Friday, June 4, 2010

Mbak Lia (1)

Tahun ini usiaku genap 37 tahun. Coba, apa yang masih kurang dalam
hidupku. Aku termasuk orang yang cukup berada. Punya rumah bagus dan
juga mobil mewah. Dan yang paling utama adalah isteriku yang umurnya
separuh dari umurku. Aku amat mencintai isteriku yang masih muda dan
cantik itu. Apalagi kami berdua masih mempunyai hubungan darah yang
cukup dekat.

* * * * *

Kisah ini dimulai dari suatu hari Minggu pada 22 tahun yang lalu, cukup
lama memang, sewaktu aku masih berusia 15 tahun. Aku adalah anak bungsu
dari dua bersaudara. Saat itu aku tengah sibuk membaca buku pelajaran di
ruang tamu rumahku karena besok aku harus menghadapi ulangan. Aku masih
duduk di kelas satu SMA waktu itu. Kebetulan kedua orangtuaku pergi ke
rumah Oom Tanto. Tiba-tiba pintu depan dibuka dengan kasar. Kulihat
kakak perempuanku satu-satunya, Mbak Lia, masuk dengan tergopoh-gopoh.
Mukanya pun masam. Tanpa basa-basi, ia langsung membanting tubuhnya
duduk di sofa berseberangan denganku.

"Mbak Lia! Kenapa sih grasa-grusu kaya gitu! Nggak tahu ya gue lagi
belajar!" Aku menggerutu.

"Salah elu sendiri! Kenapa hari libur gini belajar?!" Mbak Lia tidak mau
kalah.

"Gue kan besok ada ulangan di sekolahan."

"Ulangan sih ulangan! Tapi elu nggak tau sih sebenarnya gue kenapa?"
kata Mbak Lia sambil tetap merengut.

"Emangnya Mbak kenapa?"

"Gue baru putus!"

"Sama Mas Toni?" tanyaku.

"Sama siapa lagi!" jawab Mbak Lia agak ketus.

"Sebabnya kenapa, Mbak?" tanyaku sedikit takut-takut.

Beberapa lama Mbak Lia tidak mau menjawab. Ia terdiam. Tapi.....

"Nggg... gimana ya, Rud, sebenernya gue mau juga nih nyeritain ke elu.
Elu kan tau gue udah ampir dua tahun pacaran sama Toni. Masa tadi waktu
dia nganter gue pulang ke rumah kan gue minta dia sedikit mesra ke gue,
dia nggak mau. Katanya dia, dia belum siap mesra-mesraan. Cowok macem
apaan tuh!"

"Emangnya Mbak pengennya mesra kaya apaan?"

"Gue kan minta dia cium gue di bibir. Eh, dia malah gemeteran."

"Ya ampun, Mbak! Kok gitu aja marahan sama dia?"

"Abis gimana? Kan gue pacar dia udah lama. Masa minta dicium aja nggak
boleh!"

"Boleh sih boleh. Kok maen paksa gitu, Mbak."

"Heh, anak kecil! Udah ah, jangan ikut campur urusan gue!"

"Eh, Mbak. Siapa bilang gue anak kecil. Mbak kan cuman lebih tua 2 tahun
dari gue."

Mbak Lia tidak menanggapi apa-apa. Ia masih juga merajuk.

"Wah, kalo Mbak Lia merengut terus, bisa kiamat dunia tuh! Kalo Mbak
emang pengen dicium, nih gue aja yang cium deh!" kataku sambil mencium
bibir Mbak Lia yang ranum.

"Plakk!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aw! Cukup sakit!

"Rudy! Apa-apaan sih elu! Emangnya elu pikir gue apanya elu sih!
Berani-beraninya nyium gue!" Mbak Lia menghardikku agak marah. Tetapi
kulihat mukanya sedikit merah, sedikit malu. Kemudian ia seperti
tertegun dengan tangannya memegang bibirnya yang baru saja kucium tadi.
Suasana diliputi keheningan. Aku tidak berani berkata-kata lagi, takut
menambah marah Mbak Lia.

Beberapa menit kemudian, tahu-tahu kulihat perubahan pada air muka Mbak
Lia. Tampaknya ia sudah kembali normal lagi. Malahan ia memandangi
sambil tersenyum manis penuh arti. Astaga! Aku baru menyadari apa
keinginan Mbak Lia ini.

"Rud, sori gue udah nampar elu tadi. Abis gue emosi banget sih. Ke sini
elu ke deket gue deh," katanya sambil mengulurkan tangannya.

Aku menyambut tangannya. Tanpa terduga, ia menarik tanganku dengan keras
sehingga tubuhku langsung berdekatan dengannya dalam jarak beberapa
sentimeter saja. Tiba-tiba tangannya merengkuh tubuhku. Bibirnya yang
merekah memagut bibirku. Dengan sendirinya bibirku pun menyambutnya. Aku
melayani pagutan bibir Mbak Lia dengan gairah yang tinggi. Kukulum bibir
Mbak Lia yang juga membalasku. Lalu lidah kami berdua pun saling
bersentuhan. Tanpa membuang-buang waktu, aku permainkan lidah Mbak Lia
yang cukup gesit bergerak laksana lidah seekor ular.

Tubuh kami berdua yang berhimpitan menimbulkan rangsangan yang cukup
berarti untukku. Apalagi setelah dadaku menempel erat pada payudaranya
yang berukuran tidak begitu besar namun bentuknya indah dan kencang. Dan
tak ayal lagi, penisku pun mulai berdiri mengencang. Aku tak sadar,
bahwa aku sudah terangsang oleh kakak kandungku sendiri! Namun hawa
nafsu birahi yang mulai melandaku sepertinya mengalahkan akal sehatku.
Mbak Lia sendiri juga tampaknya memiliki pikiran yang saja. Ia tidak
henti-hentinya mengulumi bibirku dengan nafsunya.

Akhirnya, nafsuku sudah tak tertahankan lagi. Sementara bibirku dan Mbak
Lia masih tetap saling memagut, tanganku mulai menggerayangi tubuh
kakakku itu. Kujamah gundukan daging kembar yang menghiasi dengan
indahnya dada Mbak Lia yang masih berpakaian lengkap. Dengan segera
kuremas-remas bagian tubuh yang sensitif tersebut.

"Aaah... Rudy... aah..." Mbak Lia mulai melenguh kenikmatan. Bibirnya
masih tetap melahap bibirku.

Mengetahui Mbak Lia tidak menghalangiku, aku semakin berani.
Remasan-remasan tanganku pada payudaranya semakin menjadi-jadi. Sungguh
suatu kenikmatan yang baru pertama kali kualami meremas-remas benda
kembar indah nan kenyal milik kakakku itu. Melalui kain blus yang
dikenakan Mbak Lia kuusap-usap ujung payudaranya yang begitu menggiurkan
itu. Tubuh Mbak Lia mulai bergerak menggelinjang.

"Uuuuhhh... Mbak....." Aku mendesah saat merasakan ada jamahan yang
mendarat di selangkanganku. Penisku pun bertambah menegang akibat
sentuhan tangan Mbak Lia ini, membuatku bagian selangkangan celana
panjangku tampak begitu menonjol. Mbak Lia juga merasakannya, membuatnya
semakin bernafsu meremas-remas penisku itu dari balik celana panjangku.
Nafsu birahi yang menggelora nampaknya semakin menenggelamkan kami
berdua, sehingga membuat kami melupakan hubungan kami sebagai
kakak-beradik.

"Aaauuhh... Rud... uuuh....." Mbak Lia mendesis-desis dengan liarnya
karena remasan-remasan tanganku di payudaranya bukannya berhenti, malah
semakin merajalela. Matanya terpejam merasa kenikmatan yang begitu
menghebat.

Tanganku mulai membuka satu persatu kancing blus Mbak Lia dari yang
paling atas hingga kancing terakhir. Lalu Mbak Lia sendiri yang
menanggalkan blus yang dikenakannya itu. Aku terpana sesaat melihat
tubuh kakakku itu yang putih dan mulus dengan payudaranya yang membulat
dan bertengger dengan begitu indahnya di dadanya yang masih tertutup
beha katun berwarna krem kekuningan. Tetapi aku segera tersadar, bahwa
pemandangan amboi di hadapannya itu memang tersedia untukku, terlepas
itu milik kakakku sendiri.

Tidak ingin membuang-buang waktu, bibirku berhenti menciumi bibir Mbak
Lia dan mulai bergerak ke bawah. Kucium dan kujilati leher jenjang Mbak
Lia, membuatnya menggerinjal-gerinjal sambil merintih kecil. Sementara
itu, tanganku kuselipkan ke balik beha Mbak Lia sehingga menungkupi
seluruh permukaan payudara sebelah kanannya. Puting susunya yang tinggi
dan mulai mengeras begitu menggelitik telapak tanganku. Segera
kuelus-elus puting susu yang indah itu dengan telapak tanganku. Kepala
Mbak Lia tersentak menghadap ke atas sambil memejamkan matanya. Tidak
puas dengan itu, ibu jari dan telunjukku memilin-milin puting susu Mbak
Lia yang langsung saja menjadi sangat keras. Memang baru kali ini aku
menggeluti tubuh indah seorang wanita. Namun memang insting kelelakianku
membuatku seakan-akan sudah mahir melakukannya.

"Iiiihh..... auuuhhh..... aaahhh....." Mbak Lia tidak dapat menahan
keliaran desahan-desahan nafsunya. Segala gelitikan jari-jemariku yang
dirasakan oleh payudara dan puting susunya dengan bertubi-tubi, membuat
nafsu birahinya semakin membulak-bulak.

Kupegang tali pengikat beha Mbak Lia lalu kuturunkan ke bawah. Kemudian
beha itu kupelorotkan ke bawah sampai ke perut Mbak Lia. Puting susu
Mbak Lia yang sudah begitu mengeras itu langsung mencelat dan mencuat
dengan indahnya di depanku. Aku langsung saja melahap puting susu yang
sangat menggiurkan itu. Kusedot-sedot puting susu Mbak Lia. Kuingat masa
kecilku dulu saat masih menyusu pada payudara ibuku. Bedanya, tentu saja
payudara kakakku ini belum dapat mengeluarkan air susu. Mbak Lia
menggeliat-geliat akibat rasa nikmat yang begitu melanda kalbunya.
Lidahku dengan liarnya tak ayal menggelitiki puting susunya sehingga
pentil yang sensitif itu melenting ke kiri dan ke kanan terkena hajaran
lidahku.

"Aiiih... Rudyyyyy..... Oooh....." Lenguhan Mbak Lia semakin lama
bertambah keras. Untung saja rumahku sedang sepi dan letaknya memang
agak berjauhan dari rumah yang paling dekat, sehingga tidak mungkin ada
orang yang mendengarnya.

Belum puas dengan payudara dan puting susu Mbak Lia yang sebelah kiri,
yang sudah basah berlumuran air liurku, mulutku kini pindah merambah
bukit membusung sebelah kanan. Apa yang kuperbuat pada belahan indah
sebelah kiri tadi, kuperbuat pula pada yang sebelah kanan ini. Payudara
sebelah kanan milik kakakku yang membulat indah itu tak luput menerima
jelajahan mulutku dengan lidahnya yang bergerak-gerak dengan liarnya.
Kukulum ujung payudara Mbak Lia. Lalu kujilati dan kugelitiki puting
susunya yang tinggi. Puting susu itu juga sama melenting ke kiri dan ke
kanan, seperti halnya puting susu payudaranya yang sebelah kiri tadi.
Mbak Lia pun semakin merintih-rintih karena merasakan geli dan nikmat
yang menjadi-jadi berbaur menjadi satu padu. Seperti tengah minum soft
drink dengan memakai sedotan plastik, kuseruput puting susu kakakku itu.

"Ruuuddd..... Aaaahhhhh....." Mbak Lia menjerit panjang.

Lidahku tetap tak henti-hentinya menjilati puting susu Mbak Lia yang
sudah demikian kerasnya. Sementara itu tanganku mulai bergerak ke arah
bawah. Kubuka retsleting celana jeans yang Mbak Lia kenakan. Kemudian
dengan sedikit dibantunya sambil tetap merem-melek, kutanggalkan celana
jeans itu ke bawah hingga ke mata kaki. Tubuh bagian bawah Mbak Lia
sekarang hanya dilindungi oleh selembar celana dalam dengan bahan dan
warna yang seragam dengan behanya. Meskipun begitu, tetap dapat kulihat
warna kehitaman samar-samar di bagian selangkangannya.

Ditunjang oleh nafsu birahi yang semakin menjulang tinggi, tanpa
berpikir panjang lagi, kulepas pula kain satu-satunya yang masih
menutupi tubuh Mbak Lia yang memang sintal itu. Dan akhirnya tubuh mulus
kakakku itu pun terhampar bugil di depanku, siap untuk kunikmati.

Tak ayal, jari tengahku mulai menjamah bibir vagina Mbak Lia di
selangkangannya yang sudah mulai ditumbuhi bulu-bulu tipis kehitaman
walaupun belum begitu banyak. Kutelusuri sekujur permukaan bibir vagina
itu secara melingkar berulang-ulang dengan lembutnya. Tubuh Mbak Lia
yang masih terduduk di sofa melengkung ke atas dibuatnya, sehingga
payudaranya semakin membusung menjulang tinggi, yang masih tetap dilahap
oleh mulut dan bibirku dengan tanpa henti.

"Oooohhh..... Rudddyyyy..... Iiiihhh..... Ruuud.....!"

Jari tengahku itu berhenti pada gundukan daging kecil berwarna kemerahan
yang terletak di bibir vagina Mbak Lia yang mulai dibasahi cairan-cairan
bening. Mula-mula kuusap-usap daging kecil yang bernama klitoris ini
dengan perlahan-lahan. Lama-kelamaan kunaikkan temponya, sehingga
usapan-usapan tersebut sekarang sudah menjadi gelitikan, bahkan tak lama
kemudian bertambah lagi intensitasnya menjadi sentilan. Klitoris Mbak
Lia yang bertambah merah akibat sentuhan jariku yang bagaikan sudah
profesional, membuat tubuh pemiliknya itu semakin menggerinjal-gerinjal
tak tentu arahnya. Melihat Mbak Lia yang tampak semakin merangsang, aku
menambah kecepatan gelitikanku pada klitorisnya. Dan akibatnya, klitoris
Mbak Lia mulai membengkak. Sementara vaginanya pun semakin dibanjiri
oleh cairan-cairan kenikmatan yang terus mengalir dari dalam lubang
keramat yang masih sempit itu.

Puas menjelajahi klitoris Mbak Lia, jari tengahku mulai merangsek masuk
perlahan-lahan ke dalam vagina kakakku itu. Setahap demi setahap
kumasukkan jariku ke dalam vaginanya. Mula-mula sebatas ruas jari yang
pertama. Dengan susah payah memang, sebab vagina Mbak Lia memang masih
teramat sempit. Kemudian perlahan-lahan jariku kutusukkan lebih dalam
lagi. Pada saat setengah jariku sudah amblas ke dalam vagina Mbak Lia,
terasa ada hambatan. Seperti adanya selaput yang cukup lentur.

"Aiiihh... Rud..." Mbak Lia merintih kecil seraya meringis seperti
menahan rasa sakit. Saat itu juga, aku langsung sadar, bahwa yang
menghambat penetrasi jari tengahku ke dalam vagina Mbak Lia adalah
selaput daranya yang masih utuh. Ternyata kakakku satu-satunya itu masih
perawan. Baru aku tahu, ternyata sebandel-bandelnya Mbak Lia, ternyata
kakakku itu masih sanggup memelihara kehormatannya. Aku sedikit salut
padanya. Dan untuk menghargainya, aku memutuskan tidak akan melanjutkan
perbuatanku itu.

"Rud..... Kok distop....." tanya Mbak Lia dengan nafas terengah-engah.

"Mbak, Mbak kan masih perawan. Nanti kalo gue terusin kan Mbak
bisa....."

"Biarlah, Rud. Selama ini kan gue udah coba jaga keperawanan gue.....
tapi useless..... Tetap nggak ada yang mau sama gue kaya si Toni. Jadi,
what for....."

"Tapi, kan gue adik Mbak sendiri. Kita seharusnya nggak ngelakuin ini,
Mbak..."

Mbak Lia tidak menjawab. Ia malah menjulurkan tangannya menggapai
selangkanganku. Begitu tangannya menyentuh ujung penisku yang masih ada
di dalam celana pendek yang kupakai, penisku yang tadinya sudah
mengecil, sontak langsung bergerak mengeras kembali. Ternyata sentuhan
lembut tangannya itu berhasil membuatku terangsang kembali, membuatku
tidak dapat membantah apapun lagi, bahkan aku seperti melupakan apa-apa
yang kukatakan barusan.

Dengan secepat kilat, Mbak Lia memegang kolor celana pendekku itu, lalu
dengan sigap pula celanaku itu dilucutinya sebatas lutut. Yang tersisa
hanya celana dalamku. Mata Mbak Lia tampak berbinar-binar menyaksikan
onggokan yang cukup besar di selangkanganku. Diremas-remasnya penisku
dengan tangannya, membuat penisku itu semakin bertambah keras dan
bertambah panjang. Kutaksir panjangnya sekarang sudah bertambah dua kali
lipat semula. Bukan main! Semua ini akibat rangsangan yang kuterima dari
kakakku itu sedemikian hebatnya.

"Mbak..... Gue buka dulu ya," tanyaku sambil menanggalkan celana
dalamku.

Penisku yang sudah begitu tegangnya seperti meloncat keluar begitu
penutupnya terlepas.

bersambung.....

No comments:

Post a Comment