Friday, March 25, 2011

Pembalasan Yang Sempurna, Pembalasan haruslah berseni dan nikmat...!!!

Aku sudah lulus SMA, baru saja masuk kuliah pada jurusan Ekonomi di salah satu Universitas Swasta ternama di Jakarta. Walau untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, papaku akan membiayai dan juga mama memaksa, namun aku tidak mau. Di Indonesia juga bagus, semua tergantung dari kita sendiri, luar negeri tidak menjamin, lagipula mana mau aku meninggalkan mama.

“Ahhh…..Sssshhh…Oohhh….”
“Terusss yanggg….Aaawww…dikiit lagi...”
”Yesss....yessss.....Ahhhh...”

Mama mengejang dan mengalami orgasme, sedangkan aku tetap memompakan tongkolku dengan cepat dalam lobang memiawnya. Tetek besar tersebut bergoyang seiring sodokanku pada memiaw mama. Makin menambah semangatku, akhirnya 5 menit kemudian akupun terkulai lemas setelah mengeluarkan spermaku. Kami lalu berciuman mesra sebelum berbaring memulihkan stamina. Hari ini adalah hari Minggu, masih pagi, jadi karena tidak ada kegiatan, aku dan mama bersantai saja, memulai hari dengan permainan seks yang nikmat. Tubuh mama yang saat ini berusia 39 tahun, makin terlihat matang dan makin seksi saja. Tanpa terasa hampir 4 tahun aku dan mama berhubunganm namun gairah kami tidak pernah berkurang, makin bertambah setiap kali melakukannya. Lagi santai berbaring, terdengar HP mama berbunyi, mama mengangkat Hpnya melihat siapa yang menelepon, bergumam tidak kenal nomornya, namun tak urung menjawabnya.
Kuperhatikan raut mama berubah menjadi serius, dan menjawab singkat – singkat lawan bicaranya. Mama mematikan HP-nya, lalu menatapku.

”Dari istri papamu.”
”Apa...ngapain nelepon mama, mau ganggu mama..??? Biar Irwan hajar dia.”
”Sabar dulu Wan, Papamu masuk rumah sakit, katanya kena stroke.”
”Terus apa hubungannya sama kita...??”
”Ya, kayaknya sih parah, jadi kamu harus menengok papamu.”
”Ah...malas ah, mama kan tahu, Irwan sebeeel banget sama dia.”
”Iya, mama tahu, tapi kamu harus datang, Wan. Biar gimanapun dia papa kamu.”
”Baik, tapi mama ikut....”
”Baiklah, nanti Runah Sakit dan ruangannya akan di SMS ke mama.”

Lalu kami segera bangun, menuju ke lantai bawah, sarapan dulu, lalu pergi mandi ( tentu saja sekali lagi aku menyodok mama ), berpakaian dan bersiap ke Rumah Sakit.

Memang aku tidak akan pernah bisa memaafkan papaku atas perbuatannya sama mama. Tidak pernah kupahami mengapa si tolol itu memilih meninggalkan mama untuk menikahi pelacurnya ( istilah favouritku untuk istrinya tersebut ) yang lebih muda 20 tahun darinya. Memang dia tetap membiayai aku dan kakakku, juga terkadang mengajak aku atau kakakku pergi, namun aku tidak pernah merasa senang. Bagiku istilah papa hanya sebutan saja, tinggal formalitas secara akte hukum saja, bahwa dia adalah ayah kandungku, tidak lebih dari itu. Ikatan emosiku sudah mati saat dia menceraikan mamaku. Kuingat pernah sekali dia mencoba mengakrabkan aku dan kakakku dengan istri barunya ( kejadiannya tak lama setelah papa kawin lagi ). Seperti biasa kadang dia mengajakku dan kakakku jalan entah makan atau ke mall. Dia jemput kami di rumah, saat kami masuk ke mobilnya, ada seorang wanita di dalamnya. Dalam perjalanan papa bilang ini istrinya, dan memperkenalkannya pada kami, namanya Vera, lalu papa bilang kami bisa memanggilnya mama Vera ( Tolol sekali dia kalau mengira kami mau memanggil wanita itu dengan sebutan’mama’). Lalu aku dan kakakku sengaja bercakap di depan mereka...

”Kak Erni, mama kita hanya satu kan, mama Susan.”
”Iya, Wan, memangnya kenapa....???”
”Nggak lucu saja, papa minta memanggil perempuan kayak gini dan kita nggak kenal dengan sebutan mama..”
”Iya, betul juga ya Wan. Panggilnya apa dong....??”
”Iya, terserahlah, mau tante, mbok, mbak, neng atau apa saja, asal jangan mama.”
”Ya sudah, kita nyebutnya tante saja deh Wan.”

Lalu aku dan kakak tertawa, sedang kedua orang di kursi depan mobil diam membisu. Raut wajah Papa nampak marah, namun tak bisa apa – apa karena memang ini salahnya Acara saat itu berlangsung dingin, dan sejak saat itu papa tidak pernah mengajak perempuan itu saat pergi dengan aku atau kakakku.

Tak lama kami tiba di rumah sakit. Segera menuju ruang ICU, di depan ruang ICU kulihat ada Om Dedi dan Tante Rika, adik – adik papaku. Segera aku salami mereka, mama juga menyalami mereka dan menanyakan situasinya. Nampaknya papaku terlalu sibuk bekerja, ditambah pola makan dan istirahat yang tidak seimbang juga stress karena pekerjaan, kesehatannya kurang terjaga, tiba – tiba saja pagi tadi mengalami stroke secara mendadak, juga dari hasil pemeriksaan ditemukan bahwa kondisi jantungnya agak terganggu. Kini sedang ditunggui oleh tante Vera, istrinya. Sampai saat ini mereka belum dikaruniai anak. Aku hanya diam sambil berpikir, harga yang mahal untuk sebuah kesuksesan, memang usaha papaku maju dan berhasil, tapi bukan berarti harus tidak punya waktu menikmati hidup kan...??? Tak lama pintu ruang ICU terbuka dan kulihat tante Vera keluar, wajahnya kuyu dengan mata sembab, agak terkejut dengan kehadiran kami, lalu menghampiri kami, karena aku yang terdekat menyalamiku dahulu, lalu agak ragu dan canggung waktu mau menyalami mamaku, namun mama dengan anggun menjulurkan tangan mengajak bersalaman. Suasana agak kaku, lalu suara Om Dedi terdengar...

”Sebaiknya kalian melihat ke dalam dulu.”

Aku dan mama segera mengenakan pakaian khusus, lalu segera masuk, kulihat papa sedang tertidur, dengan beberapa selang dan kabel terpasang di hidung dan tubuhnya. Beberapa mesin dan monitor terlihat di samping ranjang. Wajahnya memang sangat pucat dan jauh lebih tua dari usianya saat ini, 51 tahun. Aku agak terkejut melihat wajahnya, karena memang sudah kama tidak bertemu. Sedang wajah mama tampak tanpa ekspresi, datar saja. Lama kami hanya diam saja melihat papa. Lalu mama menggamitku mengajakku keluar.

Sesampainya di luar mama kembali bercakap – cakap dengan Om Dedi dan Tante Rika, sedang tante Vera memilih duduk agak jauh, diam saja. Aku memilih berdiri saja agak jauh dari mereka menyaksikan mama yang sedang bercakap – cakap. Tak lama kemudian mama memanggilku, aku menghampiri...

”Wan, kalau dilihat dari kondisi papamu, mungkin akan perlu waktu lama dirawat..”
”Iya, Irwan tahu lalu kenapa, ma..”
”Tadi Om Dedi dan tante Rika sudah berbicara dengan mama, kalau untuk yang menjaga, tante Rika bisa saat siang dan sore, Om Dedi juga bisa sesekali jaga malam hari. Is tri nya..., ” dingin banget suara mama saat mengucapkan kata istrinya tersebut....”tentu saja bia menemani menjaga. Namun tetap butuh istirahat. Jadi nanti mereka mengharapkan kamu bisa sesekali menginap malam atau jaga saat siang. Nggak perlu tiap saat, kamu tinggal menelepon Om atau tante kamu atau si Vera itu untuk mengatur waktunya.”
”Wah...gimana ya ma...”
”Wan, kamu harus mau, biar gimana itu papa kamu.”

Aku yang memang tidak punya pilihan hanya mengangguk, Tidak lama kemudian mama dan aku pamit, Om Dedi bilang aku nggak perlu jaga dahulu, nanti saja kalau sudah dipindaj kamar. Dalam perjalanan pulang kami hanya diam saja, mama kulihat mengambil Hpnya dan menelepon kak Erni, mengabarkan yang terjadi, sambil menanyakan ( sedikit maksa ) apakah kak Erni bisa datang menengok untuk satu atau dua hari. Lalu mama mematikan Hpnya dan menyuruhku mengarahkan mobil ke restaurant kesukaanku, makan dulu.

Besoknya aku kuliah, pulangnya agak cepat, belum jam 12 aku sudah sampai rumah. Baru saja aku masuk sudah kudengar suara cerewet...kak Erni sudah tiba rupanya sedang nonton TV. Aku kecup pipinya.

”Heiii jelek, kok sudah pulang, nggak kuliah ya...?”
”Enak saja, memang pulangnya cepat hari ini. Kapan sampai kak..???”
”Tadi jam 9an, mama sudah kutelepon. Malas sih sebenarnya, tapi mama maksa.”
”Ya sudah turuti sajalah kak.”
”Kamu belum makan kan...?? Sana bersih – bersih dulu, ganti baju, kakak masakin deh. Entar mau pergi jam berapa...???”
”Sore saja ya kak perginya. Masak yang enak ya kakakku sayang.”

Aku segera ke kamar mandi bersih – bersih, ganti baju, lalu turun ke bawah, kulihat kakakku sedang membuka kulkas dekat meja makan, agak membungkuk mencari bahan makanan, terlihat CDnya dari dasternya yang pendek melihatnya jadi timbul pikiran nakalku. Aku segera menghampiri dan meremas pantatnya. Kakakku memiawik, lalu membalikkan badan sambil tertawa.

”Jahil amat sih kamu...”
”Salah sendiri....kenapa mamerin anggota tubuh...lagian Irwan kangen nih...”
”Iya..kakak juga, tapi sabar dong, kan sekarang kakak mau masak dulu...”
”Sudah nanti saja deh masaknya...sekarang ada yang lebih penting.”
”Huh dasar kamu, nggak sabaran ya....”

Segera kutarik tubuh kakakku, menutup kulkas, lalu segera kuciumi bibirnya dengan ganas, kakak membalasnya, lidah kami bertautan dengan cepat. Tanganku meremas tetek besarnya sementara tangannya meremas tongkolku. Segera saja kulepaskan dasternya, juga aku lepaskan kaos dan celana pendekku, lalu tubuh kakak kuangkat dan kubaringkan di atas meja makan yang kosong. Sedang aku masih berdiri di sampingnya. Aku segera menyerbu tetek besarnya, meremas – remas dengan tanganku dan melumatnya dengan mulutku, kumainkan dan kuhisap putingnya. Sementara tangan kak Erni mulai meraih tongkolku, dikocok – kocoknya, lalu diarahkan ke mulutnya, lidahnya mulai menjilati kepala tongkolku, lalu batangnya dan biji pelerku dia jilati dan dia kulum, dihisapnya dengan ringan dan lembut. Lalu dia mulai mengulum dan menghisap tongkolku. Aku yang masih sibuk menghisap putingnya juga tak mau tinggal diam, jariku segera menuju ke arah selangkangannya, ku mainkan itilnya dan kusodok lobang memiawnya dengan jariku. Tubuh kak Erni menggeliat keenakkan. Kulumannya pada tongkolku masih tetap seperti biasa perlahan namun mematikan, dengan jilatan lidah yang terus bergerak menggelitik saraf – saraf sensitifku. Masih dengan tongkolku tetap dikulum, aku ikut menaiki meja, posisi 69. kini lidahku mulai bergerilya menjilai memiawnya yang sudah basah, kusapu lobang memiawnya dengan lidahku, lalu segera kumainkan itilnya yang besar dan menonjol dengan gemas. Kupilin – pilin dan kulumat dengan lidahku, makin membuat kakakku kelojotan. Jariku kembali ikut berpartisipasi menyodok lobang memiawnya, makin sering saja kak Erni menggeliatkan pinggulnya. Kurasakan pula hisapan pada tongkolku makin kuat dan mencengkram...Oughhh enak banget. Sebagai kompensasinya, itil kak Erni kini hanya pasrah saja menerima permainan lidahku yang makin cepat dan ganas. Sesekali terdengar desahannya, badannya terus menggeliat dan akhirnya mengejang saat menyemburkan cairan orgasme.

Aku lalu segera turun, berdiri di depannya, kutarik kakinya, memiawnya kini berada di pinggir meja. Kulebarkan kedua kakinya dan kuangkat ke atas dengan kedua tanganku, lobang memiawya terlihat melebar, siap menerima hujaman tongkolku, segera saja kumajukan pantatku ke depan, dan Blessss....amblaslah seluruh tongkolku ke dalam lobang memiawnya, membuatnya bergetar, Tanpa basa basi lagi segera kupompa tongkolku dengan cepat, desahan dan rintihannya makin kuat, tetek besarnya bergoyang – goyang indah karena sodokan tongkolku yang cepat dan kuat, kakinya kini kukaitkan di kedua bahuku, sehingga tanganku kembali bebas dan segera meremas teteknya. Pinggulnya tak tinggal diam mengimbangi, aku sodok sedalam mungkin, kucondongkan badanku memnciumi bulu keteknya yang agak jarang, lalu kujilati lehernya, kak Erni menggelat geli – geli nikmat.

”Ughhh...enaaakkkk...Wan....En aakk...Auwwww...”
”Yang Cepaaaatt....Wan.....Ohhh...”
”Terussss...Oohhhhh...Yessss.. .”

Kembali kak Erni mengalami orgasme. Aku lalu naik ke atas meja makan, berbaring, kak Erni kusuruh ke atasnu, membelakangiku, badannya condong ke belakang, tanganya ke arah belakang, bertumpu di meja, kakinya posisi jongkok di atas tongkolku, dengan perlahan kak Erni menurunkan pinggulnya, Jleeeebbb....dengan sempurna lobang memiawnya menemukan tongkolku, dan ia pun mulai menggoyangkan pinggulna naik turun, tanganku dari belakangpun mulai meremas teteknya dan memainkan putingnya. Kunaikkan kepalaku sedikit, untuk menciumnya. Lama kami bermain dalam posisi ini, lalu kak Erni memajukan badannya kin dalam posisi jongkok sempurna, kembali menaik turunkan pinggulnya, aku mengimbangi dengan juga menggoyangkan pinggulku mengikuti iramanya. Sambil memainkan pinggulnya, tangan kak Erni mulai memainkan itilnya sendiri. Tangannya yang satu lagi sibuk meremas dan mengurut biji pelerku. Aku masih berbaring, menikmati saja kenikmati ini, sesekali mataku merem melek keenakkan. Tak berapa lama kurasakan denyutan enak di tongkolku, dan juga kulihat badan kak Erni mulai bergetar.....Crooottt...crooot tt, spermaku menyembur tanpa ampun berbarengan dengan orgasmenya. Kak Erni hanya diam masih berjongkok di atas tongkolku yang masih menancap pada lobang memiawnya, kurasakan cairan mengalir membasahi batang tongkolku. Kami terdiam menikmati sensasi orgasme kami. Lalu kak Erni mencabut tongkolku, menjilat dan membersihkan sisa sperma di tongkolku

”Ugh....nggak bisa tunggu nanti ya kamu Wan...”
”Hehe...kakak juga mau kan, ya hitung – hitung ucapan selamat datang...”
”Ih konyol...sekarang kamu bersihin ya, terus bantu aku masak.”

Lalu kami berdiri, aku sempat mengecup pipinya, kubersihkan meja makan, lalu ke kamar mandi. Mencuci tongkolku, berpakaian dan segera membantu kakakku. Sorenya mama pulang dan memilih tidak ikut pergi. Jadilah aku dan kakak saja yang pergi. Setibanya di sana hanya ada tante Rika, Tante Vera sedang pulang istirahat. Kak Erni menyalami dan mencium pipinya, berbasa – basi sejenak, lalu bersamaku melihat papa. Kesehatannya belum ada kemajuan, tapi kondisinya sudah lebih stabil. Cukup lama kami di situ, tante Vera sudah datang kembali, kak Erni hanya menyalami saja. Tak lama Om Rudi datang, menyalami kak Erni, berbincang – bincang dengan kami, dia akan nginap di RS menjaga papa, katanya aku nanti saja giliran jaganya, minggu ini biar dia dan tante Vera saja. Akhirnya aku dan kak Erni pamit pulang, tante Rika menanyakan apakah bisa ikut, kami iyakan, setelah mengantar tante Rika ke rumahnya, kamipun pulang.

Malamnya aku menggarap kak Erni habis – habisan, kebetulan mama sedang datang bulan, untung ada kak Erni, jadi ada penggantinya hehehe. Besoknya juga aku tidak kuliah dan memilih menghabiskan waktu bersetubuh dengan kak Erni. Kak Erni menginap 3 hari, tiap hari menengok dan melihat kondisi papaku. Juga menghabiskan waktu di rumah dengan ’kegiatan panas’ denganku, hampir di mana saja, di sofa, di dapur, kolam renang, kamar mandi, pokoknya puas – puasan deh. Setelah 3 hari karena kondisi papa sudah stabil dan karena juga kegiatan kuliah kak Erni kembali ke Bandung, aku antar ke stasiun, menunggu keretanya berangkat lalu pulang.

Hari ke 4 kondisi papa membaik, sudah siuman, namun belum bisa bicara namyak, karena stokenya, kata dokter mungkin sementara waktu papa akan memakai kursi roda, karena anggota tubuhnya pinggang ke bawah jadi lemah. Juga syaraf di sekitar mulutya jadi agak kaku, belum bisa normal bicara, dan harus diterapi. Dokter juga memutuskan mengobati dan memantau kondisi jantungnya. Dokter memutuskan bahwa kondisi papa sudah cukup stabil dan baik untuk dipindahkan, jadi diputuskan menempatkan papa ke ruang VIP (Biayanya kan ditanggung perusahaannya sendiri ). Para direksi dan karywannya juga mulai datang menjenguk. Sedang mama belum datang lagi.

Siang itu ada panggilan masuk ke HP-ku, nomornya tak kukenal, ternyata dari tante Vera, mula – mula canggung bicaranya, katanya malam ini apakah aku bisa menemani menjaga papaku. Aku jawab bisa dan dia bilang nanti aku datang jam 9 malam saja. Aku iyakan dan menyudahi pembicaraan. Lalu aku save nomornya, biar gampang kalau ada perlu nanti.

Malamnya aku datang, papa sudah dipindahkan ke kamarnya, kulihat dia sebentar, sudah siuman, namun belum bisa bicara, nampak matanya agak bersinar bahagia saat melihatku. Tanganya lemah memegang tanganku. Aku hanya tersnyum saja, sambil mengatakan pelahan bahwa waktu papa masih koma, mama dan kak Erni sudah menjenguk, papa hanya mengangguk lemah. Lalu aku duduk menonton TV di sudut kamar. Hanya ada tante Vera, sedang merapikan selimut papaku, lalu menghampiriku dan duduk di sofa di dekatku. Mencoba membuka percakapan dengan canggung.

”Ma..maaf sudah merepotkan kamu ya Wan.”
”Ah tidak mengapa, toh ini kan papaku juga.”
”Kamu sudah makan..??”
”Sudah...tante sendiri, jangan sampai nanti malah ikut sakit.”
”Sudah tadi di kantin RS.”
”Tante kalau memang capek, pulang saja, istirahat dulu, biar Irwan yang jaga.”
”Nggak...nggak apa,Wan. Kan bisa istirahat di sini.”

Lalu kami kembali diam, aku kembali menonton TV, tante Vera mengambil majalah dan membacanya. Memang benar sih, dia bisa istirahat di sini, karena ini kamar VIP jadi lebih bebas, kulihat ada kasur kecil juga di dekat sofa ini, mungkin memang buat keluarga yang menunggu. Sesekali aki meliriknya, wajahnya sudah jauh lebih segar dari saat hari pertama papa masuk RS. Mungkin baru kali ini, aku berkesempatan mengamati dirinya selama aku kenal dia. Saat ini usianya kalau aku tidak salah sekitar 30 atu 31, wajahnya juga memang harus kuakui cantik, lalu perlahan mataku mulai mengarah ke tubuhnya, baru kali ini aku bisa menilainya, teteknya juga berukuran besar, dengan lekuk tubuh yang seksi pula, pantatnya besar, tingginya juga cukup tinggi untuk ukuran wanita. Namun hanya sampai situ saja aku menilai, itu juga karena memang baru kali ini aku berkesempatan menilainya. Lagipula dia kan wanita yang membuat papa meninggalkan kami. Tanpa sadar rasa benci dan sakit kembali menusuk dadaku. Aku segera memusatkan perhatianku pada TV. Sekitar jam 12-an aku bilang mau ke depan cari udara segar dan makanan, menawarkan juga kalau dia mau, juga berpesan kalau ada apa – apa atu perlu telepon saja HP-ku, lalu aku keluar.

Di luar aku menuju warung rokok, membeli rokok, memang aku merokok, walau jarang, tidak dilarang sih, tapi memang aku tidak terlalu sering merokok, hanya kalau ingin dan tergantung situasinya. Karena malam ini aku jaga di RS, maka bolehlah. Juga kubeli minuman kaleng dan ah ada tukang bakpau, kubeli beberapa potong, minta dibuatkan 2 kantung, lalu berjalan ke taman RS, ada beberapa bangku santai, kucari yang kosong, aku duduk di situ, Di beberapa bangku lainnya juga nampak beberapa orang meroko atau mengobrol, mungkin sama sepertiku menunggui keluarga yang dirawat juga. Kunyalakan rokokku dan kubuka minuman ringan, sambil berpikir, selama ini memang aku benci dengan papaku, semua waktu dengannya kulalui dengan formal saja, tak ada kesan, bicara juga secukupnya, bahkan terkesan cuek dan acuh. Aku tak peduli gimana reaksi papaku. Dia mau terima atau tidak dengan gayaku, itu bukan masalahku. Dari segi materi dan tanggung jawab memang papa tetap melakukannya dengan baik setelah bercerai, tetap menyempatkan waktu mengajak aku atau kakak jalan, memberi uang jajan, membiayai sekolah kami sampai manapun. Mama sendiri sejak bercerai tak pernah melakukan kontak dengan papa, hanya kontak kalau perlu yang berhubungan dengan kami, bahkan sebenarnya mama pernah bilang ke aku, tanpa perlu dibiayai papa, mama bisa menyekolahkan kami. Namun demi menghormati hasil keputusan cerai, membiarkan papaku melakukannya. Bagiku sosok papa sudah hilang sejak usia 12 tahun. Sosok papa setelah itu tak lebih hanya sosok biasa saja, tak meninggalkan kesan apapun. Tak ada kehangatan dalam hubungan kami, hanya datar saja. Aku tak tahu apa papa sadar atau tidak dengan sikapku yang membencinya. Memang sebelum dan sesudah bercerai papaku itu sudah berhasil dengan bsnisnya. Usahanya maju dengan banyak Perusahaan. Om Dedipun dia beri modal untuk mendirikan usaha, sedang suami tante Rika, dipekerjakan di Perusahaannya. Lalu tante Vera, sebenarnya rasa benciku padanya lebih karena tertular rasa benciku pada papa, secara tidak langsung aku menganggapnya sebagai perusak rumah tangga. Memang fokus utama kebencianku tertuju ke papaku, sedang ke tante Vera, mungkin karena kontak kami yang minim, jadi hanya sebatas benci karena kondisi.

Memang tante Vera selama 4 hari ini merawat dan menunggui papa tanpa kenal lelah, wajar kan dia istrinya pikirku. Aku tidak tahu bagaimana kondisi rumah tangga mereka, dan memang tidak mau peduli, bahkan menyumpahi mereka tidak bahagia. Kunyalakan lagi batang rokok yang baru, menghembuskan asapnya, kembali berpikir. Memang ada yang selalu menganggu pikiran dan menunggu jawabannya selama ini, kenapa sih papa samapai menceraikan mama...? Alasannya tidak pernah kutahu secara pasti, yang pasti kutahu memang mama tidak mau di madu. Kalau alasan berdasarkan pemikiranku, paling juga karena memang godaan tante Vera yang mau menguasai harta papa. Tapi itu kan pemikiran sepihakku. Kembali aku menghisap rokokku, diam sejenak, kali ini pikiran nakal bermain di otakku, kubayangkan bahwa tante Vera memang canti dan seksi, dulu waktu aku pertama kali bertemu belum punya pikiran itu karena masih bocah lugu, tapi sekarang aku sudah paham wanita, ya memang tante Vera canti dan mempunyai bodi aduhai, teteknya juga besar dan aduhai, tongkolku sedikit ngaceng memikirkannya. Lama aku terdiam hanya menghisap rokokku. Puas dengan pikiran nakal, kembali aku berpikir jernih, selama ini aku hanya memendam rasa benci, tanpa berusaha membalas, kini situasi sudah tercipta, otakku mulai berputar menciptakan berbagai ide dan kemungkinan, akhirnya aku sampai pada suatu ide yang cemerlang, tinggal bagaimana aku melaksanakannya dengan cermat. Aku bisa menuntaskan rasa benciku, membalas dendamku, mama, kakakku. Aku memang tidak peduli kondisi papaku, bagiku aku menungguinya karena disuruh mama. Dan mungkin karena supaya terlihat pantas saja seorang anak menunggui papanya yang sakit ( Kan tidak ada istilah bekas anak atau bekas papa ). Aku tersenyum dengan rencanaku. Sekarang atau tidak sama sekali. Akhirnya memang kuakui bagian diriku memang mat benci dengan papaku dan tidak akan pernah puas kalau belum membalasnya. Kulangkahkan kakiku ke dalam RS, semua sudah tersusun, namun kini yang paling penting, membangun situasi dan mengorek tante Vera, aku harus tahu dulu alasan yang selama ini kucari, kenapa papa tega menceraikan mamaku, apa yang tante Vera punya sampai papa mau menikahinya...???

Sesampainya di area kamar papa dirawat, kuberi satu kantung bakpau untuk para suster jaga, mengobrol sebentar, cuci mata, kali saja ada yang cantik dan lowong gitu. Stelah itu aku pamit, kubuka pintu kamar ruang papa dirawat, kulihat tane Vera tertidur di kasur satunya, memang lelah tampaknya. Kutaruh kantung bakpau di meja, membuka lemari, mengambil selimut cadangan, dan kuselimuti tante Vera. Kulihat papaku, sedang tidur. Lalu aku menuju sofa panjang, berbaring, memejamkan mata, tidur dulu. Semua rencana sudah matang, santai saja, kini istirahat dulu, mulai besok masih banyak waktu menjalankannya.

Paginya sekitar subuh aku bangun, kulihat tante Vera sudah bangun, dia bilang tadi dia makan bakpau yang kubeli, aku hanya nyengir saja, lalu mengucapkan terimakasih sudah menyelimutinya saat dia tidur. Aku hanya tersenyu saja. Papa masih tidur. Aku segera duduk, tante Vera membuatkan kopi untukku, lalu memulai percakapan.

”Nanti kamu kuliah Wan...???”
”Iya, agak siangan, Cuma sebentar.”
”Oh, nanti kalau repot nggak usah kemari lagi.”
”Nggaklah, kasihan kalau tante sendiri, lagipula ini kan papaku juga.”
”I..iya...,” tante Vera agak terkkejut dengan jawabanku, mungkin kaget karena mendengar aku yang perhatian sama papaku.
”Baguslah kalau begitu, selama ini papamu mengira kamu benci padanya, dan tante senang karena ternyata kamu ada perhatian sama papa kamu.”
”Sudahlah tan. Malah Irwan rasa, tante nanti bisa di rumah saja istirahat, biar Irwan gantiin tante.”
”Nggaklah...biar saja, kan ada kamu, jadi ada teman ngobrol.”
”Ya sudah, Irwan siap – siap dulu, mau pulang terus kuliah, nanti malam datang lagi.”

Ternyata penyakit papa cukup parah, dari hasil pemeriksaan tambahan ditemukan juga bahwa lambung papa ternyata juga kondisinya cukup parah, dokter memutuskan untuk mengobati dan merawatnya. Selain itu memang diperlukan agar papa dapat beristirahat secara penuh. Untuk urusan bisnisnya tidak ada masalah, karena memiliki pekerja yang kompeten. Untuk urusan penting diwakili oleh Om Dedi dan Om Damar, suami tante Rika. Tak terasa hampir 2 minggu papa dirawat, mama hanya datang menjenguk satu kali lagi. Sedang aku juga tetap mendapat giliran jaga malam, bersama tante Vera. Mama sendiri tidak menaruh curiga atau banyak bertanya, Selama aku sering jaga malam di RS, biasanya aku menggarap mama saat mama pulang kerja. Mungkin karena seringnya bertemu dan mengobrol dengan tante Vera, maka suasana hubungan kami mulai akrab. Orangnya ternyata asik juga, bicaranya apa adanya, gayanya juga masih seperti anak muda, mungkin karena usianya yang baru 30 tahun. Obrolan kami sudah menjadi lebih baik, tidak kaku dan topiknya juga sudah banyak. Papa sendiri sudah mulai bisa bicara walau hanya sedikit dan terbata – bata, kondisinya sudah lebih baik Biasanya kalau malam papa diberi obat dan juga obat tidur agar istirahatnya lebih baik, biaanya saat papa tidur, kami mengobrol. Karena kondisi papa sudah mulai baik, maka aku mengajak tante Vera ke bawah untuk cari makan. Dia setuju. Kami titip pada suster jaga, mau makan sebentar. Setelah makan, aku tidak langsung ke dalam RS, kuajak tante Vera ke taman RS sebentar, refreshing.

”Untung ada kamu yang menemani tante menjaga papamu, Wan. Jadi tante tidak sendirian.”
”Ah, sudahlah tante...”
”Terus terang tante sangat terbantu, apalagi selama ini papa dan tante mengira bahwa kamu benci sama kami.”
”Nggg...nggak gitu kok, tan.”
”Syukurlah kalau begitu.”
”Tante Vera, boleh aku tanya sesuatu...Agak pribadi, namun sudah lama ingin kutanya.”
”Boleh saja Wan.”
”Begini, selama ini aku tidak pernah tahu alasan papa bercerai dengan mama. Jujur saja, kesimpulan yang kubuat sendiri pastinya yang negatif saja. Tante , bisa jelaskan.”
”Wan, sebenarnya tante memang sudah lama ingin menjelaskan semuanya, tidak hanya ke kamu, tapi juga mama kamu dan kakak kamu, tapi tante tidak punya keberanian. Tante terlalu malu, apalagi melihat pandangan kalian terhadap kami.”
”Sekarang tante bisa jelaskan, biar Irwan paham, mungkin juga nanti Irwan bisa terangkan ke mama.”
”Baiklah, satu hal yang harus kamu ingat, mungkin kamu bisa saja beranggapan bahwa apa yang tante katakan hanya sepihak saja, namun nanti kamu bisa tanya ke papa kamu.untuk konfirmasinya.”

No comments:

Post a Comment