarang meremas rambut Lola ketika ia memegangi kepala Lola.
"Cewek ini tidak bisa make mulutnya buat muasin aku." Lola merintih mendengar perkataan Toni, dan mengikuti pandangan Toni yang sedang melihat ke ikat pinggang kita yang tergeletak di lantai. Aku tersenyum pada Toni dan mendekati Johan, mengambil ikat pinggangku, melihat tubuh Lola gemetar lagi seakan tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi, kepalanya bergerak makin cepat di penis Toni, hampir putus asa.

Aku berdiri di belakang Lola, dengan ikat pinggang di tanganku, ujung ikat pinggang itu mengayun-ayun di tanganku, Johan ada di sebelahku, Otot tubuh Toni menengang memegangi Lola. Tanganku dan Johan terangkat dan mengayunkan ikat pinggang masing-masing ke pantatnya, keduanya mengenai sasaran, tubuh Lola melonjak kesakitan sementara lolongan kesakitan terdengar dari tenggorokannya, diredam oleh penis Toni yang masih ada di mulut Lola. Aku memecut lagi ke arah pantatnya, Lola menjerit lagi, Aku berhasil membuat tanda merah di pantatnya ketika Lola menjerit kedua kalinya, dan yang ketiga ketika ikat pinggang Johan mendarat ke pahanya, kepala Lola terlonjak sedikit ketika Toni menekan kepalanya turun ke pangkal penis Toni. Jeritan Lola berubah menjadi batuk dan suara tersedak, walaupun kita berdua masih terus memukulinya, penis Toni rupanya masuk hingga tenggorokannya.

Aku bisa melihat sekarang, Aku melihat benjolan kepala penis Toni di tenggorokan Lola, mata Lola menatap liar, tubuhnya meronta-ronta karena rasa sakit, panik dan kekurangan udara, tangannya menggapai-gapai, terlalu takut untuk mendorong tubuh Toni yang dengan tangannya menahan kepala Lola agar tetap di pangkal penisnya. Aku mengayunkan ikat pinggangku lagi, membuat suara jeritan terdengar lagi ketika ujung ikat pinggangku yang dilapisi logam menghajar punggung Lola yang mulus, tubuh Lola mengejang sama seperti tadi ketika ia diperkosa dan dipukuli.

Toni benar-benar brutal, dengan kedua tangan di sisi kepala Lola, meremas rambut Lola, ia menggerakkan kepala Lola di penisnya, menghunjamkan wajah Lola ke selangkangannya ketika ia memasukkan seluruh penisnya hingga ke tenggorokan Lola. Kita berdua juga brutal, ketika kita mengayunkan ikat pinggang ke pantat Lola, paha Lola bahkan punggung Lola ketika kita bersamaan menyiksa tubuh cantik yang terus menjerit, gemetar, mengejang dan berkeringat. Pikiranku sudah berkabut, walapun tanganku sudah lemas, pantat dan paha Lola sudah bilur-bilur kebiruan karena terus dipukuli, jeritannya makin keras dan melolong-lolong, penisku sudah tegang sekali seakan-akan ingin meledak ketika aku melihat Toni terus menghunjamkan wajah Lola ke pangkal penisnya dan sekarang menahannya di situ dan aku sadar Toni sedang ber-ejakulasi di tenggorokan Lola, menggeram ketika ia terus menahan kepala Lola.
Ini sudah terlalu lama, Aku sudah menunggu terlalu lama. Aku harus memperkosa dia lagi, Aku harus menikmati lagi tubuh Lola Amelia yang sedang jadi mainan kita. Aku jambak lagi rambut Lola, di pangkalnya dan menariknya dengan kasar dari pegangan Toni, air liur Lola dan sperma Toni mengalir keluar dari mulutnya ketika kuseret dia sekitar dua meter dari Toni dan melemparkannya hingga jatuh tertelungkup. Aku berlutut di belakang dia, dan meraih pinggul Lola yang bulat, dan menarik pantatnya yang biru-biru hingga menungging, penisku bergoyang-goyang di depanku sementara aku menggeram bagai binatang, mengarah ke vagina Lola yang terluka.

Aku masuk lagi dengan brutal, berharap aku kembali menyakiti Lola, berharap dia menjerit kesakitan, tapi yang aku dengar hanya suara mengerang ketika penisku masuk ke rahim Lola. Aku bergoyang keluar masuk sebanyak tiga kali, vagina Lola masih sangat sempit dan nikmat, Aku hampir saja diam tak bergerak di situ. Tapi pantat Lola, dengan liang anus berkerut berwarna kecoklatan terlihat seperti menggodaku, jari-jariku membuka belahan pantat Lola yang memanggil-manggilku. Aku meringis ketika kutarik penisku dari jepitan vagina Lola dan mengarahkannya ke liang anus Lola.

Reaksi Lola benar-benar menggairahkan. Rintihan dan ratapan keluar lagi dari bibir Lola.
"Jangan, jangan, saya mohon, jangan...!" Lola merintih dan meronta sekarang lebih kuat dari pada yang kuduga sebelumnya, lututnya terangkat dari lantai, otot-otot di pantatnya mengejang berusaha menutup, pinggulnya bergoyang berusaha melepaskan diri dari peganganku. Tapi aku tidak peduli, tidak ada yang bisa menghalangiku buat menikmati pantat Lola. Dan kupegangi dia, di pinggulnya, penisku yang sudah dibasahi oleh vagina Lola, menekan ke liang anus Lola, tubuh Lola menggeliat dan meronta dalam peganganku sembari memohon agar aku berhenti, dan melakukan apa saja, apa saja selain sodomi.

Aku menekan lebih keras lagi, jari-jariku membuat memar baru di pinggul Lola, ketika Aku merasa liang anus Lola mulai terbuka, jeritan pelan mulai terdengar dari mulut Lola, keluar dari dada Lola, dada dengan payudara yang bulat yang sekarang tertindih tubuh Lola di lantai yang terus berusaha merangkak menjauh dariku. Setelah itu yang kudengar hanya jeritan Lola yang melengking hingga akhirnya terputus sendiri ketika kepala penisku berhasil menembus masuk anus Lola, membuatku gemetar karena sensasi yang timbul. Sempit, sempit sekali sampai membuat nyeri, semakin nyeri ketika kupaksa penisku masuk lebih dalam lagi, dan lebih dalam lagi, jeritan Lola berubah menjadi lolongan ketika telapak tangan Lola mengepal menahan sakit, dahinya terbenam ke karpet ketika lolongan Lola berubah lagi menjadi tangisan kekalahan dan kesakitan bersamaan dengan masuknya sisa penisku ke anus Lola yang terus menjepit dan memijati batang penisku.

Kutarik lagi penisku keluar, menikmati gerakan tubuh Lola yang kesakitan, dan kemudian mendorongnya masuk lagi sekeras-kerasnya ke dalam anus yang sempit luar biasa itu. Aku tidak punya pikiran lain selain menyodominya, dan terus menyodominya, menyodomi dubur Lola dengan brutal, sekuat tenaga, dan menikmati setiap rasa sakit yang dirasakan oleh Lola, rasa teror yang dialami Lola, kekalahannya. Aku sadar ketika gerakanku di anus Lola mulai lancar, Johan berlutut di depan Lola, dan aku melihat penisku kembali berlumuran darah ketika aku menarik penisku keluar untuk yang kesekian sebelum mendorongnya masuk lagi. Johan ada di depan Lola, menarik rambutnya dan memegang kepala Lola dengan kepalanya, menarik rahang Lola, memaksanya membuka mulut, dan memasukkan penisnya ke dalam mulut Lola dan memperkosanya sebrutal aku yang ada di anusnya.

Aku tidak tahu berapa lama kita memperkosa Lola, Aku di anus dan Johan di mulut, tubuh Lola terus-menerus mengejang dan gemetar dengan suara mengerang lirih kesakitan dan mulutnya. Aku tenggelam di kabut birahi dan nafsu, seluruh pikiranku aku pusatkan di penisku, pada dua buah bulatan daging yang merupakan pantat Lola, aku terus bergerak, keluar, masuk, keluar, masuk, dan aku merasa orgasmeku kembali datang, menyakiti penisku, mengingat aku baru saja orgasme beberapa saat yang lalu, tapi aku menikmati rasa sakit itu, rasa sakit yang sangat nikmat sementara aku terus bergoyang di pantat Lola hingga akhirnya aku tersentak, seluruh tubuhku tersentak dan aku ejakulasi di dalam anus Lola, penisku berdenyut dan menggelinjang terus dan terus ketika aku memuntahkan spermaku ke anus Lola, menaklukkan lagi gadis itu, gadis yang sangat merangsangku, Lola Amelia.

Aku terdiam beberapa saat, mendengar Johan yang mendengus menyelesaikan hajatnya di mulut Lola, dan aku menarik penisku keluar, mendesis ketika anus Lola kembali menjepit batang penisku erat-erat untuk terakhir kalinya sebelum aku jatuh terduduk. Aku duduk di situ semenit, melihat Johan yang menarik penisnya dari mulut Lola dan berdiri, membiarkan tubuh Lola jatuh tersungkur ke lantai lagi.

Aku menggelengkan kepalaku, mengerjapkan mataku dan berjalan ke kursi dimana Toni sedang beristirahat dan duduk. Toni sedang memandangi Lola, alat hiburan kita bertiga. Kaki Toni menendang tubuh Lola beberapa kali, tidak keras. Kemudian ia mengulurkan tangannya dan menggulingkan tubuh Lola hingga telentang.

"Benar-benar cantik dia", katanya, mengucapkan apa yang ada di pikiranku. Lola, Lola Amelia, terbaring tak berdaya di lantai. Tangannya dengan pergelangan tangan masih terikat terangkat ke atas kepalanya, membuat tubuhnya makin ramping, semakin tinggi, dan langsing. Buah dadanya masih mengacung di dadanya, memerah dan bilur-bilur karena pukulan-pukulan Toni. Lehernya panjang, halus dan putih, terlihat seperti menelan ludah beberapa kali, dan setiap kali menelan Lola terlihat kesakitan, nafasnya terdengar berat dan terputus-putus. Darah tampak sedikit mengalir dari hidungnya dan bibirnya, bibirnya yang penuh dan sensual itu bilur-bilur membiru. Mata Lola terpejam, dan alis matanya tampak semakin menarik dengan wajah yang basah karena air mata dan keringat. Pinggangnya ramping dan perutnya, gemetar pelan ketika ia mengerang kesakitan, perkosaan dan pukulan kita pada Lola membuat ia tidak bisa berbaring tanpa kesakitan.

Bagiku tidak ada yang lebih merangsangku daripada melihat cewek yang sedang kesakitan, dan Lola Amelia di depanku ini sedang kesakitan setengah mati. Kupikir kita bertiga benar-benar terkagum-kagum karena kita semua cuma berdiri dan duduk di situ dan memandangi Lola, menikmati setiap jengkal tubuh Lola yang sedang menggeliat-geliat kesakitan. Toni membuyarkan lamunan itu, ia bangun dan mendekati tumpukan pakaiannya, penis Toni mengacung tegang ketika ia sedang merogoh-rogoh kantong bajunya, mengeluarkan satu pak rokok dan zippo. Ia menyalakan satu batang rokok, menghisap dan berjalan mendekati dan berdiri dekat dengan kaki Lola, memandangi tubuh Lola di bawahnya. Aku menarik kursiku supaya aku bisa melihat apa yang dikerjakan Toni lebih jelas lagi, ketika Toni berlutut dengan rokok masih ada di bibirnya.

Toni menarik kaki Lola, tidak menghiraukan erangan sakit dari Lola ketika ia mengangkat kaki Lola dan menyangkutkannya ke bahunya sendiri. Ia bersandar ke depan, penis Toni tepat mengarah ke vagina Lola yang memerah karena diperkosa beruntun, tubuh Toni hanya ditumpu oleh kaki Lola dan satu tangan Toni. Lola sama sekali tidak membuka matanya, hanya mengerang ketika Toni menekan penisnya ke vagina yang sudah kesakitan, membenamkannya hingga pangkal. Ia menahannya di situ, menatap wajah Lola di bawahnya, wajah Lola yang cantik, dengan rokok yang masih menggantung di mulutnya.

Aku membeku dan tersenyum ketika aku melihat Toni menarik rokok itu dari mulutnya dan memandang Johan, yang mendekat dan berlutut menindih tangan Lola. Lola membuka matanya, melihat Johan yang memandangi dirinya, menatap ujung rokok yang menyala. Aku tahu, Johan tahu dan Lola pun tahu apa yang akan dilakukan oleh Toni dan mata Lola, mata yang bulat semakin membesar dan air mata kembali mengalir tanpa terdengar isakan, bibir Lola terbuka seakan-akan ingin memohon pada Toni tapi tahu bahwa itu percuma.

Ujung rokok itu mendekat perlahan, dan tubuh Lola mulai meronta-ronta ditindih oleh tubuh Toni, menggeliat, mengejang, meronta, buah dada Lola bergoyang-goyang ketika Lola meronta tanpa bersuara, berat tubuh Toni membuatnya tidak berdaya. Ujung rokok yang menyala itu menyentuh buah dada kanan Lola, membuat jeritan Lola kembali terdengar bersamaan dengan terbakarnya daging payudara kanan Lola yang sudah berkeringat. Toni menghisap rokoknya lagi, membuat ujungnya menyala-nyala lagi, dan mendekatkannya lagi ke payudara kiri Lola, perlahan dengan penis masih terbenam di vagina Lola. Lola menjerit lagi, punggungnya melengkung kesakitan, tubuhnya meronta berusaha melawan Toni.

Selama setengah jam Toni terus menyiksa Lola, menyulut, menghisap, menyulut, menghisap, menyalakan sebuah rokok baru setiap kali rokok yang lama habis, membuat Lola menjerit dan menjerit dan menjerit hingga akhirnya Lola hanya bisa melolong lemah, dengan tubuh yang terus mengejang dan mencoba berguling sementara Toni terus menahannya dengan penis terbenam dan dijepit oleh vagina Lola, Toni menahan penisnya hingga vagina Lola yang menjepit setiap kali Lola kesakitan membuatnya seperti dipijati oleh vagina Lola sendiri. Kemudian Toni meremas buah dada Lola, meremasnya keras-keras dengan kedua tangannya, membuat Lola kembali melolong seperti binatang yang terluka, tubuhnya menggelinjang sementara Toni mulai menggerakan penisnya di vagina Lola dengan brutal, payudara Lola terasa perih ketika luka bakar di buah dadanya terbuka karena remasan tangan Toni, kuku Toni menghunjam ke daging buah dada Lola.

Toni menggeram, menumbukkan pinggulnya ke pinggul Lola, kuku jari Toni membuat buah dada Lola terluka dan mengeluarkan setetes darah, lolongan Lola bersahutan dengan erangan Toni ketika ia berejakulasi, mengisi rahim Lola dengan air mani. Selama beberapa detik tubuh Toni tegang tak bergerak di atas tubuh Lola, lalu semuanya berakhir, dan ia tersungkur ke tubuh Lola yang terisak-isak. Selama beberapa menit Toni tetap berbaring sebelum ia berguling dan berdiri, meninggalkan Lola yang telentang di atas lantai, kaki Lola terbuka lebar, tangan Lola menutupi buah dadanya yang terluka ketika ia menangis keras dengan kesakitan.

Aku tidak tahu kenapa, tapi Lola dan tubuhnya serta tangisannya membuatku ingin menyakitinya lagi, membuatku ingin mendengar dia menangis, menjerit dan minta ampun padaku. Aku menunduk di antara kaki Lola, satu tanganku memegang pahanya dan bahuku menahan paha Lola yang lain, wajahku hanya beberapa senti dari vagina Lola yang memerah dan terluka. Dari belahan vaginanya mengalir sperma yang tercampur titik-titik darah turun ke belahan pantatnya. Aku bisa melihat clitorisnya, juga memerah dan memar di tumbuhi sedikit rambut kemaluan.

Dengan dua jari aku membuka labia Lola yang ada di sekitar clitoris Lola. Tanganku yang satu lagi mengulur dan memegang clitoris yang merah itu dengan jempol dan telunjukku, mendengar tangisan Lola makin keras, merasakan pahanya gemetar, lalu aku jepit clitoris itu, membuat lolongan Lola kembali membahana, pahanya mengejang berusaha menutup kakinya, tapi bahuku menghalangi usahanya yang sudah tak bertenaga.

Kujepit, tarik dan membenamkan kuku jariku ke daging kecil yang sensitif itu, membuatnya kembali menjerit dan menggemelihat ketika aku menyakitinya lagi. Aku menarik tanganku lagi, membuat tubuh Lola rileks lagi. Toni kembali mendekat dan menyeret tubuh Lola dan melemparkannya ke atas mejaku lagi. Pantat Lola menungging ke atas seakan-akan siap menerima Toni.

Toni membuka belahan pantat Lola dengan kedua tangannya dan memasukan penisnya masuk dengan satu kali dorongan yang keras. Lola mengerang, dia terus mengerang setiap saat sekarang, seluruh tubuhnya telah kesakitan, buah dadanya semakin membuatnya kesakitan karena tertindih tubuhnya sendiri di atas meja. Aku berjalan ke seberang meja dan menjambak rambutnya lalu memasukan penisku ke mulut Lola, masuk terus hingga ke tenggorokannya, merasakan hangatnya lidah dan tenggorokan Lola di seluruh bagian penisku, tenggorokan Lola juga menjepit kepala penisku, dan lembutnya bibir Lola melingkari pangkal penisku. Lola kembali diperkosa di anus dan di mulut, dengan kasar dan brutal karena kita berdua harus berusaha keras untuk dapat mencapai puncak untuk yang ketiga kalinya di tubuh ini, ke dalam tubuh gadis yang tidak ada bandingannya, ke dalam tubuh Lola Amelia.

"Ambilin Aku pin." Aku dengar Toni berkata dan aku tersenyum lagi ketika aku melihat Johan mengangsurkan beberapa pin dari mejaku, yang langsung dibenamkan Toni ke pantat Lola.

Jeritan Lola mengalir ke penisku, membuatku mengerang nikmat. Pin kedua kembali ditancapkan ke pantat Lola, dan jeritan kedua membuatku gila karena birahi. Aku tidak bisa orgasme, cewek ini sudah menghabiskan seluruh spermaku sebelumnya. Sakit sekali rasanya testisku yang berusaha mengeluarkan sperma ke mulut Lola. Toni sudah berhenti menancapkan pin, tangan dan pinggul Toni menumbuk-numbuk pin di pantat Lola membuat jeritan Lola sambung-menyambung mengalir ke penisku, membuatku tenggelam dalam kenikmatan dan frustasi dalam usahaku berejakulasi.

Pantat Lola pasti benar-benar memuaskan Toni karena aku melihat mata Toni membalik dan ia melolong nikmat ketika ia kembali menyemburkan spermanya ke dalam tubuh Lola, Lola yang cantik. Setelah selesai Toni menarik penisnya keluar, Aku juga menarik penisku dari mulut Lola dan melihat wajahnya yang memar, darah kemabbali menetes dari hidungnya, dan menetes ke penisku.

Aku mundur dan Johan mengulurkan tangannya meremas buah dada Lola dan menariknya ke atas hingga Lola dipegangi oleh Johan di buah dadanya, membuat Lola mengerang ketika penisnya menembus masuk ke anus Lola, pantat Lola masih ditancapi oleh pin yang makin menusuk ke dalam daging pantat Lola ketika Johan terus mendorong penis sepanjang 20 senti itu masuk ke anus Lola. Lola menjerit sekali, ketika kepala penis Johan masuk membuka liang anusnya, dan kemudian mengerang setiap kali Johan bergerak keluar dan masuk.

Penisku terus berdenyut ketika aku melihat Lola, dipegangi oleh Johan, sementara kepalanya mengangguk-angguk seirama dengan goyangan pinggul Johan, rambut Lola bergoyang kesana kemari di sekeliling kepala Lola, matanya, matanya yang bulat indah membelalak karena kesakitan dan shock, mulutnya menganga mengeluarkan erangan yang berirama dengan gerakan Johan, bibir Lola bilur membiru, darah masih menetes dari hidungnya mengalir ke dagu, terus turun ke lehernya jenjang hingga ke belahan buah dada Lola.

Aku naik ke atas meja dan berlutut di depan Lola, meremas pantatnya yang mempesona untuk mendengar jerit kesakitan Lola, kemudian memasukan penisku ke vagina Lola, tubuh Lola seperti boneka di jepit olehku dan Johan. Vagina dan anus Lola kembali dimasuki oleh dua buah penis bersamaan, membuat tubuh yang terluka, memar dan kesakitan itu bergoyang-goyang maju mundur.

Penisu masih dijepit erat oleh vagina Lola yang tampaknya tidak akan pernah melebar. Dan orgasmeku datang. Aku orgasme sekuat tenagaku, tanganku meremas pantat Lola, testisku seakan-akan ditarik dari penisku ketika aku ejakulasi. Aku orgasme untuk yang ketiga kalinya malam itu. Johan selesai menyembur, tangannya melukai lagi buah dada Lola yang memar, terbakar dan berdarah dan kemudian ketika aku selesai tubuh Lola langsung ambruk terguling dari meja jatuh ke lantai, mengerang lemah.

Kita bertiga berdiri untuk beberapa saat, dan ku memandang jam.
"Waktunya berangkat." Kataku, dan kita lalu membersihkan badan menggunakan pakaian Lola sebagai lap. Membiarkan Lola yang berbaring tak bergerak di lantai. Ketika kita sudah berpakaian lagi, Aku seret dia ke bawah mejaku dan mengikat dia dengan tali yang diambil Johan dari gudang. Aku tahu kalau office boy akan menemukan Lola besok pagi, tapi pada waktu dia ditemukan aku dan temanku sudah sedang menikmati layanan VIP di negeri yang mau kudatangi.


TAMAT

No comments:

Post a Comment